Cerpen

Satu Sore di Stasiun Jurang Mangu

Ahad, 3 Maret 2024 | 12:00 WIB

Satu Sore di Stasiun Jurang Mangu

Ilustrasi (Freepik)

Cerpen: Annisa Ratna Pratiwi
Bunyi klakson keras dari kereta api yang datang dari arah Rangkasbitung menuju Tanah Abang menggema di udara. Kereta itu sedang menuju stasiun Jurang Mangu untuk berhenti sejenak, memberikan kesempatan kepada penumpang untuk naik turun.

 

Stasiun Jurang Mangu memiliki daya tarik unik dengan kafe yang berada dekat dengannya. Dari sana, para pengunjung dapat menikmati pemandangan kereta yang melintas, menciptakan suasana yang istimewa di sekitar stasiun.


Baby dan sahabatnya, Sarah, duduk di sudut kafe yang strategis. Mereka memesan dua gelas minuman dan memilih beberapa camilan yang menggoda dari menu. Sambil menunggu pesanan datang, mereka memandang jendela yang menghadap jalur kereta.


"Luar biasa, ya, Sa. Sudah berapa lama kita tidak bertemu di tempat seunik ini?”

 

Sarah tersenyum, "Iya, Bj (baca-be-je). Ada daya tarik tersendiri, apalagi dengan latar belakang kereta yang lewat. Owner kafe ini tahu betul cara menciptakan tempat yang menarik untuk dilirik."

 

"Bener banget. Dan kamu tahu, ada sesuatu yang membuat suasana di sini lebih istimewa?"

 

Sarah penasaran, "Apa itu, Bj?"

 

Baby sambil melihat sekeliling kafe, "Ini tempat di mana 'Baby Jasmine' bisa menikmati kopi tanpa terlalu banyak sorotan.”

 

Sarah tertawa, "Hahaha, iya juga ya. Di sini, kita bisa menikmati kesederhanaan tanpa banyak pertanyaan."

 

Katanya, dengan kesederhanaan hidup, kita akan dapat menemukan jati diri. Ada yang suka minum teh, ada yang suka kopi, walaupun berbeda tetapi tetap satu meja. Meskipun memiliki preferensi yang berbeda, kebersamaan di atas meja yang sama menunjukkan keragaman sebagai kekayaan hidup.


Dari cangkir-cangkir itu, kita berbagi cerita, tawa, dan kehangatan, mengikat ikatan yang menguatkan makna hidup ini. Ya, bagaimana memberikan arti pada hidup yang singkat ini. 


Dalam kesederhanaan, kita menemukan jati diri yang sesungguhnya, yang tidak sekadar terfokus pada minuman pilihan yang terhidang di hadapan mata, tetapi ini juga tentang ikatan batin yang kita jalin dengan sesama.


Sambil scroll layar ponselnya, Baby Jasmine mengomentari layanan pesanan menu secara online di kafe itu, "Ini kan dari situs web, pasti pakai coding-an, nih."


Sarah tertawa, “Bj, benar banget. Kamu jeli ya, memang ini pakai coding. Enggak kebayang deh, gimana rumitnya kumpulan kode, apalagi css style untuk tampilan pemesanan makanan dan minumannya."


Baby mengangguk mengagumi, "Wah, pasti bikinnya pakai otak belakang lagi, deh. Gak kayak kamu yang nyasar di dunia coding."


"Eits, jangan ngomong gitu, Bj. Aku ikutan pelatihan Web Developer juga antara nggak sengaja, tapi harus diniatkan loh, waktu itu.”


Gadis berkulit kuning langsat itu mengangkat bahu. "Yah, siapa tahu suatu hari nanti aku juga tertarik. Tapi sekarang, lebih senang menikmati kopi dan kereta yang lewat."


Saat mereka menyelesaikan pemesanan menu secara online, aroma kopi yang harum dan kehangatan persahabatan mereka menciptakan momen yang tak terlupakan. Suara klakson kereta yang beriringan dengan canda tawa mereka menambahkan ritme yang menyenangkan. Ya, terkadang kebahagiaan datang dari hal-hal yang sesederhana itu. 


Semakin sederhana seseorang, semakin sederhana pula ekspektasinya pada kebahagiaan. 

 

Sederhana bukan berarti minim, melainkan sebuah bentuk penerimaan yang membebaskan jiwa dari belenggu ambisi tak terbatas.


Dengan ekspektasi yang lebih sederhana, mereka mampu menemukan kebahagiaan dalam keadaan apapun, terhubung dengan inti kehidupan yang sejati.

 

Dalam kesederhanaan, terdapat kebebasan untuk menikmati kehidupan tanpa beban, merangkul setiap momen dengan kedamaian batin yang tak ternilai.

 

Mereka berbincang santai, bernostalgia dengan masa sekolah. Sarah ingin mengabadikan momen dengan mengambil gambar dan video dengan ponselnya, tetapi entah mengapa kameranya eror. Jadi Sarah meminjam ponsel sahabatnya.


Karena belum shalat Ashar, Baby pergi ke mushala. Sarah tetap di meja tersebut sambil asyik mengambil foto, ia juga searching perihal cara pengambilan gambar dan video. 

 

Setelah shalat Ashar, Baby berzikir sejenak sembari memandangi bangunan musala dan ornamennya. Suara angin yang berbisik lembut dan langit yang dihiasi semburat cahaya jingga makin membuatnya terhanyut dalam refleksi mendalam tentang arti keberadaannya di dunia ini. 

 

Di tengah ketenangan suasana senja, Baby merenung tentang betapa berharga dan rapuhnya kehidupan manusia, sebagaimana simbol-simbol kebesaran Allah yang terpampang di mushala. Setiap embusan angin dan setiap perubahan warna langit senja mengingatkannya akan sementaranya waktu yang dimiliki manusia di bumi ini.


Dalam keheningan yang mendalam, Baby terus bersujud dalam zikir dan doa, memohon petunjuk dan keberkahan dalam menjalani sisa hidupnya. Di tengah gemuruh kesibukan dunia, momen ini menjadi pelipur lara dan pengingat akan kebesaran Sang Khalik serta kelembutan cinta-Nya yang selalu hadir dalam setiap langkah hidupnya.


Sembari menunggu, Sarah browsing di ponsel Baby. Ia mencoba mencari cara memperbaiki kamera dan menemukan tips tentang pengambilan gambar dan video. Terfokus pada ponsel, ia tak menyadari waktu berlalu.


Baby kembali dari mushala, menemukan Sarah masih asyik dengan ponselnya. “Kamu lagi ngapain, Sa?”

 

Sarah tertawa, “Mencoba memperbaiki kamera, tapi sepertinya masih belum bisa. Maaf ya, aku pakai ponselmu sebentar.”


Gadis Bali itu tersenyum, “Gak masalah, Sa. Lagipula, lebih seru searching sambil mengabadikan momen dengan tangkapan gambar dan video dari ponselku daripada berdiam diri, kan?”


“Benar juga.” Sarah mengembalikan ponsel Baby sambil tersenyum, “Oh ya, aku hanya membuka kamera, galeri, dan browser saja, kok.”

 

Baby mengangguk menghargai, "Iya, terima kasih, Sa. Aku bisa percaya kamu. Menghargai privasi, kan?”

 

Keduanya melanjutkan perbincangan santai sambil menikmati atmosfer yang begitu hangat di sana, tempat di mana tidak hanya kenangan yang diabadikan, tetapi juga nilai-nilai seperti kepercayaan dan rasa hormat terpelihara.


"Sa, aku punya rencana untuk memulai berjualan baju sendiri, dan aku butuh bantuanmu, lho,” ucapnya sambil tersenyum lebar.

 

Ia minta tolong Sarah untuk membuatkan laporan penjualan. Ia meminta Sarah karena Sarah lebih berpengalaman perihal pengoperasian excel dan pembuatan laporan.

 

Maka, Sarah pun memulai rencana pembuatan laporan penjualan untuk bisnis baju. Di tengah obrolan yang penuh tawa, Sarah membagikan ide dan saran tentang cara menyusun laporan yang baik. Baby bersemangat mendengarkan, mengakui bahwa Sarah cukup membantu dalam hal ini.

 

Ketika Sarah menyebutkan mengenai perbedaan antara profit dan omzet, Baby terkejut. “Aduh, iya ya? Aku belum begitu paham bedanya.”


Sarah tersenyum, “Santai, Bj. Nanti kita pelajari sama-sama.”

 

Saat mencoba membuat laporan menggunakan ponsel Baby, mereka mengalami kendala  teknis. Sarah mencoba memberi solusi  dengan  menyarankan penggunaan spreadsheet, tetapi ponsel tersebut tampaknya memiliki masalah dengan aplikasi tertentu.

 

"Susah juga ya pake ponsel ini,” ujar Baby.

 

Sarah kemudian mengusulkan agar Baby membeli tablet untuk mempermudah kinerjanya. Namun, keusilan Baby muncul. "Ya sudah, aku mau beli tablet baru, tapi pinjam uangmu, ya?”


Sarah menyambut usulan tersebut dengan syarat agar Baby membuat surat perjanjian peminjaman uang yang mencakup detail pembayaran dan menggunakan materai. Tawa mereka berdua pecah, dan suasana sekitar semakin memperindah momen itu.


"Wah, profesional betul kamu, Sa," kata Baby.


Namun, di balik keceriaan itu, Sarah mulai merenung tentang pertanyaannya sendiri mengenai profesionalitas dan pertahanan diri.


Sarah pun menghadapi pertanyaan yang mendalam di tengah suasana yang kian indah dan estetik. Sepoi-sepoi angin sore bertiup menerbangkan dedaunan yang menari di udara. Lampu-lampu yang mulai menyala, menemani semburat jingga yang mewarnai alam semesta.

 

Ah ya, Sarah menghirup napas panjang. Ia semakin hanyut terbawa suasana dan pikirannya.

 

Di dunia yang jadi ladang kebaikan ini, terkadang memang perlu berpikir logis dan bertindak realistis juga fleksibel. Apakah itu bentuk dari sebuah profesionalitas atau pertahanan diri?


Berpikir logis, bertindak realistis, dan tetap fleksibel adalah tanda kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan yang dinamis. Ini bukan sekadar cangkang profesionalitas, tetapi juga merupakan bentuk pertahanan diri yang cerdas. Kemampuan untuk menyelaraskan kebijaksanaan logis dengan ketangkasan fleksibilitas adalah keterampilan beradaptasi yang sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Sehingga, lebih tepat dilihat sebagai respons yang bijaksana terhadap kompleksitas dunia.

 

Annisa Ratna Pratiwi menyukai cerita pendek sejak remaja. Penulis tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta.