Cerpen

Duka Fitri di Malam Idul Fitri

Rab, 10 April 2024 | 19:30 WIB

Duka Fitri di Malam Idul Fitri

Ilustrasi (Freepik)

Cerpen Dimas Jayadiekat
Setiap malam mungkin akan sama dengan malam lainnya. Begitu pun jika diperbandingkan dengan malam indah menjelang Hari Raya Idul Fitri. Malamnya boleh jadi sama, tapi esensi dan rasanya di setiap orang pasti akan berbeda. 


Bahkan untuk satu orang saja, malam yang dikatakan sama tadi bisa memiliki makna berbeda-beda. Penyebabnya adalah sesuatu yang menjadi kenangan di kehidupannya.


Terutama dengan makna kesucian di Hari Raya Idul Fitri yang selalu bisa menimbulkan tangis penuh keharuan. Namun, siapa yang menyangka dan ingin menduga apalagi merasakan, jika ternyata justru hari indah itu menjadi tragedi memilukan, hingga akan terus menuai air mata saat mengenangnya?


Fitri, ketika itu masih sangat kecil, saat ia harus mengenang Darmo, ayah tercintanya. Dan Darmo adalah pahlawan baginya, sampai kapan pun, tak peduli apa yang orang akan bilang, terutama jika mengetahui kisah pilu dibaliknya.


Sebagai bocah kecil, Fitri tak pernah tahu apa itu miskin dan kaya. Baginya, ketika ia menginginkan sesuatu, tinggal bilang ke ibu dan ayahnya, setidaknya harapan terpenuhi akan menjadi lebih besar.

 

Tak ada seorang anak pun di kala usia bocahnya yang memahami dengan pasti bahwa kebutuhan dan keinginan merupakan dua hal berbeda, yang boleh jadi di dalam pemenuhannya tidak dapat terpenuhi sekaligus. Andaipun mampu terpenuhi, maka akan ada usaha besar di dalam pemenuhannya tadi.


Apalagi untuk Darmo dan istrinya, Darmi. Di usia pernikahannya yang belum sepuluh tahun, ujian demi ujian terus berdatangan, terutama ujian finansial. Dari hidup yang awalnya boleh dibilang pas-pasan, kini berubah menjadi sangat kekurangan.

 

Darmo yang seorang pekerja serabutan, sebenarnya punya kemampuan mumpuni di bidang pembangunan rumah dan kelistrikan. Namun, rezeki untuk bidangnya itu ibarat puasa sunnah Senin dan Kamis. Proyek jarang menetap selama setahun dan begitupun dengan pendapatan rutin per bulan, yang tak pernah bisa diraihnya.

 

Awalnya, Darmo mencoba untuk ikhlas dan memenuhi dirinya dengan rasa syukur. Tapi tingkat pemenuhan kebutuhannya sudah jauh meninggalkan keinginannya. Artinya, ia sudah lebih banyak membutuhkan dan jauh dari keinginan yang neko-neko, seperti kebutuhan primernya, sandang, pangan dan papan yang selalu kekurangan.

 

"Dari mana lagi ya mas, rezeki kita bulan ini? Kontrakan belum bayar, listrik, air, belum lagi jajannya Fitri. Itu juga belum dihitung sama utang kita," Darmi berkata dengan sedih.

 

"Sabar, Mi. Aku juga masih terus mengusahakan," Darmo berkata juga dengan nada sedih, namun ia berusaha untuk tidak membuat sedih istrinya itu.


"Sudah kelihatan? Bulan depan juga sudah masuk Ramadhan, ini mulai banyak penutupan pengajian. Malu juga nggak bisa ngasih ke ustadzah atau patungan untuk acara penutupan pengajian," kata Darmi ke Darmo, sekaligus melaporkan situasi umum keuangan mereka yang super defisit.

 

"Aku juga lagi mikir. Bahkan untuk sekadar bayar Zakat Fitrah saja belum ada," sahut Darmo lesu.

 

Mereka bukan orang yang terlalu religius dan beragama pun mungkin sekadarnya, namun mereka tak pernah berani hidup menyimpang dari ajaran agama.

 

Darmo berusaha untuk terus bertanggung jawab serta juga memberikan nafkah batin berupa pengajaran tentang nilai-nilai kebaikan kepada Darmi dan Fitri. Sesuatu yang cukup manjur di kala itu karena memang komunikasi di antara mereka cukup baik.

 

Sebagai seorang family man, Darmo memang sangat dekat dengan Fitri, demikian pula Fitri yang seakan lebih memilih tidak bersama dengan Darmi dibandingkan harus kehilangan Darmo. Ikatan seorang anak perempuan dengan ayahnya yang begitu indah, dimana sang ayah menjadi cinta pertama dan selamanya.

 

Mereka sering bermain bersama, belajar mengenal huruf-huruf hijaiyah serta menghafalkan doa-doa pendek, dan banyak hal lain yang kerap dilakukan bersama di saat Darmo sedang menganggur seperti itu.


Namun, di suatu pagi, bidadari kecilnya sakit. Demam tinggi. Darmo dan Darmi pun panik karena panasnya membuat Fitri mengigau dan meracau. Bahkan saking tinggi suhu tubuhnya, Fitri sempat step sehingga mau tidak mau Darmo dan Darmi membawa Fitri ke Puskesmas.

 

Puskesmas menjadi pilihan terakhir karena tentu berbiaya murah dan sangat terjangkau. Saat itu belum ada program BPSJ Kesehatan dari pemerintah seperti sekarang. Namun biaya murahnya sudah sangat terasa membantu masyarakat berekonomi lemah di kala itu.

 

Dan ujian baru harus mereka jalani setelah dokter merujuk Fitri ke rumah sakit karena hasil laboratorium menyatakan bahwa ia terkena demam berdarah. Darmi hanya bisa menangis di pojok Puskesmas saat pengambilan keputusan dari Darmo apakah Fitri akan dirawat atau tidak.

 

"Gimana, Mas?" tanya Darmi ketika melihat suaminya itu jalan dengan gontai menghampirinya.


"Fitri harus dirawat, atau jiwanya nggak bakal tertolong. Begitu kata dokter," ucap Darmo dengan hati yang dipenuhi kemasygulan.

 

Mereka terdiam, duduk termenung bersama dan kemudian Darmi menyandarkan kepalanya di bahu Darmo.


"Apa yang harus kita lakukan, Mas? Harus gimana lagi kita?" tanya Darmi dengan penuh kesedihan dan tak mampu lagi menahan air matanya.

 

"Kita ikuti maunya dokter," tegas Darmo.

 

"Diopname?"


Darmo mengangguk lemas. "Ya. Tidak ada cara lain. Kecuali kita Ikhlas harus kehilangan Fitri."

 

"Nggak, Mas. Aku nggak mau kehilangan anak itu. Dia anak kita satu-satunya."  Pecah sudah tangis Darmi tak tertahankan.

 

Darmo pun mulai tak sanggup menahan air matanya, meski hanya menetes sedikit, tapi di kedua kelopak matanya air mata telah mengambang.


"Aku juga nggak mau kehilangan Fitri, lebih baik aku yang mati mencari biaya rumah sakit, daripada Fitri nggak selamat."


Dan malam itu, malam ke tujuh belas Ramadan, ketika umat Islam mengadakan peringatan Nuzulul Quran, Fitri masuk ke Rumah Sakit Umum Daerah.

 

Sepanjang hari dan setiap saat, Darmi berdoa memohon kesembuhan bagi Fitri dan jalan keluar terhadap masalah finansial mereka. Darmi tahu dan paham betul kondisi keuangan suaminya kala itu. Jika ingin putus asa, maka Darmi sangat bisa. Tapi ia berusaha bertahan dengan doa dan rasa syukur agar ia tetap mampu ikhlas di dalam menjalani situasi yang teramat sulit bagi mereka itu.

 

Dan akhirnya doa Darmi beserta orang-orang yang mencintai dirinya serta Fitri dikabulkan Allah swt. Berangsur-angsur Fitri membaik dan sehari menjelang malam takbiran, Fitri dinyatakan sembuh dan diperbolehkan rawat jalan di rumah.

 

Harusnya ini menjadi kabar gembira bagi Darmo dan Darmi, namun faktanya adalah muncul masalah baru ketika mereka harus memikirkan biaya pelunasan biaya Rumah Sakit.

 

Darmo pun menjamin kepada Darmi, "Kamu urus Fitri dan pulanglah. Semua biar aku yang urus di sini."

 

Darmi memegang tangan Darmo yang berkeringat. "Kamu yakin semuanya aman, Mas?"

 

"Apalagi yang kita punya selain itu?" tanya Darmo sambil mengulas senyum di wajah demi menenangkan istri dan anaknya tercinta.

 

Dan siapa sangka, itu adalah senyum terakhir Darmo karena setelah itu tragedi memilukan yang tak akan terlupakan sepanjang hidup Darmi dan Fitri terjadi.


Darmo tewas dikeroyok massa!

 

Hal yang sangat pahit dan paling tak bisa diterima Darmi sampai kapan pun adalah ketika suaminya itu dianggap hanyalah seonggok daging tak berguna. Darmo dikatakan telah merampok rumah warga kaya di kampungnya!

 

Tak pernah ada bukti, selain jasad Darmo yang terbujur kaku dan barulah sepuluh tahun kemudian terungkap, bahwa Darmo hanya menjadi korban fitnah belaka.

 

"Ibu, kenapa orang-orang bilang ayah sejahat itu? Dan kenapa kelakuan mereka malah lebih jahat dari kejahatan ayah?"

 

Pertanyaan Fitri di usia remajanya kini mengemuka, sesuatu yang mungkin terpendam dan mengkristal tanpa pernah berani diucapkannya. Kini semua terucap di depan pusara, di saat mereka berziarah ke makam Darmo ketika Hari Raya Idul Fitri tiba.


"Ini semua takdir, Fit. Tak ada yang bisa menolak semua ini. Tapi, satu hal yang harus kamu camkan, kebenaran itu akan menemukan jalannya sendiri meski dihalangi oleh berjuta pembenaran dari manusia-manusia yang merasa dirinya paling benar."

 

Fitri pun tertunduk lesu dan menahan keharuan saat teringat sebuah ayat yang pernah diajarkan Ustadz di pesantrennya: Al haqqu mirrabika fa laa takuunanna minal mumtariin…

 

"Kebenaran itu datang dari Rabb-mu, maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu." (QS. Al-Baqarah: 147).

 

Fitri di usia semuda itu harus memahami kebenaran Tuhan dan tidak boleh meragukannya, meski banyak hal yang ia tidak bisa terima, terutama perlakuan main hakim sendiri dari orang-orang yang mengaku dirinya paling benar dan mengatakan bahwa ayahnya adalah penjahat, meski tanpa bukti dan vonis pengadilan.


Dimas Jayadinekat, penulis skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi, sutradara film pendek. Juga aktif menulis sebagai kreator konten di media online. Karyanya yang sudah terbit berupa buku motivasi Rahasia Nekat, serta novel online Mencintai Pelakor.