Nasional

Antropolog Amerika: Indonesia sebagai Pusat Studi Islam Harus Dimulai dari Sekarang

Rab, 1 September 2021 | 09:45 WIB

Antropolog Amerika: Indonesia sebagai Pusat Studi Islam Harus Dimulai dari Sekarang

Asisten Profesor Universitas Emory, Atlanta, Amerika Serikat James B Hoesterey. (Foto: tangkapan layar Youtube TV NU).

Jakarta, NU Online


Antropolog asal Amerika Serikat James B Hoesterey menyampaikan bahwa wacana Indonesia sebagai pusat pemikiran Islam sudah harus dipikirkan dari sekarang, tanpa harus mengesampingkan soal belajar Islam di Timur Tengah.


“Pada abad ke-16, Aceh sebagai pusat ulama dari berbagai negara, Malabar, Gujarat, el-Qahtan dan segala macam. Jadi, memang Indonesia yang menjadi fokus,” tutur James saat menjadi pembicara di acara Simposium Internasional bertajuk Kosmopolitanisme Islam Nusantara: Jejak Spiritual dan Jaringan Intelektual di Jalur Rempah, Selasa (31/8).


“Jadi, kita harus mengganti pola pemikiran kita. Bukan Timur Tengah yang selalu harus jadi pusat,” sambung Asisten Profesor Universitas Emory, Atlanta, Amerika Serikat itu.


Selama ini, kata dia, yang biasa dianggap pusat kajian Islam adalah Hijaz mengacu Makkah dan Madinah. Kemudian, Kairo memiliki distingsi yang dapat memperkaya khazanah keislaman Indonesia melalui pendidikanya. Akan tetapi, tambahnya, sejarah studi Islam juga perlu digali lebih dalam lewat perspektif Nusantara. 


“Ini ada masalah teori konseptual dan metodologis,” kata peneliti yang pernah mengambil disertasi soal pasang surut popularitas Aa Gym itu.


Lebih jauh, tokoh yang meneliti pendekatan diplomasi dan soft power Kementerian Luar Negeri Indonesia ini menerangkan, sejatinya metodologi pendekatan studi Islam bisa lebih inovatif dengan mengambil referensi dari berbagai sumber di luar teks-teks keislaman atau keagamaan, contohnya, perpektif Ahmad Ginanjar Sya’ban yang melihat Islam pra-kolonial lewat sudut pandang kedokteran.


“Ini inovatif sekali sehingga kita tidak selalu mendapat data dari teks-teks tau naskah yang bernafaskan Islam atau yang (hanya) membahas agama,” terangnya.


Komite Studi Indonesia-Timor Leste di Association for Asian Studies (2011-2015) ini mengungkapkan, ratusan ribu, bahkan sejumlah statistik kasar, manuskrip Islam tersimpan di pusat-pusat studi Barat, di antaranya Eropa Barat dan Amerika Utara.


Dia menyarankan agar manuskrip-manuskrip tersebut sesegera mungkin diarsipkan dengan sebagai upaya penyelamatan informasi naskah nusantara. “(Juga) agar komunitas yang tertarik mengenai Islam Nusantara bisa membaca dan mengkaji manuskrip-manuskrip yang ada,” ungkap James.

 

Simposium internasional ini diselenggarakan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendibudristek).


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Syakir NF