Balitbang Kemenag

Ratusan Mushaf Al-Qur’an Kuno di ASEAN, Pemerintah Perlu Jaga dan Kenalkan ke Publik

Sab, 15 Juni 2019 | 05:30 WIB

Ratusan Mushaf Al-Qur’an Kuno di ASEAN, Pemerintah Perlu Jaga dan Kenalkan ke Publik

Mushaf Al-Qur'an kuno Nusantara (kemenag.go.id)

Penyalinan Al-Qur'an di Nusantara diperkirakan telah dimulai sejak awal kedatangan Islam. Sekurang-kurangnya, telah ada sejak sekitar akhir abad ke-13, ketika Pasai, di ujung timur laut Sumatera, menjadi kerajaan pertama yang memeluk Islam secara resmi. Pada tahun 1345 M, Ibnu Batutah (1304-1369) pernah singgah di Samudra Pasai dan melaporkan bahwa Sultan sering menghadiri pembacaan Al-Qur'an dan diskusi keagamaan dengan rakyatnya. Berita singkat tersebut mengisyaratkan bahwa di Pasai, saat itu, telah terjadi proses penyalinan Al-Qur’an. Meskipun demikian, mushaf Nusantara tertua yang diketahui sampai saat ini diperoleh di Johor tahun 1606 yang saat ini dalam koleksi Belanda.

Penyalinan Al-Qur’an secara tradisional berlangsung sampai akhir abad ke-19 yang berlangsung di seluruh Nusantara, khususnya wilayah penting masyarakat Islam masa lalu, seperti Aceh, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Surakarta, Madura, Lombok, Makassar, Ternate, juga Kedah, Terengganu, Kelantan, Patani, Bangkok, dan Filipina Selatan. Warisan penting masa lampau tersebut kini tersimpan di berbagai perpustakaan, museum, pesantren, ahli waris, dan kolektor, dalam jumlah yang cukup banyak.

Melihat fakta-fakta demikian, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada 2017 melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Sebelumnya, penelitian itu berhasil menemukan 106 buah mushaf pada tahun 2011. Di tahun berikutnya, berhasil terhimpun 84 mushaf. Tahun 2013 terkumpul data 96 mushaf, sedangkan tahun 2014 terkumpul data 110 mushaf. Selama beberapa tahun penelitian, telah terkumpul dokumentasi 396 mushaf kuno.

Dari penelitian yang dilakukan selama beberapa tahun itu menunjukkan beberapa kesimpulan. Pertama, rasm yang digunakan dalam naskah Al-Qur'an kuno pada umumnya menggunakan rasm imla'i. Kedua, sistem tanda baca dan tanda tajwid yang digunakan tidak seragam. Hal tersebut menunjukkan adanya dinamika sistem penulisan Al-Qur'an. Sementara itu, beberapa aspek penandaan ternyata mempunyai kesamaan dengan sistem yang dipakai dalam Mushaf Standar Indonesia.

Ketiga, jenis qiraat yang digunakan pada umumnya mengacu pada riwayat Hafs dari Imam 'Asim. Meskipun demikian, pada beberapa naskah juga ditemukan menggunakan riwayat Qalun dari Imam Nafi'. Keempat, dalam sejumlah mushaf ditemukan catatan qiraat di pinggir halaman. Hal itu menandakan bahwa ilmu qira'at pada zaman dahulu sudah cukup dikenal dan dikuasai oleh para ulama Al-Qur'an. Kelima, kaligrafi dan iluminasi dalam mushaf Nusantara cukup indah dan beragam. Demikian menunjukkan adanya kreativitas lokal.

Perbandingan Mushaf Antarwilayah

Banyaknya penemuan naskah kuno mushaf Al-Qur’an di berbagai daerah menuntut Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Badan Litbang dan Diklat Kemenag, untuk lebih jauh lagi mendalami permushafan Nusantara. Perbandingan suatu mushaf dengan mushaf dari wilayah lain akan memunculkan kekhasan masing-masing tampak lebih jelas.

Untuk memperoleh gambaran lebih utuh tentang mushaf Nusantara, penelitian ini dilanjutkan di beberapa lembaga di negara-negara ASEAN yang menyimpan koleksi mushaf sekaligus melakukan inventarisasi, seperto di Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand. Invetarisasi dan penelitian tersebut untuk melengkapi data mushaf kuno Nusantara yang telah terhimpun sebelumnya.

Hal tersebut bertujuan menghimpun data dan metadata koleksi mushaf Al-Qur’an kuno Nusantara, mengetahui gambaran asal-usul suatu naskah dan peta migrasi mushaf Nusantara,  dan menyiapkan ketersediaan data berkaitan dengan keragaman dan kekhasan mushaf Al-Qur’an kuno Nusantara.

Penelitian itu dilakukan di Malaysia, yakni di Pusat Nasional Manuskrip Melayu, Perpustakaan Negara Malaysia, dan IAMM; di Singapura, yakni di Perpustakaan Nasional Singapura, Masjid Baalwi, Taman Warisan Melayu, dan Asian Civilisation Museum; di Brunei Darussalam, yaitu di Balai Pameran Islam Sultan Haji Hassanal Bolkiah, dan Arkib Negara; di Thailand, tepatnya di Muzium Al-Qur’an dan Manuskrip Lama, Narathiwat, koleksi Masjid Bankuanlangnga, Pattani, dan koleksi masyarakat.

Penelitian Mushaf Kuno Nusantara ASEAN ini merupakan bagian dari rangkaian penelitian mushaf Al-Qur’an Nusantara yang sebelumnya telah dilakukan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an selama tahun 2011-2015. Penelitian ini dianggap penting untuk mengetahui sejauh mana peredaran atau persebaran manuskrip Al-Qur’an, khususnya yang berasal dari Indonesia. Di pihak lain, penelitian ini juga dalam rangka mendapatkan masukan terkait kebijakan pemerintah Indonesia, dalam hal ini khususnya Kementerian Agama, menyangkut pelestarian dan penyelamatan tradisi penyalinan mushaf Al-Qur’an Nusantara. 

Berdasarkan inventarisasi yang telah dilakukan peneliti LPMQ atas manuskrip Al-Qur’an Nusantara, ditemukan 161 mushaf Al-Qur’an kuno di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan yang berasal dan dibeli dari Indonesia. Hal tersebut terutama tampak dalam koleksi beberapa lembaga publik seperti museum dan perpustakaan. Sebanyak 60 mushaf di Perpustakaan Negara Malaysia, sebagian dari Indonesia, ada penambahan sekitar 20 mushaf dalam dua tahun terakhir; 20 mushaf di Museum Al-Qur’an Melaka, sebagian besar dari Indonesia; delapan mushaf di Perpustakaan Nasional Singapura, sebagian dari Indonesia.

Kemudian, dua mushaf di Taman Warisan Melayu dari Indonesia; sembilan mushaf di Masjid Baalwi Singapura, sebagian besar dari Indonesia; 43 mushaf di Museum Al-Qur’an Narathiwat, Thailand Selatan, sebagian besar dari Indonesia; tiga mushaf di Masjid Bankuanlangnga, Pattani; serta 16 mushaf di Arkib Negara Brunei, sebagian dari Indonesia.

Berdasarkan amatan dan pernyataan para pengelola lembaga-lembaga di atas, dipastikan bahwa sebagian besar manuskrip Al-Qur’an koleksi beberapa lembaga publik tersebut berasal dari Indonesia. Lembaga-lembaga di atas hanyalah sebagian saja dari institusi yang diamati secara langsung oleh peneliti LPMQ. Masih banyak lembaga publik lainnya yang belum diinventarisasi. Selain lembaga publik di atas, sebagian koleksi masyarakat juga dicatat dalam penelitian ini, yaitu dua mushaf di sekitar Masjid Telok Manok, Narathiwat, Thailand Selatan.

Dari hasil penelitian itu, pemerintah perlu mengupayakan langkah-langkah konkret untuk menjaga, merawat, dan melestarikan mushaf kuno yang merupakan warisan para ulama dan penyalin Al-Qur’an masa lalu. Negara, dalam hal ini, perlu hadir agar identitas kenusantaraan yang tecermin dalam mushaf kuno tidak hilang, dan dikaji secara luas. 

Lembaga publik pemerintah—seperti Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal di bawah Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an—perlu cepat mengakuisisi mushaf kuno, di samping naskah-naskah keislaman lainnya, agar tidak menjadi koleksi luar negeri. 

Kajian terhadap mushaf kuno Nusantara, baik dari aspek sejarah mushaf (kodikologi) maupun ulumul-Qur’an perlu diperkenalkan kepada masyarakat luas, lebih khusus di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. (Syakir NF/Kendi Setiawan)