Wawancara

Kekeliruan-kekeliruan dalam Memahami 'Kafir' dalam Al-Qur'an

Sel, 31 Juli 2018 | 20:00 WIB


Pada pembukaan Kongres kelima Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj meminta para penghafal, pembaca, dan pengkaji Al-Qur’an di kalangan NU jangan sampai jatuh pada hadits Nabi yang artinya: “membaca Al-Qur’an hanya sampai di tenggorokan”. 

Ungkapan itu, maksudnya tiada lain adalah orang yang membaca Al-Qur’an, tapi pemahamannya tidak sampai di hati dan praktik. 

Karena itulah, para ahli Al-Qur’an NU harus bisa memahaminya sebagaimana para ulama terdahulu. Sebab, jika keliru akan berakibat fatal. Misalnya dalam memahami kata kafir, jika salah, akan berakibat terkucurnya darah seseorang atau sekelompok orang.  

Abdurrahman bin Muljam misalnya, adalah orang yang memahami ayat Al-Qur’an dengan cara salah. Sayidina Ali, sahabat dan sekaligus menantu Nabi Muhammad yang termasuk kalangan pertama memeluk Islam, dianggap kafir karena dianggap tidak menggunakan hukum Allah berdasarkan ayat Al-Qur’an. Darah pun terkucur.  

Grand Syekh Al-Azhar saat berkunjung ke PBNU pada awal Mei Tahun ini mengajak umat Islam untuk tidak mengkafirkan orang yang masih bersyahadat dan menghadap kiblat. Apalagi karena berbeda pilihan partai politik. 

Ada mekanisme tertentu untuk menyebut orang sebagai kafir. Kalaupun iya seseorang jelas kafir, ada mekanisme tertentu dalam memeberikan hukum kepadanya. Tidak gampang. 

Bahkan di dalam Al-Qur’an sendiri, dalam konteks tertentu, kafir ada yang bermakna menimbun biji di dalam tanah. Ada juga yang bermakna, seseorang yang tidak mensyukuri nikmat. 

Bagaimana sebetulnya cara memahami Al-Qur’an itu agar tidak jatuh pada penafsiran yang salah? Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarai pakar Al-Qur’an, seorang ahli dalam qiraah sab’ah, penghafal Al-Qur’an, pemimpin pondok pesantren Al-Qur’an, doktor lulusan di Madinah dengan hasil cum loude, yaitu KH Ahsin Sakho Muhammad, di Pondok Pesantren Asshidiqiyah Karawang, 15 Juli lalu. 

Reputasinya dalam bidang Al-Qur’an diakui banyak orang. Dia pernah menjadi Rektor Institute Ilmu Al-Qur’an (IIQ), dosen tafsir di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ). 

Tak heran kemudian, para ahli Al-Qur’an di NU mempercayakan posisi Rais Majelis Ilmi Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama kepadanya. Bahkan beberapa periode hingga hari ini. 

Berikut petikannya:

Bagaimana JQHNU mendidik penghafal dan pengkaji Al-Qur’an agar tidak jatuh pada ungkapan dari Nabi Muhammad "ada orang membaca Al-Qur'an hanya sampai pada tenggorokan"?

Al-Qur’an kitab yang rahmatan yang lil alamin. Jangan melihat Al-Qur’an dengan satu mata saja. Melihat Al-Qur’an harus secara menyeluruh. Jangan memahami Al-Qur’an seenaknya sendiri, tidak menggunakan dan melihat yang lain-lain, misalnya asbabun nuzul. Jangan menggunakan satu dalil saja, misalnya dalam masalah hukum: inil hukmu ila lilllah {Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah (Yusuf ayat 40)}. Jangan Itu saja. Misalnya lagi, apakah mereka akan mencari hukum jahiliyah pada ayat, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50). 

Jika hanya menggunakan ayat itu, selain hukum Islam, berarti hukum jahiliyah. Nah, begitu kan. Sekarang di Indonesia itu hukumnya peninggalan Belanda. Berarti kalau begitu hukum jahiliyah. Orang (yang berpendapat seperti ini) tidak membeda-bedakan mana hukum bersifat sipil yang merupakan wewenang dari negara, mana yang merupakan wewenang dari syara. Mereka tidak melihat di Indonesia adalah negara yang memperbolehkan shalat, haji, wakaf ada, perbankan (syariah) ada. Apalagi coba? Apakah akan "gedung" itu dihancurkan dulu? Kalau ada konsep yang tidak cocok, ya itu saja ketidakcocokannya (yang diubah), misalnya ketidakadilan; bagaimana umat Islam supaya menciptakan orang-orang baik yang penuh dengan keadilan. Kalau sistemnya dirombak dulu, wah, itu sih terlalu jauh dan hasilnya juga belum tentu. 

Dan begini saja sudah kehidupan keislaman, islami. Kehidupan islami itu apa? Islam itu luas sekali berkaitan dengan unsur-unsur kemasyarakatan, kepribadian. Orang yang hidup di desa, mengerjakan shalat lima waktu, akhlaknya bagus, tidak menyakiti orang lain; sudah dia hidup dalam kehidupan yang islami; di negara apa saja. Nah, sekarang orang yang hidup di Amerika, apa negaranya harus dihancurin dulu? 

Ini (Indonesia) adalah namanya darul mu’ahadah (negara hasil perjanjian), darul muwathanah (negara kebangsaan) negara Indonesia ini. Nabi sendiri pada waktu hidup di Madinah bersama dengan orang Yahudi dan berbagai suku. Apakah hidup pada waktu itu disebut hidup di zaman jahiliyah (karena Nabi menggunakan hukum Piagam Madinah berdasarkan kesepakatan semua elemen)? Kan enggak juga. Jadi pemahaman-pemahaman seperti inilah yang harus diserap oleh orang-orang yang masih memiliki pemahaman yang masih dangkal, pemahaman yang dangkal. (Al-Qur’an dipahami) dari segi lafaznya saja. Ngajinya bagus. Kalau mengajarkan juga bagus. Tapi pemahaman yang dibaca masih setengah-setengah. 

Apa Abdurrahman bin Muljam yang membunuh Sayidina Ali dengan alasan ayat Al-Qur’an termasuk orang yang memahaminya setengah-setengah?  

Ibnu Muljam, ia melihatnya Sayidina Ali itu bermusyarawah dalam menentukan hukum; kan (di dalam Al-Qur'an ada ayat) وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ (dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, QS Ali Imran 159). Ia tidak melihat itu. Itu yang bahaya sekali kalau pemahaman seperit itu. Makanya saya tulis Oase Al-Qur’an, buku saya. Bagian-bagian pertama inti-inti ajaran Islam itu adanya di sini. Ada enggak surah-suarah Makiyah (surat atau ayat yang turun di Makkah) menyuruh orang-orang bertindak seperti itu. Enggak ada.

Orang yang menafsirkan Al-Qur’an sepotong-sepotong atau setengah-setengah dan tidak melihat ayat yang lain itu bagaimana? 

Wah, itu berarti dia kesalahan dalam memahami metode menafsirkan karena Al-Qur’an yufassiru ba’dluhu ba’dlan; Al-Qur’an itu saling menafsirkan satu ayat kepada ayat yang lain, yaitu perkataan ulama ahli tafsir. 

Di dalam ayat Al-Qur’an ada, fa anzalna dzikra litubayyina linnasi; kami menurunkan kepada kamu Al-Qur’an ini supaya kamu menjelaskan; jadi ayat Al-Qur’an itu global-global saja. Bagian Nabi itu adalah menjelaskan. Orang seperti itu, tidak melihat hadits-hadits Nabi. Orang seperti Ibnu Mujmam. Ada hadits la yahillu, tidak halal darahnya seorang Muslim kecuali dengan tiga sebab, yang satu qathlu nahs, membunuh orang lain. Kedua karena zina muhsan, yang ketiga karena murtad. Jadi tiga itu saja. Kenapa Ibnu Muljam tidak merujuk hadits ini? Orang diperbolehkan membunuh orang lain itu hanya itu saja. Jadi, ada batasan-batasan tertentu. 

Khulafaur Rasyidin juga banyak hasil musyawarah. Kalau seandainya ada yang diketahui dari Nabi, langsung dikemukakan. Kalau seandainya tidak diketahui, dimusyawarahkan. Al-ittifiaqu sahabah, hujjah (kesepakatan para sahabat Nabi bisa dijadikan dalil). Ada ilmunya begitu. 

Itu sudah diprediksi oleh Nabi, akan ada kelompok orang yang dia itu goyang kaki saja kemudian dia mengatakan, "saya hanya berhukum dengan Al-Qur’an saja". Kalau begitu kan salah juga karena Allah percayakan untuk menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an baik melalui qaul (perkataan), maupun fi’li (perbuatan).

Kenapa di awal sejarah Islam melahirkan orang seperti kan masih dekat dan pernah mengalami bersama Nabi? 

Jadi, setelah perang Hunain, tahun kedelapan hijriah; itu nabi bisa mengatasi pemberontakan orang Hunain, Tsaqif. Nabi banyak mendapatkan hewan, untanya banyak, kambingnya banyak. Kemudian Nabi membagikannya. Semuanya dibagikan. Nabi tidak membawanya sama sekali. Akhirnya ada orang yang nyeletuk di hadapan Nabi, didengarkan. "Wah, Nabi enggak beres nih, Nabi enggak adil." Nabi menanggapi; "Siapa lagi yang adil kalau Rasulullah tidak adil? Kamu tahu tidak, saya bagikan kepada mereka supaya mereka mau masuk Islam." Nah, (terhadap) orang yang nyeletuk itu, dikatakan (Nabi), akan muncul dari keturunan orang itu, yang keras-keras, lupa juga namanya. 

Kenapa Nabi waktu itu dianggap tidak adil?

Karena Nabi tidak membagikan harta rampasan perang Hunain untuk mereka yang berperang. Tidak ada yang dibagi. Hanya orang-orang tertentu, sahabat yang tidak ikut berperang. Sahabat yang ikut perang tidak usah mendapat bagian lagi. Nabi memahami semuanya. Nabi berkata, “Kamu dulu kafir, siapa yang mengislamkan kamu.” Semuanya pada nangis. Ya sudah, kami akan berpulang bersama Nabi. Kemudian, setelahnya itu munculnya Ibnu Muljam dan yang lain-lain karena Nabi prediksinya seperti itu. 

Jika saat ini orang seperti dia masih ada dan jumlahnya mungkin banyak, apakah mungkin ada pihak yang membuatnya selalu ada? 

Ya, ada, ada. Jadi, ada kekosongan pada tingkat kelas menengah, yang harus diisi, ada pihak yang memberikan wejangan kelas menengah. Mereka tertarik pada orang yang bisa membaca Al-Qur’an, tahu hadits, ceramahnya memikat, akhirnya hijrah. Tapi kalangan menengah ini tidak mempunya basis pengambilan keputusan dari Al-Qur’an dan hadits. Jadi akhirnya muncul pemikiran-pemikiran radikal itu. Dan mereka tidak mempunyai mahaguru yang mengarahkan. 

Kembali lagi ke masalah tadi, apa hikmah Allah dalam membuat Al-Qur’an yang memungkinkan orang memahaminya secara sepotong-spotong? 

Jadi begini ya, Al-Qur’an itu kan ada konteks turunnya, ada konteks ayat; seperti Al-Maidah 50. Ini konteksnya mereka yang meminta hukum kepada selain nabi. Konteksnya ini Yahudi dan Nasrani kemudian kaum Muslimn. Hal yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam mereka ingin mencari hukum lain, selain hukum Islam dalam hal syariat, seperti orang Yahudi itu. Mereka kalau berzina muhsan (orang yang yang sudah bersuami atau beristri melakukan zina), mereka ingin mencari agar supaya hukumannya tidak berat. Kalau hukuman yang sebenarnya itu adalah dirajam. Yang kedua, hukum yang lain itu cuma dicoreng-corengg saja. Itu berarti orang yang mencari hukum selain hukum Allah, konteksnya orang Yahudi, Nashrani. 

Bahwa di Indonesia belum bisa seperti itu karena ini kan kesepakatan, daulah kesepakatan, darul mu’ahadah. Kemudian kita melihat pelaksanaan hukum itu, berkaitan dengan pidana itu tidak gampang karena berkaitan dengan darah. Di Indonesia itu kan berbagai macam suku, berbagai macam agama, kesepakatannya bagaimana? Jadi, kita itu harus yakin bahwa yang terbaik itu hukum Allah, tapi kalau ada situasi dan kondisi seperti ini, maka tidak harus memaksa seperti itu. 

Kita yang penting bahwa orang yang salah itu harus dihukum, itu saja. Produk hukumnya apa? Ya terserah. Ya apa saja. Orang yang mencuri dihukum, korupsi dihukum, orang zina dihukum. Di Indonesia orang yang berzina tidak dihukum, itu tidak sesuai. Tapi jangan langsung bahwa ini jahiliyah. Orang kalau ingin amar ma’ruf nahi munkar, tanamkan dahulu amar ma’rufnya. 

Ada empat tahapan kalau seandainya memberantas kemunkaran akhirnya bisa menghilangkan kemunkaran itu bagus. Kalau seandainya meminimalisir kemunkaran, itu bagus juga. Tapi kalau seandainya pemberantasan kemunkaran sama saja, itu jangan. Kalau seandaianya kita memberantas kemunkaran dan menimbulkan kemunkaran yang baru, tidak boleh. Haram itu. Ada bagian-bagian khusus pemerintah, polisi, itu bukan wewenang kita. Jadi, sebagian kelompok di Indonesia menghilangkan kemunkaran langsung oleh masyarakat; seharusnya kita tekan pemerintah untuk ikut terjun. 

Bagaimana Abdurrahman bin Muljam memahami wa man lam yahkum bima anzalallah itu? 

Salah dia itu. Salah dia itu. Wa man lam yahkum itu, pertama adalah ayat itu wa ulaika humul kafirun. Kafir di situ, menurut Ibnu Abbas, kufrun duna kufrin. Artinya bukan kufur yang sampai orang keluar dari Islam. Tidak. Kata Ibnu Abbas sendiri. Salah seorang sahabat Nabi itu.         

Menghukumi kafir itu tidak gampang. Apa kita setiap orang mempunyai hak untuk mengkafirkan orang. Kan tidak gampang. Harus dipanggil dulu. Menurut saudara apa? Kalau dia mengakui hukum selain Allah lebih hebat, ya sudah, suruh taubat dulu, taubat, taubat. Setelahnya itu yang harus mengeksekusi siapa? Mahkamah. Sementara selain mahkamah kita tidak mempunya hak seperti itu.

Tidak boleh orang bertindak sendiri-sendiri meskipun sandarannya kitab suci? 

Tidak boleh. Tidak boleh. Tidak boleh. Karena ini berkaitan dengan darah. Darah itu yang melakukannya kekuatan tertinggi, pemerintah. Kalau pemerintah, ya harus melalui undang-undang. Nabi Sendiri yang melakukannya. 

Lalu, kenapa dia sampai pada pemahaman kafir dalam arti layak untuk dibunuh? 

Pengertian kafir di dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa beberapa arti. Ada kuffar yang artinya petani. Petani itu menimbun, menutupi biji dengan tanah. Kuffar itu. Ada kuffar di dalam Al-Qur’an yang berarti kufur nikmat. Itu kufar juga. Lain syakartum laazidannakum, wa lain kafartum inna adzabi lasyadid. Orang kufur nikmat, kufur juga, seorang kafir juga. Tapi tidak sampai menjadikan orang itu, kafir yang keluar dari Islam. Jadi, harus berhati-hati betul. Hati-hati betul. Harus ngaji dulu tuh; kafir, kafir aja. 

Nabi sendiri menafsirkan atau memahami Al-Qur’an itu bagaimana? 

Nabi itu, menafsirkan Al-Qur’an teks dengan teks itu jarang. Tidak banyak. Yang lebih banyak, nabi menjelaskan melalui pekerjaannya, melalui fi’ilnya, af’alnya. Oleh amalinya. Shalat, itu penerjemahan dari Al-Qur’an, semua hukumnya Nabi adalah yang dia pahami dari Al-Qur’an. Semua sunah nabi itu adalah syarah (penjelasan) dari kitab-Nya. Nabi tidak secara sepesifik, ngaji kitab tafsir. Kitab tafsir tidak ada. Jadi, misalnya Nabi mengatakan, fawajada abdan; bilangan rakaat itu berapa, Nabi yang mengajarkan (dengan praktik). Haji, caranya puasa, zakat. Itu syarhun likitabillah (penjelasan terhadap Al-Qur'an). 

Jadi, tidak bisa Al-Qur’an saja. Enggak boleh. Itulah tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an sekenanya saja. Orang menafsirkan Al-Qur’an dari terjemahnya, salah lagi. Terjemahan itu tidak bisa merangkum ayat suci Al-Qur’an. Terjemah itu terbatas. Ungkapan untuk mengambil pemahaman dari ayat Al-Qur’an hanya dengan terjemahan bahasa Indonesia, tidak bisa. Rabbul ‘alamin, Tuhan semesta alam. Itu masih kurang. Rabbul ‘alamin itu berarti sayyidul ‘alamin, malikul ‘alamin, murabbil ‘alamin; yang mengurus, yang mendidik, yang mempunyai, yang menjadi sayid (tuannya); itu ada di situ. Alhamdu puji. Sana puji lagi. Madhu, puji lagi. 

Padahal berbeda antara al-madhu dan sana’u dan alhamdu itu berbeda. Sana’u kalau orang melihat orang lain baik. Kalau al-hamdu itu ada yang sampai pada syukur. Kalau mendapat kenikmatan dari orang lain, ya kita syukuri. Saya terima kasih kepadamu. Ya pujian juga. Berarti al-madhu itu. As-sanau, berbeda lagi. Wah, ada orang hebat banget, tampan banget, cerdas banget, itu namanya wa sana’u. Kalau al-hamdu itu dua-duanya. 

Supaya memhami Al-Qur’an tidak jatuh pada cara memahami seperti Abdurrahman bin Muljam bagaimana?

Ya harus belajar tafsir. Kita tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an seenaknya sendiri. itu tafsir bi ra’yi almadmum, tafsir dengan pikiran yang tercela.  Banyak itu,  tidak menggunakan ilmu-ilmu yang spesial dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sekenanya saja. Tafsir yang mengandalkan, menggunakan bahasa Arab saja, tak bisa juga. Kemudian tafsir bil-hawa, tafsir dengan hawa nafsunya sendiri saja.