Balitbang Kemenag

Penelitian Ungkap Sikap Intoleran Masyarakat terhadap Agama Lain Masih Tinggi

Kam, 11 November 2021 | 22:00 WIB

Era digital membuat informasi serba cepat tanpa batas ruang waktu, selain memberi kemudahan juga menimbulkan banyaknya konten-konten penyebaran informasi hoaks berpotensi memecah belah umat beragama. Terlebih kaum millenial yang memilih jalan instan dalam memperoleh informasi.

 

Penelitian berjudul Masih Relevankah Toleransi dan Kerukunan Berbasis Kearifan Lokal? yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI tahun 2020 memaparkan banyak temuan yang perlu menjadi perhatian. 

 

Dari hasil survei yang menggunakan implicit association test dan ukur kuesioner digital terhadap 337 mahasiswa 1.522 siswa, dan 264 guru di 34 provinsi ditemukan bahwa pengaruh intoleransi dan radikalisme sudah masuk ke berbagai sekolah dan universitas di Indonesia. Survei tersebut bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

"Terdapat 51,1 persen responden siswa dan mahasiswa beragama Islam memiliki opini intoleran terhadap aliran Islam minoritas. Dipersepsikan berbeda dari mayoritas, seperti Ahmadiyah dan Syiah. Sementara itu, 34,3 persen responden yang sama tercatat memiliki opini intoleransi kepada kelompok agama lain selain Islam," tulis peneliti dalam laporannya.

 

Survei tersebut juga menunjukkan sebanyak 48,95 persen responden siswa atau  mahasiswa merasa pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. 

 

Lebih memprihatinkan lagi, 58,5 persen responden mahasiswa/siswa memiliki pandangan keagamaan pada opini yang radikal. Selain itu, survei ini menyimpulkan guru dan dosen juga memiliki potensi menjadi intoleran. 

 

"Menurut survei, setidaknya 64,66 persen guru dan dosen menjadikan Ahmadiyah di urutan pertama sebagai aliran Islam yang tidak disukai. Dia menjelaskan demikian karena temuan lain dari survei ini adalah sebanyak 54,87 persen generasi Z mencari pengetahuan agama melalui internet, seperti blog, website dan media sosial," tulis peneliti dalam laporannya.

 

Dari kejadian tersebut membuat siswa mendapatkan sumber pendidikan agama tidak hanya bersumber dari pendidikan formal, akan tetapi juga linimasa ulama ulama yang memiliki akun media sosail.

 

Melalui temuan survei di atas, membuat peneliti memberikan gambaran bagi Kementerian Agama melalui program Perancangan Kurikulum Mata Pelajaran Bidang Studi Agama. Semua agama perlu memasukkan nilai-nilai kearifan khas Indonesia. Baik dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Perguruan Tinggi (PT).

 

Peneleiti mengutip penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Winarto Eka Wahyudi perihal upaya penguatan nilai-nilai agama Islam di kalangan milenial. Disebutkan era disrupsi telah menyasar generasi milenial yang cenderung mengkonsumsi hal-hal yang bersifat instan, nir-proses.

 

Selanjutnya, kebutuhan pola pikir eksponensial sehingga melahirkan apa yang disebut sebagai kecerdasan buatan atau era internet of things (artificial intellegence). Perubahan yang drastis menyebabkan disrupsi budaya, disrupsi pola pikir, dan disrupsi pasar.

 

"Era disrupsi juga telah menghadirkan tantangan baru bagi Islam moderat di Indonesia. Kehadiran pengajaran agama Islam yang radikal, intoleran dan ekstrim melalui media digital yang menyasar kaum millenial merupakan sebuah fakta yang tidak terhindarkan," tegas peneliti dalam tulisan tersebut.

 

Disebutkan juga kelompok moderat tidak bisa hanya berpangku tangan dalam merawat keberagaman di dunia nyata. Tetapi juga turut andil menggunakan media digital sebagai bentuk jihad dakwah menyebarkan Islam Moderat berbasis nilai keadilan, kemanusian, kesetaraan hingga islam ramah bukan Islam marah.

 

"Hadirnya kelompok intoleran dan ekstrim yang tercabut dari akar keagamaan yang berwajah Indonesia telah menimbulkan keresahan bagi komunitas lintas agama di Indonesia. Era disrupsi, media sosial menjado tempat pengajaran konten-konten agama yang ekstrim dan intoleran," tulis peneliti dalam laporan ini.

 

Peneliti juga menekankan pada pentingnya penguatan nilai kebangsaan dan nilai-nilai keagamaan untuk menghindari berbagai bentuk penyimpangan dalam penggunaan media informasi dan komunikasi. Berdasarkan tulisan Rafles Abdi Kusuma terkait Dampak Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi terhadap Perilaku Intoleransi dan Antisosial di Indonesia, lanjut peneliti, menunjukkan media komunikasi digital telah mempengaruhi hadirnya kelompok yang antisosial dan intoleran melalui sejumlah kepekaan terhadap lingkungan sosial.

 

Penulis: Madchan Jazuli
Editor: Kendi Setiawan