Nasional

Berkaca pada Sejarah, Gus Baha Beberkan Strategi Hadapi Krisis

Jum, 3 Juli 2020 | 12:00 WIB

Berkaca pada Sejarah, Gus Baha Beberkan Strategi Hadapi Krisis

KH Ahmad Bahauddin Nur Salim (Gus Baha) (Foto: Screenshot)

Jombang, NU Online
Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Bahauddin Nur Salim (Gus Baha) membeberkan bahwa masa krisis pernah dialami oleh umat di zaman Nabi Muhammad SAW dan ulama-ulama terdahulu. Namun, nabi dan para ulama itu berhasil melewatinya dengan cara atau strategi yang digunakan.


"Kita tidak pernah kehilangan khazanah untuk menjawab problem zaman. Yang penting kita harus terus belajar," katanya saat mengisi ceramah agama pada Haul ke-49 KH A Wahab Chasbullah di Masjid Jami Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (2/7) malam.


Krisis yang dimaksud seperti dalam peperangan saat Nabi Muhammad menghadapi orang kafir. Masa di mana Islam masih baru diterima masyarakat kala itu, banyak dari mereka yang kondisi ekonominya masih sangat buruk. Kendati begitu mereka memiliki loyalitas tinggi terhadap agama dan ketenteraman wilayah.


"Dulu di zaman nabi meskipun banyak yang miskin tapi punya mental heroik dan patriotik," jelas Gus Baha.


Tidak hanya itu, mereka juga memiliki karakter dermawan, tidak kikir. Sehingga setiap ada perang, mereka pasti ikut menyumbangkan sesuatu yang berharga, misalnya bahan makanan pokok, senjata, dan sebagainya, meski mereka lagi-lagi dari kalangan miskin.


Mental umat inilah yang disebut Gus Baha sebagai mental heorik dan patriotik. Dan mental semacam ini menurutnya penting dimiliki oleh generasi bangsa saat ini.


Gus Baha menjelaskan, ada hal positif di balik mental tersebut. Seseorang yang karakternya selalu ingin memberi, bukan meminta, akan jauh dari sifat tamak. Dan sifat tamak tercermin dalam Al-Qur’an sebagai sifat tercela.


"Makanya di Al-Qur’an orang yang kikir itu tidak dikritik, yang dikritik orang yang tamak," tuturnya.


Begitu juga saat sebelum Indonesia merdeka. Sejumlah ulama, kiai, santri, dan kalangan lainnya ikut terlibat langsung dalam peperangan dengan penjajah. Hal penting yang bisa diambil dalam peristiwa tersebut di antaranya adalah loyalitas tinggi yang melekat dalam diri bangsa Indonesia. Mereka mempunyai kecintaan terhadap tanah airnya melebihi apapun.


Kondisi negara pada saat itu belum merdeka. Artinya, dalam melawan penjajah, warga negara memiliki ghirah (semangat) perjuangan dan jiwa patriotik yang luar biasa. Dengan menggunakan senjata seadanya, mereka tidak takut menghadapi penjajah yang tentu sudah bersenjata lengkap.


"Sebelum Indonesia merdeka, ulama punya cara sendiri untuk mengatasi itu. Ulama punya loyalis, punya ghirah, strategi, sehingga Belanda punya kesulitan menghadapi para ulama. Belum ada negara, belum ditopang negara bisa melakukan perlawanan," tegasnya.


Gus Baha juga menyerukan agar bangsa Indonesia meniru mental umat Nabi Muhammad terdahulu yang mempunyai karakter dermawan atau sikap ingin selalu memberi. Bukan sebaliknya. Hal ini penting untuk menghadapi masa-masa krisis negara. Mental sebuah bangsa sangat mempengaruhi cara sekaligus konsekuensi menghadapi dinamika zaman.


"Andaikan kita semua ingin memberi sumbangan kepada negara, maka kita tidak akan memvonis pemerintahan kita tidak becus, meskipun pemerintah berkewajiban membantu rakyat miskin," ungkapnya.


Hal itu sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW  yang dalam salah satu hadistnya diterangkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.


"Berkahnya patriotik, ingin selalu memberi, semua orang kaya dan miskin akan urun menyumbang negara. Akhirnya (dalam sejarah) terbukti bahwa negara kita merdeka sebelum terbentuk TNI dan Polri," pungkasnya.


Pewarta: Syamsul Arifin
Editor:Muhammad Faizin