Komposer Soroti Kesalahpahaman Budaya Sound Horeg: Keras Bukan Berarti Jelas
NU Online · Jumat, 1 Agustus 2025 | 20:00 WIB
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Polemik penggunaan "sound horeg" atau sistem suara bervolume tinggi dalam berbagai acara masyarakat terus menimbulkan perbincangan.
Komposer dan seniman musik senior Embie C Noer menyampaikan keprihatinannya terhadap budaya bunyi keras yang telah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Menurutnya, fenomena ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi menyentuh dimensi estetika, budaya, bahkan kesehatan.
"Ada persoalan serius yang sudah cukup lama kita hadapi. Di Indonesia ini, terjadi kesalahpahaman mendasar yaitu keras itu dianggap sama dengan jelas. Padahal, keras itu soal amplifikasi, sementara jelas itu soal artikulasi," ujar Embie dalam Forum Kramat bertajuk Sound Horeg: Hiburan Rakyat, Gangguan Umat? di Lobi PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (1/8/2025).
Ia mencontohkan betapa budaya keras ini sudah menjadi kebiasaan. Misalnya dalam hajatan pernikahan atau konser kampung, suara musik diputar sekeras mungkin dengan keyakinan bahwa itu menunjukkan status sosial atau kemeriahan. Namun, dampaknya justru kontraproduktif secara sosial, fisik, bahkan neurologis.
"Pernah saya diundang ke pesantren, lalu dipamerkan sound system mereka. Saya tanya kalau suaranya keras, apa artinya? Mereka nggak bisa jawab. Karena memang ini sudah jadi budaya, bukan pilihan rasional," ungkapnya.
Embie menilai, budaya sound horeg ini tidak bisa semata-mata disalahkan pada penyelenggara acara atau operator sound system. Ini merupakan "rentetan dari kesalahpahaman kebudayaan yang berlangsung lama".
"Kita punya tradisi kaya, tapi salah tafsir dalam memaknainya. Misalnya, ada kesenian yang justru merusak otak karena volume yang terlalu tinggi. Ini saya dengar langsung dari profesor neuroscience," kata Embie.
Ia menawarkan pendekatan kategorisasi seperti dalam dunia farmasi, ada yang bisa dikonsumsi bebas, ada yang harus lewat resep dokter. Hal ini, menurutnya, bisa diterapkan dalam pengelolaan suara dan tata bunyi di masyarakat.
"Sound system itu seperti obat. Ada yang ringan, ada yang keras. Ada panggung musik yang bisa keras karena kontrolnya jelas. Tapi kalau cuma keras tanpa komunikasi, itu bukan seni, itu penghancuran," ujarnya.
Menurut Embie, teknologi sudah tersedia untuk menciptakan suara yang jernih dan aman. Ia mencontohkan sistem audio mutakhir seperti Dolby Atmos yang mampu memberikan sensasi suara dari segala arah tanpa merusak pendengaran.
"Saya usul ke teman-teman budayawan yaitu panggung wayang pakai sistem suara tiga dimensi, agar orang merasa suara dalang datang dari langit. Itu keren, dan tidak perlu mengorbankan telinga," pungkas Embie.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menyiapkan Bekal Akhirat Sebelum Datang Kematian
2
Menyelesaikan Polemik Nasab Ba'alawi di Indonesia
3
Khutbah Jumat: Tetap Tenang dan Berpikir jernih di Tengah Arus Teknologi Informasi
4
Resmi Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Pengurus PP ISNU Masa Khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Perhatian Islam Terhadap Kesehatan Badan
6
Tuntutan Tak Diakomodasi, Sopir Truk Pasang Bendera One Piece di Momen Agustusan Nanti
Terkini
Lihat Semua