Daerah

Jelang Ramadhan, Muslim di Bali Gelar Tradisi Megengan hingga Megibung

Jum, 8 Maret 2024 | 08:15 WIB

Jelang Ramadhan, Muslim di Bali Gelar Tradisi Megengan hingga Megibung

Majelis Dzikir dan Shalawat Rijalul Ansor Bali menggelar tradisi Megengan jelang Ramadhan di Gedung Sekretariat PWNU Bali, Rabu (6/3/2024). (Foto: dok. Ansor Bali)

Jakarta, NU Online

Bali atau yang dikenal juga dengan Pulau Dewata, tidak hanya terkenal karena keindahan alam yang menakjubkan, tetapi juga populer karena kekayaan budaya dan tradisinya. Salah satu tradisi yang unik dan menarik adalah tradisi yang dilakukan setiap menjelang Ramadhan, padahal mayoritas penduduk pulau Bali beragama Hindu.


Warga Muslim di Bali menggelar tradisi Megengan menjelang Ramadhan yang dilangsungkan di mushala atau masjid setempat. Megengan secara linguistik bisa diartikan menahan. Dalam konteks bulan Ramadhan, Megengan berarti menahan hawa nafsu yang terkait dengan makan, minum, dan lain sebagainya.


Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Bali Abdul Aziz mengatakan, tradisi Megengan atau kirim doa di mushala dan masjid sudah dilakukan rutin setiap tahun sebagai laku syukur dan menyambut bulan suci Ramadhan.


"Sebagian Muslim di Bali sudah melaksanakan persiapan lahir dan batin seperti penampahan puasa dengan menggelar acara kirim doa di masing-masing masjid dan mushala disertai sedekah makanan atau istilah lain Megengan. PWNU sudah melaksanakan, Kamis kemarin," ujar Aziz kepada NU Online, Kamis (7/3/2024).


Acara megengan berlangsung setelah Shalat Maghrib hingga pukul 20.30 WITA. Warga kemudian memberikan sedekah nasi kotak untuk Megengan kepada panitia sejak sore. Lalu panitia menyodorkan kertas untuk diisi dengan nama-nama leluhur yang akan dikirimi doa.


Setelah terkumpul, ratusan nama leluhur yang dikirimi doa itu dibagi rata kepada beberapa pengurus untuk dibaca secara bersama-sama, karena jika dibaca oleh satu orang akan memerlukan waktu yang lama, apalagi setiap jamaah mushala itu menyetorkan 3-5 nama leluhurnya.


Hanya sekitar 10-15 menit, ratusan nama leluhur itu pun selesai dibacakan, lalu pengurus memimpin pembacaan yasin dan tahlil yang diikuti seluruh jamaah yang hadir, baik laki-laki maupun perempuan.


Tradisi Megibung

Tak hanya tradisi Megengan, warga Muslim Bali menggelar tradisi Megibung, yakni makan bersama dalam satu wadah (sela) yang ada dalam kehidupan masyarakat Karangasem, Bali. Tradisi makan bersama masyarakat Bali yang beragama Islam ini sudah ada sejak 1692 Masehi.


Tradisi Megibung dimulai dari proses memasak bersama. Menu yang dimasak merupakan menu-menu tradisional khas Bali, mulai dari nasi hingga lauk-pauknya.


Setelah proses masak selesai, makanan tersebut disiapkan ke dalam wadah nampan yang sudah dilapisi daun pisang. Kemudian dimakan bersama-sama, duduk melingkar dengan posisi bersila.Ā 


Ada istilah lain dari Megibung yaitu Sele. Sele artinya orang yang memasak atau duduk bersama untuk merayakan tradisi Megibung dan menikmati hidangan di dalam satu kelompok lingkaran.


Tidak hanya dilakukan ketika menyambut bulan suci Ramadhan, Megibung juga kerap dilakukan dalam acara adat atau upacara keagamaan di Karangasem.


Seperti upacara Dewa Yadnya, upacara Pitra Yadnya, upacara Bhuta Yadnya, upacara Manusa Yadnya, upacara Rsi Yadnya, upacara potong gigi, otonan anak, pernikahan, maulid Nabi, dan ngaben.Ā 


"Tujuan utama dari tradisi Megibung adalah untuk menjaga, menjunjung dan menumbuhkan kebersamaan juga kesetaraan," jelasnya.

 

Beriringan dengan Hari Raya Nyepi

Aziz mengungkapkan, Ramadhan tahun ini menarik karena beriringan dengan perayaan hari Raya Nyepi (umat Hindu), sehingga awal puasa Ramadhan semua aktivitas termasuk shalat tarawih digelar di rumah masing-masing.


"Semua aktivitas dalam 24 jam di Bali sementaraĀ  ditiadakan dan masyarakat tidak boleh keluar rumah. Hal ini sudah menjadi kebiasaan di Pulau Bali. Kita umat Islam dan Hindu saling menghargai dan saling menghormati sehingga proses peribadatan sama-sama berjalan baik," tutur Aziz.