Wawancara

Wawancara dengan KH Achmad Siddiq (2): Islam dan Pembentukan Bangsa Indonesia

Jum, 2 Oktober 2020 | 16:00 WIB

Wawancara dengan KH Achmad Siddiq (2): Islam dan Pembentukan Bangsa Indonesia

Islam mengakui persamaan martabat antara semua manusia, persamaan beberapa sifat dan watak manusia, sekaligus juga mengamini adanya kenyataan bahwa umat manusia terdiri dari berbagai kelompok (bangsa, suku dan sebagainya).

Pada wawancara sebelumnya, KH Achmad Siddiq menjelaskan secara simpel dan sistematis tentang garis-garis besar Islam, mulai dari wahyu, makna trilogi iman-islam-ihsan, pengertian universalitas Islam hingga watak tawasuth (moderasi) agama yang dibawa Nabi Muhammad ini.

 

Lebih jauh, Kiai Achmad Siddiq rupanya tak melepaskan begitu saja Islam dari formasi bangsa Indonesia saat ini. Islam tidak dilihat sebagai barang asing yang baru datang belakangan, melainkan sesuatu yang mengakar jauh dalam sejarah dan karakteristik budaya masyarakat Nusantara. Hal itu terus berlanjut dalam tiap fase perubahan: perlawanan terhadap penjajahan, proklamasi kemerdekaan, perumusan dasar Negara, hingga mempertahankan dan mewujudkan kemerdekaan itu.

 

Berikut petikan dialog selengkapnya yang dihimpun dari rekaman dan catatan wawancara dr H Fahmi D Saifuddin dan KH Muhith Muzadi menjelang Munas Alim Ulama NU tahun 1983 hingga hingga Jelang Rapat Pleno Gabungan PBNU tahun 1985.

***


 

Adakah kaitan antara Islam dengan pembentukan bangsa Indonesia, Kiai? Kalau ada, mohon dijelaskan!

 

Saya cenderung berpendapat bahwa ada kaitan antara Islam dengan pembentukan bangsa Indonesia. Menurut hasil penelitian mutakhir, Islam sudah masuk ke sebagian bumi Nusantara ini pada abad l Hijriah (abad Vll Masehi) langsung dari Jazirah Arab. Jadi bukan pada abad Vll Hijriyah (abad Xlll Masehi) dan tidak melaiui/berangkat dari pos-pos di negeri lain seperti Persia, India, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan bahwa Islam yang datang di Indonesia ini relatif masih murni karena jarak waktu dan jarak perjalanan relatif pendek.

 

Adapun pendapat lama yang menyatakan bahwa Islam datang di Nusantara ini pada abad Vll H (abad Xlll M) melalui India dan sebagainya, mungkin yang terjadi waktu itu adalah kedatangan Islam gelombang berikutnya, bukan kedatangan yang pertama kali. Yang pasti, ketika Islam datang dan berkembang di bumi Nusantara ini sudah ada penduduknya yang berbudaya tinggi, tetapi belum merupakan kesatuan bangsa dan belum disebut dengan sebutan Indonesia.

 

Di sinilah kedatangan Islam mendahului dan kemudian menyertai proses terbentuknya (lahirnya) "Bangsa lndonesia". Proses terbentuknya kesatuan penghuni Nusantara ini menjadi satu kesatuan bangsa, dilalui dari perlawanan mereka terhadap penjajah yang mula-mula dilakukan secara terpisah-pisah.

 

Kemudian timbul kesadaran persatuan di dalam melakukan perlawanan dan mengadakan perlawanan dan mengadakan perbaikan-perbaikan bentuk dan wujud perlawanan (dari perjuangan fisik ke perjuangan politik). Sebutan “lndonesia” pun baru dipergunakan bersama-sama, setelah rasa dan semangat persatuan itu menjadi semakin mantap dan merata.

 

Bisakah lebih diperjelas mengenai peranan Islam dalam pembentukan dan pertumbuhan bangsa Indonesia ini?

 

Tidaklah berlebihan kalau dikemukakan bahwa dalam proses pembentukan dan proses pertumbuhan bangsa lndonesia, Islam memainkan peran ganda yang amat penting:

 

Pertama, sebagai salah satu pendorong timbulnya perlawanan terhadap penjajahan, karena Islam adalah anti penjajahan.

 

Kedua, sebagai salah satu faktor pemersatu (ukhuwah Islamiyah), karena pada masa itu Islam sudah dianut oleh para penghuni Nusantara ini secara merata.

 

Proses kedatangan Islam dan penyebarannya di Indonesia berjalan dengan damai dan sukarela. Tidak ada kekuatan materi atau kekuasaan politik apa pun yang berdiri di belakangnya. Meskipun mendapat hambatan, rintangan dan perlakuan tidak adil selama sekian lama, namun lslam tetap survive, tetap hidup tanpa balas dendam. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya daya hidup Islam dan betapa persisnya kesesuaian antara ajaran Islam dan kepribadian bangsa Indonesia dalam hal toleransi dan suka damai.

 

Kaum Muslimin lndonesia sampai batas-batas tertentu, sesuai dengan yang diperkenankan oleh Islam, memiliki beberapa kekhususan dalam pola pelaksanaan dan penerapan ajaran Islam, sebagaimana kaum Muslimin di negara lain memilikinya.

 

Meskipun demikian, kaum Muslimin Indonesia tetap merupakan bagian mutlak yang tak terpisahkan dari kaum Muslimin sedunia. Pada setiap kegiatan Islam internasional, kaum Muslimin lndonesia tidak pernah ketinggalan atau ditinggalkan. Bahkan pada beberapa kegiatan, kaum Muslimin Indonesia diwakili oleh Pemerintah Negara Republik lndonesia, sejajar dengan wakil-wakil negara pemerintah yang berpredikat Islam. Tidak jarang pula kegiatan Islam internasional dilaksanakan di lndonesia.

 

Kaum Muslimin Indonesia juga mengalami pasang naik dan pasang surutnya sejarah, sebagaimana dialami oleh kaum Muslimin di negara lain. Juga mengalami beberapa pertentangan internal sesama Muslim. Namun perbedaan atau pertentangan yang terjadi di kalangan kaum Muslimin lndonesia, alhamdulillah, tidak sedemikian parah seperti yang terjadi di negara lain. Meskipun terjadi perbedaan, namun secara keseluruhan kaum Muslimin lndonesia umumnya masih tergolong sebagai kaum Muslimin Sunni yang terkenal memiliki karakteristik tawasuth, tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleransi). Pengaruh aliran sempalan tidak pernah subur, meskipun tidak boleh sama sekali diabaikan.

 

 

Karakteristik ini tentu mempengaruhi pula sikap berbangsa dan bermasyarakat dari kaum Muslimin Indonesia. Maka dapat dipastikan, hal ini mempengaruhi pula pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia

 

Bahkan ketika bangsa lndonesia mendirikan negara yang merdeka, karakteristik ini tercermin dalam segala gerak bangsa, mulai dari persiapan, perumusan dasar negara, dan Undang-Undang Dasarnya, proklamasinya, perjuangan mempertahankannya, serta perjuangan mengisi dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan itu.

 

Karakteristik ini memang sangat sejalan dengan karakteristik bangsa Indonesia pada umumnya. Indonesia memang tidak lepas dari isi dan warna lslam, sejak proses kelahirannya sampai kepada pertumbuhan dan kedewasaannya sebagai bangsa.

 

Memang, Islam di Indonesia belum sempurna. Masih memerlukan perjuangan berat untuk meningkatkannya menuju kesempurnaan. Meningkatkan Islam ini tidak berarti lain kecuali meningkatkan mutu para pemeluknya dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam.

 

Lalu, bagaimana dengan sifat universalitas Islam?

 

Islam bersifat universal, untuk seluruh umat manusia sedunia, sekaligus juga bersifat fithri, sesuai dengan watak dan kepentingan manusia pada umumnya. Universalitas Islam tidak berwujud keseragaman mutlak dalam segala hal bagi seluruh manusia sedunia. Ada haI-hai yang diatur secara mutlak, ada pula hal yang hanya diatur garis besarnya, sedang pelaksanaannya/detailnya dapat diatur sendiri oleh manusia.

 

Dengan demikian, Islam dapat diterapkan di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja, dengan misi dan fungsi rahmatan lil alamin (penyebar rahmat bagi seluruh alam).

 

Islam mengakui persamaan martabat antara semua manusia, persamaan beberapa sifat dan watak manusia, sekaligus juga mengamini adanya kenyataan bahwa umat manusia terdiri dari berbagai kelompok (bangsa, suku dan sebagainya) yang masing-masing mempunyai sifat, watak dan kepentingan yang tidak selalu sama. Oleh karena itu hubungan antar individu dan golongan harus dilakukan atas dasar saling mengerti dan saling menghormati, karena nilai seorang manusia hanya pada mutu ketakwaannya kepada Allah SWT. Sampai batas-batas tertentu tiap orang atau kelompok mendapat kesempatan mencari pola pengaturan diri masing-masing berdasar dinullah (agama Allah; Islam).

 

Kalau demikian, tampaknya watak moderat itu memang merupakan potensi menonjol yang sejak dulu merupakan "milik" Islam?

 

Ya, bisa juga dikatakan demikian. Islam memang memiliki perwatakan (karakteristik) tawasuth (sikap tengah) dan i'tidal (adil, tegak lurus). Islam tidak membenarkan sikap ekstrem/menghujung (tatharruf = melihat sesuatu hanya dari satu ujungnya saja) dan sikap berlebih-lebihan. Bahkan sikap yang berlebih-lebihan di dalam agama (al-ghuluwwu fid din) juga dilarang.

 

Penyimpangan dari karakteristik "tawasuth" dan "i'tidal" inilah yang menyebabkan timbulnya aliran-aliran sempalan, yaitu aiiran-aliran Islam non-Sunni. Tapi alhamdulillah, meskipun terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslimin di lndonesia, namun secara keseluruhan kaum Muslimin di Indonesia masih berada pada satu aliran besar, yaitu Islam Sunni. Hal itu merupakan rahmat besar dari Allah SWT, bukan saja bagi kaum Muslimin, juga bagi kepentingan nasional lndonesia.

 

Editor: Mahbib Khoiron