Daerah

Santri Harus Tunjukkan Himmah Kesantrian dengan Menulis

Ahad, 1 November 2020 | 00:30 WIB

Santri Harus Tunjukkan Himmah Kesantrian dengan Menulis

Ilustrasi dakwah menulis di medsos. (Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online

Penulis novel Hati Suhita, Hilma Anis, mengatakan bahwa para santri harus menunjukkan himmah kesantriannya dengan cara menulis. Hal itu ia ungkapkan saat menjadi pembicara dalam acara halaqah virtual ulama perempuan yang diinisiasi Pusat Studi Pesantren (PSP), Jumat (30/10) kemarin.


“Oleh karena itu, perlu mengajarkan santri untuk menulis sejak di pesantren yang kadang kita melupakan itu. Sering kita menyuruh santri untuk suka membaca dan menulis tapi ketika kita berada di dekat santri tidak menunjukkan sikap suka membaca dan menulis,” ujarnya.


Menurut Ning Hilma, sapaan akrabnya, jurnalistik menjadi pintu masuk yang bagus untuk menulis bagi santri. Karena, ke depannya santri harus bisa menulis dengan profesi apapun.


Ia mengungkapkan, santri harus dapat mengubah dakwah konvensional menjadi dakwah modern lewat media sosial dengan dasar bakat dan minat masing-masing.
“Misalnya seperti saya yang bisanya di bidang sastra, maka saya berdakwah dengan menulis novel,” ungkapnya.


Ning Hilma menjelaskan, perlu kesadaran diri dan keadaan memaksa untuk menjadi produsen, bukan konsumen. Memberi pelajaran kepada semua orang tentang sebuah ilmu yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.


Ia menambahkan, perlu kehadiran orang-orang pesantren di media soosial agar konten yang dikonsumsi oleh para santri dan anak-anak terhindar dari ilmu yang sanadnya tidak tersambung kepada Rasulullah SAW.


Penggunaan medsos, lanjut dia, harus dilakukan sebaik-baiknya dan lebih kreatif lagi. Oleh karena itu, orang-orang pesantren tidak boleh anti kepada medsos termasuk kiai, ibu nyai, ning, dan gus.


“Sebagai generasi pesantren, saya mengajak orang-orang pesantren untuk memberikan sesuatu meskipun sedikit. Itu lebih baik dari pada tenggelam dalam angan-angan untuk berbuat banyak,” tandasnya.


“Kita sibuk mengkritik orang lain tapi tidak sadar harus berbuat sesuatu,” sambung Ning Hilma.


Ia menambahkan, perlu kesadaran untuk memberikan pembelajaran tentang jurnalistik kepada santri-santri, agar tidak melulu mengaji. Menjadi santri putri harus cerdas. Karena perempuan menjadi ‘madrasah pertama’ bagi anak-anaknya kelak.


“Saya mengajak hadirin sekalian, mari kita ramaikan media sosial dengan dakwah sesuai bidangnya masing-masing,” pungkasnya.


Selain Ning Hilma, halaqah virtual edisi ke-15 ini menghadirkan dua narasumber lain. Yakni, Nuril Hidayati (Dosen Filsafat IAIN Kediri), dan Ahmad Ginanjar Sya’ban (Dosen Unusia Jakarta).


Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori