Opini

Regulasi Rumah Doa, Merukunkan atau Melumpuhkan? 

Rabu, 2 Juli 2025 | 13:00 WIB

Regulasi Rumah Doa, Merukunkan atau Melumpuhkan? 

Ilustrasi kerukunan umat beragama (Foto: Freepik)

Pada 27 Juni 2025, sebuah insiden memilukan kembali mencoreng wajah kerukunan umat beragama di Indonesia. Sekelompok warga di Desa Tangkil, Cidahu, Kabupaten Sukabumi, merusak sebuah rumah tinggal yang digunakan tempat ibadah oleh komunitas Kristiani. Insiden ini bukan hanya mencederai rasa keadilan dan kemanusiaan, tetapi juga memantik kembali perdebatan tentang hak konstitusional atas kebebasan beragama dan beribadah versus kepekaan sosial budaya masyarakat sekitar.


Sebagai respons, dilansir laman resmi Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) akan menyusun regulasi khusus yang mengatur keberadaan dan tata kelola rumah doa. Upaya ini, menurut Kepala PKUB Muhammad Adib Abdushomad (Gus Adib), dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, mencegah gesekan sosial, dan memperkuat kerukunan.


Namun, sejauh mana pendekatan regulatif ini mampu menyelesaikan persoalan secara substansial? Atau justru memperkuat pendekatan administratif yang selama ini sering kali menjadi sumber ketidakadilan bagi kelompok minoritas?


Sejarah Ketegangan dan Regulasi Setengah Hati
Upaya negara mengatur pendirian tempat ibadah telah berlangsung sejak awal Orde Baru dan masih menyisakan ketegangan hingga hari ini. Regulasi pertama yang mengatur secara eksplisit hadir lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1969. Dalih utamanya: menjaga ketertiban umum. Namun di balik frasa “ketertiban” itu tersembunyi logika kontrol negara atas kehidupan beragama yang justru membatasi ekspresi keyakinan warga negara di ruang publik. Regulasi ini lahir di tengah kekhawatiran rezim terhadap potensi friksi antaragama, namun gagal membedakan mana gesekan yang bersifat natural dalam masyarakat plural dan mana yang dibentuk oleh intoleransi yang dibiarkan tanpa sanksi.


Seiring waktu, SKB 1969 bukan semakin direvisi untuk menjamin kebebasan beragama, melainkan diperkuat. Pada 2006, negara kembali menerbitkan Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 yang kini menjadi rujukan utama pendirian rumah ibadah. PBM ini secara mengatur prosedur pendirian tempat ibadah melalui persyaratan administratif dan persetujuan sosial seperti dukungan warga sekitar dan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Sekilas tampak partisipatif, namun praktiknya membuka ruang mayoritarianisme yang sering kali menjelma menjadi veto sosial.


Sejumlah laporan dari Wahid Foundation dan SETARA Institute secara konsisten menunjukkan bahwa sebagian besar pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia terkait erat dengan urusan pendirian rumah ibadah. Gereja-gereja di Jawa Barat, misalnya, kerap menjadi sasaran penolakan warga meskipun memenuhi syarat administratif. Dalam banyak kasus, FKUB lebih mencerminkan dominasi kelompok agama mayoritas ketimbang menjembatani keadilan bagi semua umat beragama.


Alih-alih menjadi alat mediasi, PBM 2006 kerap digunakan sebagai tameng legitimasi atas tindakan diskriminatif. Syarat “persetujuan 60 warga sekitar” menjadi jebakan prosedural yang memungkinkan intimidasi terselubung, dan rekomendasi FKUB sering kali tidak netral. Situasi ini mengubah kebebasan beragama dari hak konstitusional jadi privilese yang dapat ditawar-tawar, tergantung pada dinamika sosial lokal. Padahal, UUD 1945 Pasal 28E dan 29 dengan tegas menjamin hak warga beribadah sesuai agama dan kepercayaannya.


Kontradiksi ini memperlihatkan wajah negara yang gamang. Di satu sisi hendak tampil sebagai pelindung hak-hak sipil, namun di sisi lain tunduk pada tekanan kelompok mayoritas dan memilih jalan aman lewat kompromi populis. Inilah bentuk regulasi setengah hati, dibuat demi meredam konflik, tapi justru potensial jadi sumber konflik baru. Negara tidak cukup hadir melindungi warga minoritas saat hak-haknya diinjak, justru menyerahkan keadilan kepada mekanisme sosial yang bias.


Maka ketika Kementerian Agama melalui Pusat Kerukunan Umat Beragama akan menyusun regulasi baru mengatur rumah doa, pertanyaan mendasarnya bukan sekadar soal nomenklatur atau teknis administratif, tapi keberanian negara menempatkan jaminan kebebasan beragama sebagai hak dasar yang tak bisa dikompromikan oleh veto mayoritas. Tanpa pembacaan ulang atas sejarah regulasi yang diskriminatif, upaya baru ini berisiko mengulang siklus ketegangan yang sama, memperhalus represi dalam balutan legalitas.


Problem Epistemik, Mayoritas Mengatur “Rumah Doa” 
Langkah Kementerian Agama menyusun regulasi rumah doa didasarkan pada kekhawatiran yang valid, yakni kemungkinan gesekan sosial dalam masyarakat majemuk. Namun, pendekatan negara dalam mengatasi persoalan ini kerap dibingkai secara birokratis dan administratif. Alih-alih berbasis hak konstitusional dan prinsip keadilan substantif. Seolah-olah, problemnya semata terletak pada absennya prosedur formal, bukan pada bias mayoritarianisme yang telah tertanam dalam cara pandang institusi terhadap kelompok keagamaan minoritas.


Dalam kerangka teori Critical Legal Studies (CLS), hukum tidak pernah netral, melainkan dibentuk oleh dan untuk mempertahankan dominasi kelompok sosial tertentu. Dalam konteks ini, regulasi tentang rumah doa tidak hanya menjadi alat teknis pengaturan, tetapi juga cermin struktur kekuasaan kultural dan politik yang meminggirkan ekspresi keimanan non-dominan. Seperti ditegaskan Roberto Unger, hukum harus dilihat sebagai hasil pergulatan sosial dan bukan sebagai sistem rasional yang netral. Maka pertanyaannya bukan hanya apakah rumah doa harus diatur, tetapi siapa yang mengatur, dengan perspektif siapa, dan untuk kepentingan siapa.


Penyebutan rumah doa sebagai entitas yang “belum diatur secara formal” menyiratkan bahwa hanya bentuk ibadah yang sesuai dengan standar dominan (masjid, gereja, pura, vihara, klenteng) yang dianggap sah. Ini merupakan bentuk epistemic injustice, sebuah istilah yang dikemukakan oleh Miranda Fricker merujuk pada ketidakadilan yang terjadi ketika pengetahuan atau pengalaman suatu kelompok tidak dianggap valid atau sah oleh struktur otoritatif. Dalam hal ini, pengalaman keimanan minoritas dalam ruang terbatas dan sederhana seperti rumah tinggal, garasi, atau kontrakan diposisikan sebagai tidak cukup layak disebut tempat ibadah.


Padahal, dalam kerangka hak asasi manusia internasional, sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, termasuk kebebasan menjalankan agama atau keyakinannya secara pribadi maupun bersama orang lain, di ruang publik maupun privat. Ini ditegaskan pula dalam Komentar Umum No. 22 oleh Komite HAM PBB, yang menyatakan bahwa kebebasan beragama tidak boleh dibatasi hanya karena bentuk ekspresinya tidak sesuai dengan pola ibadah agama mayoritas.


Masalah epistemik dalam pendekatan regulasi rumah doa juga terletak pada dikotomi antara ibadah “legal” dan ibadah “informal”. Negara mengatur seolah-olah legitimasi keagamaan hanya diperoleh lewat legalitas formalistik, bukan melalui pengakuan atas martabat umat sebagai warga negara yang setara. Padahal, seperti dijelaskan oleh Iris Marion Young dalam Justice and the Politics of Difference (1990), keadilan tidak hanya menuntut distribusi yang adil terhadap hak-hak, tapi juga pengakuan (recognition) terhadap identitas dan pengalaman kelompok yang selama ini terpinggirkan. Tanpa pengakuan ini, regulasi akan selalu melanggengkan ketimpangan simbolik antara mayoritas dan minoritas.


Lebih jauh, regulasi yang disusun berdasarkan kekhawatiran akan gangguan ketertiban sering kali berubah menjadi logika pengendalian, bukan perlindungan. Ini adalah bias securitization dalam kebijakan publik, di mana isu-isu sosial dikonstruksikan sebagai ancaman terhadap stabilitas, lalu dijawab dengan pendekatan keamanan, bukan hak. Negara memosisikan minoritas bukan sebagai subjek hukum yang setara, tetapi sebagai potensi gangguan yang harus diatur agar “tidak mengganggu harmoni”. Inilah wajah paternalistik negara yang gagal keluar dari warisan kolonialisme hukum.


Sebagai konsekuensi, kerangka berpikir yang dominan ini menjustifikasi tindakan-tindakan koersif terhadap kelompok minoritas dengan dalih prosedur formal. Padahal dalam demokrasi konstitusional, legalitas tidak boleh menjadi alat membatasi kebebasan yang dijamin secara substansial. Seperti dikemukakan Ronald Dworkin, hukum yang adil adalah hukum yang tidak hanya mengikuti prosedur, tetapi juga mencerminkan penghormatan terhadap martabat individu. Negara tidak bisa berdiri netral bila prosedur yang digunakan justru melanggengkan ketidaksetaraan.


Untuk itu, penyusunan regulasi rumah doa seharusnya tidak berangkat dari paradigma kontrol administratif, melainkan dari prinsip affirmative justice. Negara harus hadir bukan sebagai penjaga dominasi sosial, melainkan sebagai pelindung kelompok rentan dari tirani mayoritas. Ini berarti bukan hanya mengakui eksistensi rumah doa sebagai bentuk sah dari ekspresi iman, tetapi juga melindunginya secara aktif dari praktik diskriminatif. Tanpa perubahan epistemik ini, regulasi apa pun hanya akan mengulang sejarah yang sama, legalisasi diskriminasi dalam bingkai “ketertiban umum”.


Kritik terhadap Pendekatan Kemenag
Pendekatan yang dipilih Kementerian Agama dalam merancang regulasi tentang rumah doa tampaknya masih terjebak dalam paradigma lama yang birokratik dan top-down. Alih-alih bertolak dari kerangka hak asasi manusia dan keadilan sosial, regulasi ini dirancang melalui jalur prosedural: pelaporan, mediasi, serta klasifikasi administratif terhadap rumah doa. Kerangka seperti ini tidak hanya mereduksi negara menjadi wasit dalam pertarungan sosial, tetapi juga menciptakan ketimpangan posisi antara mayoritas dan minoritas. Dalam praktiknya, negara lebih mudah condong pada tekanan kelompok mayoritas, baik karena tekanan politik maupun kalkulasi stabilitas sosial yang sering kali semu.


Ironisnya, pendekatan ini justru menormalisasi stigma terhadap kelompok keagamaan minoritas. Dengan menjadikan rumah doa sebagai entitas yang perlu dilaporkan dan dimediasi, negara secara tidak langsung memperkuat asumsi bahwa ekspresi keagamaan minoritas adalah deviasi yang perlu diawasi. Padahal, sejarah sosial keagamaan Indonesia menunjukkan bahwa kelompok-kelompok minoritas justru kerap menjadi korban persekusi, perusakan tempat ibadah, dan kekerasan yang dibiarkan. Menuntut minoritas untuk selalu patuh pada prosedur, tanpa keberanian negara melindungi mereka dari tekanan massa, justru memperdalam luka sosial yang telah lama ada.


Lebih dari itu, rancangan regulasi tersebut tampak mengabaikan prinsip paling fundamental dalam demokrasi: kesetaraan hak. Semua warga negara, tanpa kecuali, memiliki hak konstitusional beribadah sesuai keyakinannya, tanpa diskriminasi berbasis jumlah pengikut, bentuk ibadah, atau jenis tempat yang digunakan. Ketika negara meletakkan syarat administratif dan persetujuan sosial sebagai gerbang bagi kebebasan beribadah, maka hak itu berubah menjadi privilese, hanya berlaku jika warga mayoritas memberi izin. Dalam sistem seperti ini, minoritas bukan lagi warga negara penuh, tetapi pihak yang harus tunduk pada belas kasihan dominasi kelompok tertentu.


Pendekatan Kemenag juga gagal membaca kompleksitas religiusitas masyarakat Indonesia yang tidak selalu hadir dalam bentuk institusional atau monumental. Di banyak tempat, khususnya di lingkungan Kristen Pentakostal atau komunitas keagamaan lokal, praktik ibadah dilakukan dalam skala kecil, di rumah tinggal, garasi, atau ruang sederhana lainnya. Spiritualitas yang mengakar pada relasi dan komunitas semestinya tidak dipaksa tunduk pada standar bangunan atau formalisme negara. Negara yang memaksakan homogenisasi model tempat ibadah justru sedang merusak keberagaman yang selama ini menjadi kekuatan bangsa Indonesia.


Di tengah gejolak wacana publik soal rumah doa, sosok Gus Adib sebagai Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) tampil sebagai figur moderat yang menyerukan pentingnya perdamaian dan toleransi. Dalam berbagai kesempatan, ia menyatakan dengan tegas bahwa kekerasan atas nama keberatan keagamaan tidak bisa dibenarkan dalam bentuk apa pun. Narasinya mencerminkan harapan bahwa negara, melalui Kementerian Agama, dapat menjadi rumah besar bagi semua umat beragama, melindungi, bukan hanya mengatur; merawat, bukan hanya mencatat.


Namun sebagaimana sering terjadi dalam politik kebijakan, seruan moral tidak akan berarti banyak tanpa keberanian melakukan perombakan struktural. Moderasi dan toleransi yang hanya berhenti pada narasi akan mudah ditelan realitas ketika institusi negara terus membiarkan ketimpangan berlangsung. Ketika rumah doa minoritas disegel atau dibakar, dan negara lambat atau enggan bertindak tegas, maka pesan damai hanya akan menjadi retorika yang kehilangan makna. Gus Adib mungkin tulus dalam seruannya, tapi lembaga yang ia pimpin masih bekerja dalam kerangka hukum dan kebijakan yang diskriminatif.


Regulasi yang diusulkan sebagai solusi pun perlu diwaspadai agar tidak menjadi jebakan formalisme baru. Jika rumah doa hanya dianggap sah bila telah memenuhi prosedur pelaporan dan mendapatkan pengakuan resmi, maka ruang ekspresi iman akan semakin menyempit. Kebebasan beragama bukanlah sesuatu yang diberikan oleh negara, melainkan hak yang melekat pada setiap individu. Maka negara tidak berhak menundanya, apalagi menggantungkan pelaksanaannya pada persetujuan mayoritas.


Narasi damai yang dibawa oleh tokoh seperti Gus Adib patut dihargai, namun tidak boleh menjadikan publik lengah terhadap struktur yang selama ini melegitimasi ketimpangan. Perdamaian tidak lahir dari himbauan moral semata, tetapi dari keberanian untuk membongkar sistem yang menciptakan ketakutan dan ketidaksetaraan. Dalam konteks inilah, kerja Kemenag seharusnya dimaknai bukan sebagai pengatur ibadah warga, melainkan pelindung hak yang dijamin konstitusi, tak peduli betapa sederhana atau sunyinya rumah doa itu.


Dari Tata Kelola ke Keadilan Sosial
Menghadapi peliknya relasi antarumat beragama dan persoalan rumah doa yang kini kembali mengemuka, Indonesia membutuhkan pendekatan baru yang tidak berhenti pada regulasi administratif. Alih-alih mengulang pola tambal-sulam kebijakan, kita memerlukan lompatan etis dan politik menuju tata kelola yang berakar pada prinsip keadilan sosial dan perlindungan hak konstitusional seluruh warga negara, tanpa kecuali.


Salah satu langkah pertama yang mendesak adalah membuka ruang deliberasi. Proses perumusan regulasi rumah doa harus melibatkan mereka yang selama ini hidup di dalamnya, komunitas-komunitas minoritas yang menjalankan ibadah dalam senyap, jauh dari kemewahan bangunan besar, tapi penuh iman dan ketulusan. Forum Group Discussion (FGD) yang sering menjadi formalitas dalam birokrasi belum cukup; negara perlu menginisiasi musyawarah kebijakan yang terbuka, representatif, dan benar-benar mendengar suara mereka yang kerap dibungkam oleh prosedur dan mayoritas. Sebagaimana diingatkan oleh Gus Mus (KH. Mustofa Bisri), “Yang lebih penting dari suara mayoritas adalah suara hati nurani. Dan kadang, suara minoritas adalah suara hati itu sendiri.”


Regulasi tentang rumah doa seharusnya tidak berdiri sendiri sebagai produk hukum baru yang kian membebani komunitas dengan persyaratan administratif tambahan. Justru, PBM 2006 sebagai sumber ketegangan selama ini harus ditinjau ulang secara menyeluruh. Revisi ini bukan sekadar menambah pasal, melainkan mentransformasikan orientasi kebijakan dari menjaga “ketertiban mayoritas” menjadi memperkuat hak-hak konstitusional setiap warga. Dalam semangat ini, penguatan regulasi seharusnya tidak menambah syarat sosial, tetapi memastikan bahwa kebebasan beribadah tidak bisa dijadikan tawar-menawar oleh tekanan komunitas lokal. KH Abdurrahman Wahid menegaskan, “Tak ada alasan membenarkan pengingkaran terhadap kebebasan menjalankan keyakinan. Bahkan jika itu menyakitkan mayoritas sekalipun.”


Kita juga perlu menyadari bahwa tidak semua masalah sosial harus direspons dengan regulasi. Banyak ketegangan antarumat beragama di tingkat lokal justru bisa diselesaikan dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Mediasi antarwarga, forum dialog antariman, serta edukasi publik yang menyasar akar intoleransi. FKUB perlu dibenahi dari forum elitis menjadi ruang perjumpaan warga yang setara, saling menghargai dan hidup. Ketika orang saling mengenal, prasangka berkurang. Seperti pesan dari KH. Hasyim Muzadi, “Kita bisa berbeda pendapat dan keyakinan, tapi tidak boleh kehilangan kasih sayang sebagai sesama makhluk Tuhan.”


Di sisi lain, langkah seperti pengembangan Early Warning System (EWS) oleh PKUB adalah langkah yang perlu dipertimbangkan mengingat bahwa sistem ini tidak boleh berhenti sebagai alat pemantauan, tetapi harus dibangun secara partisipatif dengan data yang jujur dan keterlibatan komunitas akar rumput. EWS semestinya menjadi instrumen pemberdayaan, bukan pengawasan; alat solidaritas, bukan alat kontrol. Dalam masyarakat multikultural, kearifan lokal sering kali lebih cepat mengenali potensi konflik ketimbang struktur negara yang birokratis.


Akhirnya, negara harus menunjukkan keberanian berdiri membela yang rentan dan lemah. Kolaborasi antara Kementerian Agama, Komnas HAM, Ombudsman, hingga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sangat penting memastikan perlindungan hukum yang progresif bagi komunitas minoritas, terutama saat terjadi persekusi terhadap tempat ibadah mereka. Perlindungan ini bukan tindakan politis, melainkan kewajiban moral negara terhadap warga negara yang hak-haknya dilindungi konstitusi. Lagi-lagi, menukil pandangan Gus Dur, “Yang minoritas bukan untuk ditoleransi, tapi untuk dijamin haknya. Karena mereka bukan tamu, tapi pemilik sah republik ini.”


Kerukunan yang sejati bukanlah absennya konflik, melainkan kehadiran keadilan dalam setiap upaya menyelesaikan konflik. Rumah doa, meski dalam bentuk rumah sederhana, dan tersembunyi di sudut gang atau pinggir sawah adalah simbol eksistensi spiritual yang dijamin oleh konstitusi. Ia adalah perwujudan dari keyakinan paling personal, sekaligus ekspresi kehadiran warga dalam negara yang semestinya merawat semua iman dengan setara.


Kementerian Agama mungkin memiliki niat baik menjaga harmoni, tapi niat saja tidak cukup. Ia harus disertai keberanian mengatasi struktur ketidakadilan yang selama ini menjadi akar banyak kekerasan simbolik maupun fisik terhadap komunitas minoritas. Kita tidak butuh lagi regulasi yang menambah beban administratif atau menyempitkan ruang ibadah; yang kita perlukan adalah reformasi struktural, keadilan prosedural, dan empati yang hidup dalam kebijakan publik.


Seperti yang diajarkan para ulama, Islam yang besar bukanlah Islam yang mendominasi kelompok lain apalagi pihak yang lemah, tetapi Islam yang membebaskan, memuliakan, dan menjaga martabat semua makhluk. “Semua pihak di kalangan kaum muslimin memikul tanggung jawab untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap semua warga masyarakat bangsa kita, karena hanya dengan cara demikian, Islam bisa menjadi kekuatan pelindung bagi seluruh penduduk negeri ini secara keseluruhan,” kata Gus Dur dalam artikelnya Islam dan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia (Kompas, 14 Desember 1992). 


Maka dalam semangat itu, menjaga Indonesia hari ini bukan dengan rasa curiga, tetapi dengan rasa adil; bukan dengan regulasi yang mengekang, tetapi perlindungan yang emansipatif; dan bukan dengan rukun yang memaksa diam, melainkan rukun yang menjamin martabat setiap iman dihargai dan dihormati setinggi-tingginya.


Abi S. Nugroho, pengurus Lakpesdam PBNU