Nasional

Jelang Ramadhan, Ini Catatan Bagi yang Masih Punya Utang Puasa

Sab, 12 Maret 2022 | 12:30 WIB

Jelang Ramadhan, Ini Catatan Bagi yang Masih Punya Utang Puasa

Ilustrasi puasa Ramadhan. (Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online 
Beberapa hari ini umat Muslim sudah memasuki bulan Sya’ban, artinya tidak lama lagi mereka akan menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan. Bagi mereka yang memiliki utang puasa, diharuskan untuk meng-qadha puasa sebelum tiba Ramadhan berikutnya.


Orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadhan —padahal ia memungkinkan untuk segera meng-qadha— sampai datang Ramadhan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan meng-qadha puasa Ramadhan.


Adapun berikut ini adalah lafal niat qadha puasa Ramadhan: 


 نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى 


Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’I fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta‘âlâ. 


Artinya: “Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT.” 

 


Ketentuan Fidyah 
Menurut pendapat al-ashah, orang yang menunda qadha puasa Ramadhan—padahal ia memungkinkan untuk segera meng-qadha—sampai datang Ramadhan berikutnya, fidyah baginya berlipat ganda dengan berlalunya putaran tahun.


Semisal orang punya tanggungan qadha puasa sehari di tahun 2021, ia tidak kunjung mengqadha sampai masuk Ramadhan tahun 2022, maka dengan berlalunya dua tahun (dua kali putaran Ramadhan), kewajiban fidyah berlipat ganda menjadi dua mud.


Berbeda dengan orang yang tidak memungkinkan mengqadha, semisal uzur sakit atau perjalanannya (safar) berlanjut hingga memasuki Ramadhan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya, ia hanya diwajibkan meng-qadha puasa.

 


Alokasi Fidyah 
Fidyah wajib diberikan kepada fakir atau miskin, tidak diperbolehkan untuk golongan mustahiq zakat yang lain, terlebih kepada orang kaya. Alokasi fidyah berbeda dengan zakat, karena nash Al-Qur’an dalam konteks fidyah hanya menyebut miskin “fa fidyatun tha‘âmu miskin” (QS al-Baqarah ayat 184). Sedangkan fakir dianalogikan dengan miskin dengan pola qiyas aulawi (qiyas yang lebih utama), sebab kondisi fakir lebih parah daripada miskin.


Per satu mud untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan merupakan ibadah yang terpisah/independen, oleh karenanya diperbolehkan mengalokasikan beberapa mud untuk beberapa puasa yang ditinggalkan kepada satu orang fakir/miskin. Semisal fidyah puasa orang mati 10 hari, maka 10 mud semuanya boleh diberikan kepada satu orang miskin.


Berbeda halnya dengan satu mud untuk jatah pembayaran fidyah sehari, tidak diperbolehkan diberikan kepada dua orang atau lebih. Semisal fidyah puasa wanita menyusui 1 hari, maka satu mud fidyah tidak boleh dibagi dua untuk diberikan kepada dua orang fakir. Begitu juga, fidyah puasa ibu hamil 2 hari tidak cukup diberikan kepada 4 orang miskin.


Niat fidyah
Berikut adalah contoh niat fidyah karena terlambat mengqadha puasa Ramadhan: 


نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ تَأْخِيْرِ قَضَاءِ صَوْمِ رَمَضَانَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى 


Nawaitu an ukhrija hâdzihil fidyata ‘an ta’khîri qadhâ’i shaumi ramadhâna fardhan lillâhi ta’âlâ 


Artinya: “Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan, fardlu karena Allah”.


Niat fidyah boleh dilakukan saat menyerahkan kepada fakir/miskin, saat memberikan kepada wakil atau setelah memisahkan beras yang hendak ditunaikan sebagai fidyah. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam bab zakat.


Waktu pelaksanaan fidyah minimal sudah memasuki malam hari (terbenamnya matahari) untuk setiap hari puasa, boleh juga dilakukan setelah waktu tersebut.


Fidyah dengan Uang
Sebagaimana penjelasan di atas, harta yang dikeluarkan untuk fidyah disyaratkan berupa makanan pokok daerah setempat. Tidak cukup menggunakan harta jenis lain yang bukan merupakan makanan pokok, semisal uang, daging, tempe, dan lain-lain. Ini adalah pendapat mayoritas ulama mazhab empat, yaitu Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.


Sedangkan menurut Hanafiyah, fidyah boleh ditunaikan dalam bentuk qimah (nominal) yang setara dengan makanan yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an atau hadits, misalnya ditunaikan dalam bentuk uang.


Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Musthofa Asrori