Daerah

Jelang Ramadhan Muslim Sunda, dari Munggahan, Ziarah, Kuramas sampai Papajar 

Jum, 8 Maret 2024 | 13:31 WIB

Jelang Ramadhan Muslim Sunda, dari Munggahan, Ziarah, Kuramas sampai Papajar 

(Ilustrasi Ramadhan: NU Online)

Jakarta, NU Online
Salah satu kebiasan menjelang Ramadhan yang masih hidup pada masyarakat Sunda adalah munggahan. Tradisi tersebut misalnya dilaksanakan Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Bandung yang menggelar kegiatan Bungah Manggih Munggah akhir pekan lalu di Pondok Pesantren Al-Istiqomah.

Ketua GP Ansor Kabupaten Bandung, Ahmad Fathoni mengatakan bungah artinya bahagia, sementara manggih munggah artinya bertemu dengan munggahan atau secara keseluruhan artinya bahagia bertemu dengan bulan suci Ramadhan. 


Menurut dia, acara tersebut sebagai rasa syukur para pemuda NU di Kabupaten Bandung yang dipertemukan kembali dengan bulan penuh berkah dan ampunan.


“Senang dipertemukan lagi dengan bulan penuh berkah. Di sana ada Nuzulul Qur’an, ada lailatur qadar, dan menjadi kesempatan untuk kita lebih mendekatkan diri kepada Allah; belajar sabar, membersihkan diri, dan bersatu dalam beribadah,” katanya, Jumat (8/3/2024)


Aktivis Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Jawa Barat Lely Mei mengamini apa yang dikatakan Ketua GP Ansor Kabupaten Bandung. 


“Selain munggahan, ada namanya kuramas tradisi mencuci rambut, diartikan membersihkan diri secara fisik menjelang puasa. Ada juga papajar, hampir sama dengan munggahan; ada kegiatan makan bersama, namun papajar dilakukan di tempat pariwisata bersama keluarga,” katanya pada NU Online, Kamis (7/3/2024)


Pada tradisi munggahan, biasanya keluarga berkumpul untuk melakukan ziarah kubur atau nyadran dilanjutkan dengan makan-makan bersama. Munggahan tidak hanya dapat dilakukan bersama keluarga, bisa juga dilakukan bersama teman-teman atau bahkan tetangga baik dengan cara botram atau ngaliwet.


Lely menambahkan tidak ada data pasti mengenai awal mula adanya tradisi munggahan. Ia menduga tradisi tersebut bermula sejak ajaran Islam masuk ke Nusantara.


“Lalu diakulturasi dengan budaya yang sudah ada, bisa dikatakan sekitar abad ketujuh,” jelasnya.


Arti dari kata munggahan sendiri, menurut dia, berasal dari kata unggah yang artinya naik. Karena munggahan berkaitan dengan menjelang bulan Ramadhan, maka naik yang dimaksud adalah naik derajat ke bulan yang suci yaitu Ramadhan.


Sementara Tb. Dacep Jalaluddin Sayuti berpendapat tradisi munggahan perlu dilestarikan selama dalam praktiknya tidak bertentangan ajaran Islam. 


Dan selama ini, menurutnya, dalam tradisi munggahan terdapat ajaran untuk saling bersilaturahmi di antara saudara dan sahabat yang sangat dianjurkan agama. Dengan demikian, munggahan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. 


“Bersilaturahmi antara yang hidup kepada yang meninggal, dengan adanya ziarah makam atau nyadran.  Silaturahmi antara yang hidup dengan yang hidup, dengan berkumpulnya keluarga,” tandas pemuka agama di Desa Telukpinang, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor itu.