Balitbang Kemenag

Manuskrip Kuno tentang Bencana Alam di Sumbar, Jabar, Banten, dan NTB

Kam, 21 Maret 2019 | 14:45 WIB

Manuskrip Kuno tentang Bencana Alam di Sumbar, Jabar, Banten, dan NTB

Ilustrasi: bangunan roboh akibat gempad di NTB.

Jakarta, NU Online
Sejak tahun 2017 peneliti Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan penelitian kearifan lokal terkait bencana alam berbasis teks naskah. Penelitian dilakukan di dua lokasi, yakni Aceh dan Jawa Tengah. Sejumlah kearifan lokal terungkap di dua wilayah ini yang membedakan antara satu dengan lainnya. Pada umumnya ramalan atau lebih tepat disebut takwil gempa ditemukan dalam naskah Aceh.

Penelitian serupa dilakukan tahun 2018, difokuskan di empat lokasi, yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Banten, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Keempat lokasi ini dipilih berdasarkan hasil kajian terdahulu bahwa keempat lokasi rentan terhadap bencana alam dan menyimpan sejumlah naskah kuno. Temuan lapangan mengungkapkan adanya keunikan di daerah masing-masing.

Hasil penelitian wilayah Sumatera Barat tentang naskah Syair Nagari Taloe Tarendam. Naskah berbahasa Latin, menggambarkan tentang peran penting ulama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Ulama sebagai tempat mengadu, konsultasi tentang segala persoalan kehidupan, termasuk soal bencana alam. Ketika bencana alam terjadi, masyarakat diajarkan keutamaan kesabaran; dan juga dididik untuk melakukan suatu kebaikan, disiplin, sikap-sikap sosial kemanusiaan yang diisi dengan nilai-nilai agama.

Ditekankan bahwa gempa adalah takdir, tapi manusia tidak selalu harus menyerah. Ada penanganannya yaitu shalat lima waktu dan bersedekah. Sebaliknya bila masyarakat meninggalkan agama, maka gempa itu akan terjadi kembali. 

Naskah terkait bencana alam dari Nusa Tenggara Barat (NTB) menjelaskan bahwa masyarakat Lombok banyak dipengaruhi oleh budaya dari luar. Hal ini memengaruhi cara pandang mereka terhadap letusan gunung berapi yang berdampak pada terjadinya gempa bumi, lalu tanah longsor dan akhirnya terjadi banjir. Gunung Rinjani sebelum meletus sangat tinggi sehingga disebut sebagai pasak bumi. Pulaunya kecil, tapi gunungnya tinggi dan besar. Pada abad ke-13 sudah ada orang Prancis melakukan riset di sana, dan menemukan bahwa letusan terjadi setelah era Majapahit. 

Di NTB ada enam naskah yang diteliti, yaitu Naskah Pelinduran, Naskah Cilinaya, Takepan Doyan Nada, Takepan Suwung, Babad Lombok, dan Naskah Dewi Anjani. Keenam naskah tersebut mengandung ajaran-ajaran tentang cara mengatasi gempa, ramalan gempa, dan pelajaran akan pentingnya menepati sebuah janji serta kesediaan untuk menghargai kearifan lokal dengan melaksanakan hal-hal positif.

Dalam manuskrip bencana alam Banten diungkapkan bahwa salah satu letusan gunung berapi yang dahsyat adalah letusan gunung Krakatau yang terjadi 27 Agustus1883, tsunami dengan gelombang yang tinggi. Bencana alam dalam manuskrip berisikan tentang letusan Krakatau yang hebat. Isi naskah tentang catatan gempa. Ada naskah ramalan gerhana; apa yang terjadi bila ada gerhana di bulan-bulan tertentu, misalnya bila terjadi di bulan Muharam tanda banyak fitnah dan orang miskin.

Berikutnya ada juga Naskah Kedutan. Ulama sudah secara rigid menjelaskan arti makna kedutan misalnya kedutan di alis kiri artinya akan melihat kekasih. Ada juga ditemukan tradisi lisan pada masyarakat Banten terkait bencana alam, misalnya sebelum terjadi bencana alam ada tanda-tanda dari hewan, masyarakat merasa cemas, dan tradisi tolak bala atau upacara ruwatan juga dikenal di sana.

Sementara itu, untuk memahami fenomena alam di Jawa Barat, tampaknya orang-orang terdahulu lebih cenderung menggunakan pendekatan-pendekatan kultural dibanding pendekatan scientific. Hal ini tampak dari pernyataan dan jawaban mereka terhadap terjadinya bencana alam. Ada anggapan kalau musibah itu sudah merupakan sebuah takdir, tanah nenek moyang harus dipertahankan, meskipun itu merupakan daerah yang rawan bencana. Karena bencana itu takdir, maka tidak perlu dihindari, pendekatan kultural masih dominan, sehingga shelter (penampungan/tempat mengungsi) seringkali tidak berfungsi.  

Naskah Cara Karuhun Sunda memitigasi bencana merupakan ramalan gempa. Dalam naskah tersebut diajarkan sikap patuh pada amanat leluhur, harmoni alam, tidak mengeksploitasi lingkungan secara berlebihan sehingga bencana alam dapat dicegah, dan perlu melihat topografi hutan. 

Naskah kedua adalah Warugan Lemah. Naskah ini memberi pengetahuan bagaimana memilih lokasi tanah yang baik, cocok untuk ditempati. Misalnya untuk membangun candi, ada cara memilih tanah yang bagus, tanah digali satu meter dan diisi air. Jika cepat kering, berarti banyak pasir, kalau lama berarti ada banyak batu, tanah kuat, cocok untuk tempat bangunan candi.

Selain itu, ada juga naskah bunga rampai milik Cirebon yang mengandung narasi-narasi mitigasi bencana. Masyarakat di pesisir pantai selatan tidak banyak memilih jadi nelayan. Pesisir utara lebih banyak karena di sana lebih damai. Ada semacam insting masyarakat dulu yang menyatakan bahwa wilayah pesisir selatan lebih rawan bencana sehingga mereka lebih banyak memilih menjadi petani. 

Rekomendasi

Dari hasil temuan penelitian di atas, beberapa hal perlu dibidik untuk dijadikan rekomendasi dan tindak lanjut agar stakeholders dan masyarakat luas dapat mengenal lebih akrab dengan warisan leluhur mereka yang mengandung kearifan lokal yang patut dicontoh dan diterapkan ketika bencana alam menghampiri umat Indonesia ini.

Pertama, perlu diterbitkannya buku saku berseri sebagai pedoman bencana alam versi naskah kuno yang perlu disebarkan kepada stakeholders di Kementerian Agama khususnya, sehingga penyuluh-penyuluh dapat memanfaatkannya dengan baik.

Kedua, melakukan kerja sama dan kolaborasi dalam telaaah manuskrip dengan berbagai disiplin ilmu dan lembaga lainnya di luar Kementerian Agama, seperti dengan lembaga NGO yang consern dalam mitigasi bencana, Kemendiknas, lembaga pertanahan, dan lembaga kehutanan, agar dapat menghasilkan analisa tidak hanya bersifat sosial budaya, melainkan sisi lain yang dapat ditilik dan dimanfaatkan masyarakat luas.

Ketiga, hasil penelitian ini yang sudah dalam bentuk buku saku kemudian perlu disebarluaskan dalam bentuk sosialisasi secara online dan offline dan membuat e-book untuk dapat diakses oleh generasi milenial kapan dan di mana pun. 

Keempat, tahun berikutnya (2019) perlu tindak lanjut riset ini di wilayah-wilayah lain, agar dapat terdata semua naskah kuno yang membahas tentang bencana dan menganalisis secara kultural. (Kendi Setiawan)