Internasional

PCINU Tiongkok Kenalkan Islam Moderat di Negeri Tirai Bambu (2)  

Rab, 9 Desember 2020 | 01:30 WIB

PCINU Tiongkok Kenalkan Islam Moderat di Negeri Tirai Bambu (2)  

Wakil Rais PCINU Tiongkok Ahmad Syaifuddin Zuhri (paling kanan) (Foto: dok pribadi)

Semarang, NU Online

China atau Tiongkok dikenal sebagai negara komunis atau tak beragama. Meski demikian bukan berarti agama Islam tak bisa berkembang di tanah asal Panglima Cheng Ho. 

 

Mengenalkan Nahdlatul Ulama (NU) dan wajah Islam Indonesia yang moderat merupakan sebuah tantangan berdakwah para kader NU yang belajar di Negeri Tirai Bambu tersebut.

 

"Mayoritas penduduk China memang atheis, tapi walaupun atheis mereka menjalankan tradisi turun temurun yang panjang dari ajaran Konfusionisme, kalau di Indonesia ini jadi agama Khonghucu," kata Wakil Rais Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok Ahmad Syaifuddin Zuhri kepada NU
Online
, Senin (7/12).

 

Hal yang tak kalah menariknya, pada tahun 2017 alumnus Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang ini pernah mengikuti Simposium Budaya Islam China dan Indonesia yang digelar oleh Pemerintah Provinsi Fujian di Huaqiao University, kampus Quanzhou. 

 

Simposium menghadirkan sekitar 30 peserta dari Indonesia dan China. Dari Indonesia ada delegasi PBNU, Muhammadiyah, UIN Surabaya, UNUSIA Jakarta, UMY Yogyakarta, LIPI, dan lain-lain.

 

Sementara dari China ada beberapa Profesor ahli sejarah dan HI dari berbagai kampus ternama seperti Jilin University, Sun Yat Sen University, Huaqiao University, dan Xiamen University. "Saya adalah satu-satunya peserta dari mahasiswa dan tinggal di China," ucapnya.

 

Dalam kesempatan itu Zuhri berbicara tentang 'Diplomasi Masjid', secara empiris terinspirasi oleh Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) Semarang melalui peran dirinya yang belajar di China. 

 

"Dalam konteks hubungan people-to-people Indonesia dan China sejak tahun 2011 di level pelajar. Bergerak mulai dari awal Perhimpunan Pelajar Indonesia Tiongkok (PPIT)," terangnya.

 

Kesimpulannya, mereka melakukan silaturahim dan ukhuwah lintas bangsa, lintas suku, dan agama. Menurutnya, dalam ilmu Hubungan Internasional mereka telah melakukan Diplomasi Budaya. Membangun kesadaran dan kesepahaman bersama untuk perdamaian. Seperti apa yang pernah Cheng Ho lakukan dalam pelayarannya ke Nusantara. 

 

"Banyak juga kreativitas pribadi kader NU dalam berinteraksi dengan muslim lokal dan internasional di sekitar tempat tinggal atau kampus masing-masing," pungkasnya.

 

Wakil Katib PCINU Tiongkok Sugiarto Pramono menyebut jumlah kader NU di Tiongkok. "Jumlah kader yang saya data dari Wchat, mahasiswa NU ada 667 orang. Sementara jumlah mahasiswa secara umum 14.000 dari berbagai latar belakang. Kita terdistribusi di banyak kota dan kampus. Di kampus saya ada 15 orang dengan 3 orang NU," ujarnya.

 

Tantangan tersendiri adalah merespons pertanyaan yang tidak semudah kita merespons pertanyaan serupa dari orang Indonesia. "Karena orang Tiongkok memiliki budaya, keyakinan yang berbeda sehinga cara menjawab harus sesuai dengan cara berfikir mereka," terangnya.

 

Komunikasi berjalan lebih baik dan intens ketika PCINU terbentuk tahun 2017, terutama untuk berdakwah. Terbentuknya PCINU menjadi motivasi untuk melakukan kegiatan bersama. "Sebenarnya sebelum ini sudah ada tahlilan, dzibaan, dan lain-lain," bebernya.

 

Setelah PCINU terbentuk mampu menjalin kerja sama dengan KBRI Tiongkok yang kemudian KBRI turut berkontribusi dalam faunding buku yang disusun oleh pengurus PCINU. 

 

"Isi bukunya tentang pengalaman kehidupan di Tiongkok, berjudul Tiongkok Islam China dan Tiongkok. Buku ini kemudian banyak dibedah baik offline maupun Online," jelasnya.

 

Dengan demikian, buku dan kegiatan bedah buku menjadi semacam jalur baru hubungan masyarakat Tiongkok yang selama ini didominasi informasi wajah Islam yang radikal. 

 

"Dengan adanya buku itu ternyata mereka baru tahu. Sebenarnya ini sudah lama tapi di medsos belum lama, terutama hubungan antara masyarakat Tiongkok dengan Indonesia," tutupnya.

 

Kontributor: Ahmad Rifqi Hidayat

Editor: Abdul Muiz