Fragmen

KH Hasyim Adnan: Orator Ulung dan Aktivis Dakwah di Jakarta (1)

Sen, 20 Januari 2020 | 13:15 WIB

KH Hasyim Adnan: Orator Ulung dan Aktivis Dakwah di Jakarta (1)

(Foto: koleksi keluarga)

Riwayat Hidup: Buah Jatuh Tidak Jauh dari Pohonnya
KH Hasyim Adnan lahir di Tegal, Jawa Tengah, 3 Mei 1939 dari pasangan Kiai Adnan dan Hj Jaunah. Dia (1939-1988 M) merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Saudara-saudaranya terdiri atas dua perempuan dan satu laki-laki, yaitu Hj, Rofi`ah Adnan (kakak); Ustadz Muhammad Hisyam Adnan (adik); dan Ustadzah Hj Siti Romlah Adnan (adik).

Penguasaannya dalam ilmu keislaman dan profesinya sebagai dai tidak terlepas dari sosok ayahnya, Kiai Adnan. Ibarat pepatah: buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ayahnya, Kiai Adnan, merupakan ulama asal Kuningan, Jawa Barat yang pindah dan bermukim di Tegal serta menjadi ulama terkemuka.

Di Kota Tegal, ketika itu, ada dua ulama yang terkenal, yaitu Kiai Mukhlas dan Kiai Adnan sendiri. Kiai Mukhlas terkenal sebagai kiai kitab, yaitu kiai yang menguasai khazanah Islam klasik, kitab-kitab kuning. Sedangkan Kiai Adnan terkenal sebagai kiai pergerakan. 

Sebagai orang tua, terlebih sebagai seorang ulama, tentu Kiai Adnan sangat berharap anak-anaknya dapat menguasai ilmu keislaman, menjadi ulama seperti dirinya. Begitulah harapannya tertuju kepada Hasyim Adnan kecil yang sejak dini mendapatkan pendidikan keislaman, terutama membaca Al-Quran dari dirinya.

Kemudian, Hasyim Adnan kecil menempuh pendidikan dasar di Kota Tegal, Jawa Tengah. Setelah itu, dia meneruskan pendidikan tsnawiyah juga di Kota Tegal, namun setelah lulus tsanawiyah dia meneruskan pendidikan aliyah di Kota Pemalang.
 
Ia memang tipe orang yang haus akan ilmu keislaman, karenanya dia juga menempuh pendidikan ke beberapa pondok pesantren terkenal di Pulau Jawa. Ia pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Lirboyo, Jawa Timur dan di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

Buah yang Matang di Kota Malang
Pendidikan formalnya dia lanjutkan ke Jawa Timur dengan kuliah di IAIN Malang pada tahun 60-an sampai meraih gelar sarjana muda (BA) di Kota Malang. Dia mulai mengasah kemampuan dakwahnya sebagai penceramah dari satu masjid ke masjid lainnya, dari satu ke lain majelis taklim sampai akhirnya dia menjadi dai kondang di Kota Malang.
 
Kecemerlanganya sebagai dai di Kota Malang tentu tidak terlepas dari asal pendidikan dan pembinaan sebelumnya. Ibarat buah, buah yang sudah bagus dari asal pohonnya di Kota Tegal dan mendapat perawatan yang baik di berbagai jenjang pendidikan dari pendidikan formal sampai pondok pesantren, maka buah ini ketika dilepas di Kota Malang sudah dapat matang dengan sendirinya.

Kepergiannya untuk menuntut ilmu di Kota Malang tidaklah sendirian. Adik perempuannya, Ustadzah Hj Siti Romlah Adnan, juga melanjutkan studinya di Kota Malang. Bahkan, dia yang mendidik adiknya untuk menjadi guru ngaji dan mubaligah. Adik perempuannya ini menyertai dia bukan hanya di Kota Malang, bahkan juga ketika dia hijrah ke Jakarta.

Kelak, berkat didikannya pula, Ustadzah Hj Siti Romlah Adnan menjadi salah satu mubaligah terkemuka di Jakarta. Dan seperti dirinya, Ustadzah Hj Siti Romlah Adnan menjadi seorang aktivis organisasi, pendiri dan mantan Ketua Hidmat Nahdlatul Ulama (NU) (Himpunan Da’iyah Muslimat dan Fatayat NU) periode kedua.

Hijrah dan Kiprah Dakwah di Jakarta
Pada tahun 1965, gurunya, KH Mahrus Ali, ulama terkemuka dan pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur generasi kedua yang merupakan menantu dari KH Abdul Karim pendiri Pondok Pesantren Lirboyo memintanya untuk hijrah ke Jakarta untuk memperkuat dan membentengi umat Islam di Jakarta dari pengaruh paham komunis.
 
Ketika tahun 1965 itu paham komunis memang sedang di atas angin, menjadi paham yang populer di Indonesia. Di bidang politik, orang-orang komunis sangat kuat karena mempunyai partai politik, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), yang tidak hanya menguasai parlemen, tetapi juga telah masuk dan memiliki peran dan posisi di birokrasi dan militer dari tingat pusat sampai daerah walau akhirnya hancur karena ulah mereka sendiri pada peristiwa yang dikenal dengan nama G30S/PKI.

KH Hasyim Adnan adalah model santri sejati yang sangat hormat dan patuh kepada perintah gurunya. Dia menuruti perintah gurunya untuk rela meninggalkan Kota Malang, Jawa Timur yang telah banyak berjasa dalam mendidik dan mengembangkan bakat dakwahnya, juga meninggalkan segala kenangan indah yang tidak akan pernah dia lupakan, untuk pergi ke Jakarta, Ibu Kota Negara, yang dia sendiri belum pernah tahu seperti apa bentuk kehidupannya yang akan dia jalani.
 
Dia seperti seseorang yang masuk ke hutan rimba yang lebat dan harus bersusah payah menembus, babat alas, agar tahu isi hutan rimba itu sehingga mudah untuk menaklukannya. Namun dia yakin bahwa perintah gurunya mengandung keberkahan. Kepergiannya tentu diiringi doa gurunya. Masa depan dakwahnya yang lebih cemerlang ada di Ibu Kota walau saat itu kondisi perpolitikan di tanah air, terlebih di Jakarta, sedang pada situasi yang sangat panas dan genting.

Tiba di Jakarta, atas saran dan rekomendasi dari gurunya, pertama kali dia tinggal di Yayasan Waqfiyah Perguruan Al-Khairiyah, Mampang, Jakarta Selatan. Yayasan ini bergerak di bidang pendidikan Islam dan mulai berdiri sejak zaman penjajahan Belanda, yaitu pada tahun 1928 M.
 
Pertama kali berdiri terletak di Jalan Buncit III Jalan Mampang Prapatan VI, Kelurahan Tegal Parang dan pada tahun 1968 ada yang berlokasi di Buncit I Mampang Prapatan IV Kelurahan Mampang Prapatan, yaitu sejak berdirinya Madarasah Tsanawiyah.
 
Para pendiri lembaga pendidikan Islam ini antara lain KH Ishak Musa; KH Abdul Hadi Musa; dan KH Abdullah Musa. Di yayasan ini dia mengajar beberapa mata pelajaran yang telah ditentukan.

Sambil mengajar, tentu dia tidak melupakan tugasnya sebagai seorang dai. Maka, dia pun berceramah ke berbagai tempat di Jakarta. Karena kepiawaiannya dalam berceramah, lambat laun dia semakin populer di Jakarta dan menjadi salah seorang dai kondang bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah sekitar Jakarta bahkan dia pernah diundang ceramah ke luar negeri, seperti ke Singapura.

Suatu ketika, dia memutuskan diri untuk pindah tempat tinggal ke Gunung Sari 9, Jakarta Pusat. Dari tempat tinggalnya yang baru ini, aktivitas dakwahnya semakin luas. Untuk membantu tugas-tugasnya dalam berdakwah, pada tahun 1968, dia mengangkat seorang remaja yang bernama Mansyur dan masih sekolah di STM (Sekolah Teknik Menengah) sebagai asisten pribadinya.
 
Ke mana pun KH Adnan Hasyim pergi berdakwah, Mansyur sering menemani dengan tugas membawa tas, seperti ke Tanjung Priok, Jakarta Kota, dan Masjid Istiqlal. Pada saat itu, KH Adnan Hasyim sudah aktif di Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) bahkan dia yang memegang kunci kantor PBNU dan Mansyur kerap menemani. Begitu dekat dan sayangnya KH Hasyim Adnan kepada Mansyur, maka Mansyur dijadikan anak angkatnya.
 
 

Rakhmad Zailani Kiki, Sekretaris Rabithah Maahid Islamiyah PWNU DKI Jakarta