Cerpen

Dongeng Enteng dari Pesantren (19): Man Syabba Ala Syaiin

Sab, 27 Juni 2020 | 01:15 WIB

Dongeng Enteng dari Pesantren (19): Man Syabba Ala Syaiin

Man syabba 'ala syaiin, syaabba 'alaih... begitu ungkapan yang pernah kudengar di pesantren. Arti ungkapan itu adalah barangsiapa yang membiasakan diri pada sesuatu, maka tentu akan terbiasa

Oleh Rahmatullah Ading Afandie

 

​​​​​​​Man syabba 'ala syaiin, syaabba 'alaih... begitu ungkapan yang pernah kudengar di pesantren. Arti ungkapan itu adalah barangsiapa yang membiasakan diri pada sesuatu, maka tentu akan terbiasa. Kebenaran pepatah itu terasa sampai sekarang. Sangat sesuai dengan ajaran siapa juga. Pelajaran itu mulanya kudapatkan bukan dari profesor, tapi dari ajengan kampung. Aku ceritakan di sini karena kalau bukan dari profesor pelajaran itu sering dianggap tidak benar. Memang, kita sering silau terkait sumbernya ilmu pengajaran. Kalau bukan dari buku tebal karangan orang asing, kita sering tidak dipercaya. Dalam hal ini, aku percaya ucapan ajengan, bahwa ilmu meskipun datangnya dari seekor domba, harus diambil. Dalam sebuah pepatah, "Undzur ma qala, wala tandzur man kana". Dengarkan perkataannya, jangan dilihat dari siapa yang berkata.


Ada yang berkaitan dengan kebiasaan para santri selepas kencing sering mendeham. Ajengan menyebut sunat untuk melakukan hal itu. Bisa jadi memang sunat karena hampir setiap ajengan mengatakan demikian. Mari kita buktikan dari seratus santri atawa ajengan, saat ke jamban, 99 orang pasti mendehem. Kalau tidak percaya, silakan buktikan sendiri. Kalau ada ajengan ke jamban, silakan ikuti, kemudian berdiri di depan pintunya, pasti sebelum pintu jamban dibuka, kita bakal mendengar orang mendehem. Begitu kalau tak percaya. Tapi lebih baik percaya saja sebab aku juga mengarang. Lebih baik percaya saja supaya kamu tidak mengikuti ajengan ke jamban.


Kalau sudah biasa tidak akan terasa. Tapi untuk membiasakannya, bukan perkara gampang. Seperti medehem di jamban umpamanya. Aku masih ingat ajengan menjelaskan dehem mulanya saat menjelaskan "tartib". Menurut dia, tartib adalah mendahulukan yang harus dilakukan lebih dahulu, dan mengakhirkan hal yang memang harus terakhir. Aku lupa hubungan antara mendehem dengan tartib, tapi kemudian ajengan mengambil contoh soal di jamban. Kata  Ajengan, “Harus tartib, jangan sampai lupa mendehem. Aku baru mendengar tentang hal itu. Lalu aku menanyakannya, "Kenapa harus mendehem, Ajengan?"


Kata Ajengan, melakukannya sunat karena Nabi juga melakukannya. (di kemudian hari aku baru menemukan kenapa harus mendehem, yakni supaya celana bisa dipakai saat shalat). Di situlah lanjutan apa yang dikatakan ajengan dengan beberapa bacaan yang harus diucapakan di toilet. Menurut dia, hanya itu yang boleh dibaca sebab di toilet. Tiada yang lain selain itu.


Aku bertanya lagi, “Lantaran apa, ajengan?”


"Sebab toilet tempat setan bersembunyi,” jawabnya. 


Mungkin karena waktu itu aku masih kanak-kanak sehingga aku melanjutkan pertanyaan, "Kenapa di tempat persembunyian setan kita tidak boleh membaca sesuatu?" 


Waktu itu aku juga tidak tahu kenapa bertanya seperti itu. Tak heran kemudian santri-santri senior seperti Kang Haer, Mang Udin dan yang lainnya menertawakan pertanyaanku. Malah Mang Udin mah bertanya dengan nada menghina.


"Rupanya kamu belum tahu?" katanya.


Setelah peristiwa itu, aku dan santri seangkatan kemudian membiasakan diri bagaimana keharusannya di toilet. Setelah sebulan lebih, kemudian menjadi kebiasaan. Dalam prosesnya aku sering lupa. Tapi ya setelah sebulan menjadi terbiasa. Teman seangkatanku, Si Umar, hampit setiap selepas dari toilet sering balik lagi. Bukan karena tidak ada yang ketinggalan, tapi karena ia lupa mendehem.


Suatu ketika, ajengan sepertinya dalam keadaan pusing, meminta Si Umar untuk mengambil sebuah kitab dari rumahnya. Kemudian Si Umar keluar dari pengajian, lalu ke toilet. Kemudian ia berlari ke rumah ajengan. Tak lama kemudian, dia datang, tapi tidak langsung ke pengajian, melainkan ke toilet. Dari toilet, ia berlari lagi ke rumah ajengan. Apa yang dilakukan Si Umar, terlihat oleh ajengan. 


Tak berapa lama, Si Umar datang sembari membawa kitab. Kemudian duduk di hadapan ajengan semberi menyerahkan kitab yang dipintanya. Tanpa dinyana, ajengan memarahinya. 


Si Umar terus terang.


“Mohon maaf, saya bersalah, sebelum mengambil kitab, saya ke toilet. Pas di rumah, saya baru ingat saat di toilet tidak mendehem. Karenanya saya kembali lagi ke toilet lagi hanya untuk mendehem. Lalu saya baru mengambil kitab..." 


Mendengar penjelasan Si Umar, ajengan tersenyum. Ingin tertawa, tapi ditahan. Ajengan pura-pura menutup jendela mihrab agak lama. Sementara Si Umar santai saja karena ia memang tidak berniat guyon.


Seminggu setelah kejadian itu, sempat ada yang berselisih paham di masjid. Mang Udin sedang mengajar si Si Tohir. Aku masih ingat waktu itu saat menerjemahkan beberapa surat Al-Baqarah. Waktu itu aku mulai belajar menerjemahkan Al-Qur’an. Aku sangat bodoh. Waktu itu, Mang Udin sempat ke toilet. Hanya sebentar. Kemudian duduk lagi dan langsung menyentuh Al-Qur’an. Baru sebentar menyentuh, Si Usup datang. Tanpa basa-basi, ia berkata.


"Kenapa Mang Udin, habis batal wudhu langsung menyentuh Al-Qur’an?" 


Semuanya terkaget mendengar perkataan Si Usup. Mang Udin juga kaget. 


"Kata siapa saya batal wudlu. Saya ke toilet hanya meludah!" jawabnya. Sorot matanya agak melotot. 


Si Usup dan Mang Udin saling membantah. Si Usup tetap pada pendiriannya, menuduh Mang Udin tidak wudlu lagi, sementara Mang Udin kukuh pada pendiriannya, merasa tidak batal wudlu.


Jika saat itu tidak ada ajengan, bisa jadi keduanya baku hantam. Keduanya dipisah ajengan. Si Usup kemudian ditanya, kenapa begitu yakin Mang Udin batal wudlu. 


"Saya yakin Mang Udin batal sebab ketika Mang Udin di toilet, saya lewat. Saya mendengar Mang Udin mendehem. Tak mungkin mendehem hanya meludah. Kemudian saya melihat Mang Udin keluar toilet, tapi tak terlihat ada bekas habis berwudlu sebab mukanya kering."


Sementara Mang Udin tetap pada pendiriannya. Karena kduanya pada pendirian masing-masing, akhirnya ajengan bertanya kepda santri lain, barangkali ada yang tahu. Saat itulah Si Atok mengacungkan tangan. 


“Saya tahu persis bahwa Mang Udin tidak batal wudlu. Ia mendehem karena..." 


Hanya sampai di situ penjelasan Si Atok. 


"Mendehem sebab apa?" tanya Ajengan. 


Si Atok sepertinya tak berani menjelaskan. Hanya terdiam. Kemudian izin pamit ke toilet. 


"Wah, tidak jelas Si Atok mah," komentar ajengan sembari memulai mengajar ngaji.


Di kobong, Si Atok bercerita kepadaku. Ia terus terang


"... Mang Udin mendehem kepada Nyi Halimah..."

 

Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia oleh Abdullah Alawi dari kumpulan cerpen otobiografi Dongeng Enteng ti Pesantren. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang.  

Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF. Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam mengkritik. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.