Fragmen

Sejarah NU Wonopringgo (2): Tahun 1939 Terbentuk Kring 

Jum, 3 April 2020 | 13:00 WIB

Sejarah NU Wonopringgo (2): Tahun 1939 Terbentuk Kring 

Ranting NU Wonopringgo (Foto: Ajie Najmuddin)

Pada tulisan sebelumnya, telah dipaparkan mengenai keterlibatan beberapa ulama asal Wonopringgo, sebuah nama kecamatan yang kini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, di perhelatan Muktamar ke-V NU di Pekalongan pada tahun 1930. 

Para kiai asal Wonopringgo yang disebutkan, antara lain Kiai Haji Mansoer dan Kiai Haji Dimyati, di mana keduanya berasal dari Desa Rowokembu.

Pada tahun 1939 atau sembilan tahun berselang, setelah Pekalongan ditunjuk menjadi tuan rumah penyelenggara Muktamar NU, perkembangan jam’iyyah Nahdlatoel Oelama di daerah penghasil batik tersebut makin pesat. Di beberapa kecamatan, telah terbentuk beberapa kring NU, termasuk di antaranya Wonopringgo.

Dari data yang penulis temukan di majalah Berita Nahdlatoel Oelama’ (B.N.O), menerangkan mengenai pembentukan Kring NU di Wonopringgo, yang berdiri pada tahun 1939 (untuk tanggal dan bulan tidak disebutkan). Terbentuknya Kring NU di wilayah Wonopringgo ini mengikuti jejak Kring NU Kedungwuni yang telah terbentuk beberapa tahun sebelumnya.

Dalam artikel di majalah B.N.O tersebut, juga menyebutkan susunan pengurus Kring NU Wonopringgo, yang sayangnya tidak menyebutkan nama Rais Awwal (Rais Syuriah), tetapi hanya disebutkan Rais Tsani yang diemban KH Sholichin (dari Rowokembu Kaum), kemudian Rais bagian Muballighien KH Boezzari (Gondang). Adapun posisi Voorzitter (Ketua Tanfidziyah) diemban oleh M. H Boechari (Rowokembu), yang dibantu oleh Secretaris I, H.M. Moechsin (Rowokembu), dan Penningmeester/Bendahara, H. Sahroni (Gondang).

Kemudian, jarak antara tahun 1930-1939 tersebut, melalui fakta ini juga dapat berarti, meski organisasi NU sudah dikenal oleh masyarakat Wonopringgo, paling tidak sejak tahun 1930, namun pada kenyataannya secara struktural organisasi, Kring NU di Wonopringgo baru dapat terbentuk sembilan tahun sesudahnya.

Di masa itu, untuk mendirikan sebuah cabang organisasi keagamaan, memang tidaklah mudah seperti saat ini. Terlebih, pada tahun 1930-1940, NU perlahan menjelma menjadi sebuah organisasi sosial keagamaan yang cukup kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Hadirnya Kiai Ilyas
Pesatnya perkembangan organisasi NU di Pekalongan, termasuk juga Wonopringgo yang telah dipaparkan di atas, merupakan hasil dari kegigihan para ulama setempat dalam berjuang membesarkan NU. Namun, selain faktor utama tersebut, hal tak kalah penting dari majunya NU di Pekalongan, yakni kehadiran KH Muhammad Ilyas, yang pindah dari Jombang ke Pekalongan sejak tahun 1936.

Kiai Ilyas, bersama dengan KH Abdul Wahid Hasyim, menjadi tokoh penting dalam usaha pembaharuan kurikulum di Pesantren Tebuireng Jombang yang kala itu diasuh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Di usia yang masih tergolong muda, 17 tahun, ia ditunjuk menjadi kepala madrasah Pesantren Tebuireng.

Dengan kompetensi keilmuan yang cukup lengkap itu, Kiai Ilyas kemudian mampu memanfaatkannya untuk membesarkan NU di lingkup Cabang Pekalongan, yang sudah terbentuk sejak tahun 1928, seperti yang tercatat dalam majalah Swara Nahdlatoel Oelama’ (S.N.O) edisi tahun 1347 H.

Meski demikian, kala itu, secara organisasi NU Pekalongan baru bisa dibentuk di kecamatan atau desa, yang kini masuk ke wilayah Kota Pekalongan (Kergon, Pesindon, Krapyak, Banyurip, dan lainnya) ataupun di dekatnya yang kini masuk ke wilayah Kabupaten Pekalongan, seperti Buaran.

Sedangkan untuk wilayah Pekalongan sebelah selatan, NU baru berkembang di beberapa daerah yang menjadi basis kaum pesantren, seperti Kranji (Kedungwuni) dan Wonopringgo. Keduanya, secara geografis terletak berdampingan dan hanya dipisahkan oleh aliran Sungai Sengkarang. Dua wilayah tersebut, yang kemudian menyokong kekuatan NU, khususnya di Kabupaten Pekalongan, bahkan hingga sekarang.

Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Abdullah Alawi