Nasional

Rekomendasi Simposium Internasional Kosmopolitanisme Islam Nusantara

Rab, 1 September 2021 | 04:00 WIB

Rekomendasi Simposium Internasional Kosmopolitanisme Islam Nusantara

Ketua Pelaksana Simposium Internasional, Ngatawi Al Zastrouw. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Banyak sumber pengetahuan Nusantara, baik berupa naskah, pelaku hidup, situs-situs yang bisa digali dan dikembangkan untuk membangun konstruksi pemikiran dan budaya. Namun, sumber pengetahuan itu belum digali secara mendalam. Karenanya, simposium ini merekomendasikan agar sumber-sumber sejarah dan pengetahuan itu dapat lebih banyak dikaji.


Hal tersebut dikatakan Ngatawi Al Zastrouw, Ketua Pelaksana Simposium Internasional bertema Kosmopolitanisme Islam Nusantara: Jejak Spiritual dan Intelektual Nusantara di Jalur Rempah saat membacakan rekomendasi pada Selasa (31/8). 


“Itu bisa dijadikan sumber pengetahuan dengan pendekatan multidispliner dan integratif agar beberapa bukti, fakta, data, sejarah, baik berupa naskah, cerita tutur, laku hidup bangsa Nusantara bisa menjadi sumber pengetahuan di masa kini,” ujarnya. 


Jalur rempah, kata dia, merupakan jalur yang berperan penting dan strategis dalam pengembangan proses islamisasi di Nusantara. Penelitian ini bisa digali lebih lanjut mengenai Islam yang memiliki karakteristik khas Nusantara dan dimiliki bangsa Nusantara.


“Sebab, jalur rempah merupakan instrumen sekaligus merupakan sesuatu yang berdampingan dengan proses islamisasi di Nusantara. Sejarah, tradisi lisan, arkeologi, naskah, dan situs hendaknya tidak dipahami sebagai benda mati atau kronologi peristiwa,” kata pria asal Pati Jawa Tengah ini.


Karenanya, lanjut dia, simposium ini merekomendasikan agar ada perubahan perspektif, yaitu harus dipahami sebagai gerak dan jejak peradaban yang bisa dijadikan referensi, sumber inspirasi, dan sumber kreatifitas masyarakat dalam membangun peradaban di masa kini.


Hal ini memiliki konsekuensi terhadap perubahan kurikulum sejarah, antropologi, dan kebudayaan “Kalau dipahami hanya sebagai benda mati, sekadar peristiwa masa lalu, maka hanya akan ada dua konsekuensi, ditinggalkan karena tidak ada relevansi dan diglorifikasi sehingga menumpulkan pemikiran,” ujar budayawan itu.


Momentum gerakan
Menurut Ngatawi Al Zastrouw, Simposium Internasional hendaknya tidak sekedar dipahami sebagai sebuah event yang bersifat insidental tetapi menjadi momentum awal suatu gerakan yang meliputi dua hal.


Pertama, gerakan intelektual, yaitu menggali data-data dan informasi baik dalam bentuk naskah dan benda-benda terkait jalur rempah, proses terjadinya interaksi budaya yang membentuk kosmopolitanisme Nusantara.


“Hendaknya tidak berhenti di sini tapi direkomendasikan untuk membangun Gerakan intelektual membantu jaringan dan sebagainya,” ujar pengajar sosiologi Islam Nusantara itu.


Kedua, simposium ini juga perlu dijadikan sebagai momentum gerakan sosial-budaya, yaitu membangun kesadaran (awareness) terhadap rempah sebagai media membangun jaringan ekonomi dan kebudayaan, terutama mendorong terciptanya ekonomi kreatif berbasis rempah di masa kini.


“Rempah tidak sekadar komoditas berdasarkan hasil kesimpulan, tetapi rempah juga menjadi instrument membangun relasi kultural, jaringan intelektual dan jaringan spiritual,” ujar orang dekat Gus Dur ini.


Selanjutnya, simposium ini mendorong rempah sebagai spirit untuk membangun identitas kultural bangsa Nusantara sebagai bangsa bahari dan negeri maritim. Sebab, maritim adalah hal yang terkait dengan negara, sedangkan bahari berkaitan dengan budaya.


Zastrouw menyampaikan bahwa pada intinya, simposium yang dilaksanakan selama dua hari itu bertujuan untuk menghidupkan gorong-gorong dan sumber mata air peradaban yang tersumbat agar dapat mengalirkan kembali air jernih peradaban Nusantara untuk peradaban ke depan.


Simposium ini diselenggarakan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).


Pewarta: Syakir NF
Editor: Musthofa Asrori