Nasional

Berkaca dari Tragedi di Malang, Fatayat NU Minta Negara Buat Payung Hukum Perlindungan Korban

Sen, 6 Desember 2021 | 20:00 WIB

Berkaca dari Tragedi di Malang, Fatayat NU Minta Negara Buat Payung Hukum Perlindungan Korban

Fatayat NU Minta Negara Buat Payung Hukum Perlindungan Korban

Jakarta, NU Online
Kasus kekerasan seksual terus muncul setiap harinya. Terbaru kasus kekerasan seksual terjadi di Malang, Jawa Timur, yang mengakibatkan korban depresi hingga memutuskan mengakhiri hidupnya.


Berkaca dari kasus tersebut, Ketua Fatayat NU Bidang Hukum, Politik, dan Advokasi, Siti Mukaromah atau Erma mendorong para pemangku kebijakan negara secepatnya membuat payung hukum yang jelas untuk korban kekerasan seksual.


“Indonesia sudah darurat kekerasan seksual. Saatnya negara ini membuat payung hukum yang bisa melindungi korban,” tegasnya saat dihubungi NU Online, Senin (6/12/2021).


Kasus-kasus semacam itu, menurut Erma, semakin menambah keprihatinan. Pasalnya sebelum kejadian pilu di Malang, terdapat pula kejadian pilu lain, yakni mahasiswi Universitas Sriwijaya (Unsri) yang dihambat ikut yudisum lantaran melaporkan kasus pelecehan seksual.


“Itu semua menunjukkan bahwa hukum tidak berpihak pada korban,” ujar Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.


Padahal, kata dia, Indonesia sudah mempunyai Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang dinantikan oleh masyarkat, korban dan keluarga korban. Pemerintah seharusnya bergerak cepat untuk mengesahkan RUU tersebut untuk mencegah, melindungi dan memulihkan korban kekerasan seksual.


“Itulah urgensinya RUU TPKS, seharusnya kan segera disahkan. Jangan nunggu korban lagi,” tandas Erma.


Senada, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Neng Eem Marhamah juga mengatakan, RUU TPKS urgen dibutuhkan untuk melindungi para korban. Ia menginginkan, agar RUU tersebut dapat selesai pada masa sidang DPR 2021-2022.

 

"Ini adalah penting, urgen, itu sudah pasti. Saya ingin masa sidang sekarang ini tuntas, cuma terkendala di paradigma yang berbeda, akhirnya terjadi perdebatan kembali," ujarnya.

 

Mengenai kasus kekerasan yang menimpa mahasiswi Unsri, ia menjelaskan, banyak faktor yang menyebabkan korban mendapatkan kekerasan seksual dari pelaku. Salah satunya relasi kuasa, saat seorang pelaku menilai dirinya memiliki kewenangan dan kekuatan lebih terhadap korban.

 

“Salah satu contoh kekerasan seksual yang disebabkan oleh relasi kuasa adalah banyaknya kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang dosen kepada mahasiswanya. Hal tersebut terjadi karena adanya paradigma si dosen memiliki kewenangan penuh terhadap mahasiswanya,” jelasnya.

 

Selain itu, tambah dia, ada juga yang bukan karena relasi kuasa. Misalnya, pelecehan di tempat umum, antara korban dan pelaku keduanya tidak saling kenal tetapi ternyata terjadi juga (kekerasan seksual).


“Jadi, relasi kuasa itu lebih ke paradigma, cara pandang,” imbuh Eem.


Sementara itu, Aktivis Perempuan dan Anak, Dwi Rubiyanti Kholifah menegaskan bahwa urgensi RUU TPKS sudah tidak bisa dipertanyakan lagi.


Ia berharap, pembahasan RUU TPKS yang sampai saat ini menghadapi dinamika dan tarik ulur di DPR secepatnya dapat mencapai kesepahaman bersama, mengingat angka kekerasan seksual terus meningkat.


“Tidak ada alasan buat DPR menunda ini. Mereka memiliki fasilitas pemerintah dalam bekerja, jika mereka tidak mengerti isu ini, sudah seharusnya mereka bisa menggunakan fasilitas untuk konsultasi kepada ahli hukum atau ahli lainnya agar analisis lebih maksimal,” tegas Ruby.


Sebab, pengesahan RUU TPKS oleh DPR nanti menurut Ruby akan membawa oasis bagi penyintas kekerasan seksual di seluruh penjuru negeri.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin