Wawancara

Tuduhan Tidak Islam Kaffah dan Liberal dari Simpatisan Parpol

Sen, 2 Juli 2018 | 12:45 WIB

Pilkada langsung serentak di 171 daerah telah berakhir. Pasangan calon dan pra pendukung dan simpatisan tinggal menunggu hasil penghitungan resmi dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Dari hasil penghitungan itu, tentu ada yang menang dan kalah.  

Namun, ada sebagian pendukung atau simpatisan yang sepertinya tidak siap menerima kekalahan. Ungkapan mereka di media sosial baik tertutup maupun terbuka dilampiaskan dengan hujatan kepada pihak lain. 

Hujatan itu kadang beraroma SARA yang mudah mengundang kemarahan pihak lain. Misalnya ada ungkapan, jika di sebuah daerah calon yang didukungnya kalah, maka daerah itu mayoritas dihuni penduduk tidak beragama secara kaffah. Di saat sama berarti banyak warga yang liberal. 

Tentu ungkapan tersebut tidak tepat karena tidak ada hubungannya sama sekali. Untuk mengetahui fenomena semacam itu, Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarai Direktur Said Aqil Siroj Institute M. Imdadun Rahmat di PBNU, Jumat (29/6). Berikut petikannya: 

Ada kecenderungan Pilkada dikaitkan dengan agama. Anehnya, pengaitannnya itu adalah tuduhan bahwa jika partainya kalah di suatu daerah, maka daerah tersebut kebanyakan bukan pemeluk Islam kaffah. Bahkan liberal. Menurut Anda bagaimana? 

Yang pertama, bahwa klaim seperti itu adalah arogansi teologis, arogansi keagamaan masih diidap oleh kelompok itu. Ada klaim hanya mereka sendiri Islam kaffah, yang sempurna agamanya. 

Menurut saya, arogansi seperti ini menunjukkan ada unsur kuat menuju radikalisme. Karena salah satu elemen penting dalam radikalisme agama klaim mutlak hanya dirinya yang benar, yang lain salah. 

Kita prihatin dengan fenomena ini karena klaim kebenaran mutlak satu kelompok dan menyalahkan tidak sempurna keimanan menjadi potensi pertentangan antarkelompok, kebencian kelompok dengan kelompok lain. Dengan demikian ukhuwah islamiyah tidak akan tercapai kalau arogansi seperti ini masih ada

Kedua, klaim spserti ini kontraproduktif dengan kelompok tersebut yang menyatakan partai dakwah. Kalau partai tersebut partai dakwah, mereka menderita kerugian sekaligus. Sebagai parpol, dia akan menjauhkan konstituen massa mengambang karena melebarkan bibit jarak di saat sama mempersempit konstituen yang lain. Sebagai partai, dia akan kehilangan vootersnya.  Hal penting diingat karena di indonesia massa mengambang jumlahnya banyak. Massa ini akan berhasil ditarik kalau terpikat. Kalau dicaci maki dan dijelek-jelekkan, secara rasional akan menjauh. Partai ini akan rugi dari ceruk swings vooter itu. 

Dari sisi gerakan dakwah, ini kontraproduktif dengan metode dakwah yang benar karena dakwah yang benar mencari simpati dan menambah kawan. Bukan penghakiman tidak kaffah, tidak sempurna, libaral. Justru itu akan membuat objek dakwah untuk Islam yang lebih baik itu, akan lari. Tidak cocok dengan prinsip dan metode yang benar dalam berdakwah. Kita prihatin dengan maraknya statement seperti itu karena efeknya bahaya, karena mengobarkan kebencian kepada sesama Muslim dan potensial memunculkan konflik. 

Apa pendapat Anda dari hasil penghitungan sementara pada pilkada serentak ini?

Hasil penghitungan suara di pilkada ini menunjukkan bahwa partai-partai yang mengkampanyekan jagonya dengan mengeksploitasi sentimen identitas agama itu cenderung tidak laku. Kampanye yang menggunakan jargon-jargon fanatisme regliigus ke kanan itu tidak laku di publik. Buktinya jago dari partai inklusif dan terbuka itu yang memenangkan pilkada. Mestinya justru pendukng dan pengurus partai ini mesti belajar bahwa jualan kebencian itu tidak disambut oleh konstituen, oleh vooters. 

Sinyalemen apa ini jika dikaitkan dengan pilpres? 

Saya kira ini sinyalemen menggemberikan karena sebentar akan menghadapi pileg dan pilpres. Saya berkeyakinan para kandidat yang pluralis, yang mengutamakan bangsa, dan harmoni bangsa itu akan terpilih di 2019. Jadi, ini adalah pembelajaran politik masyarakat. Jadi, masyarakat semakin rasional semakin terbentuk budaya demokrasinya, rasional dan tidak mudah dimanipulasi identitas, khususnya agama. 

Ke depan, idealnya partai islam berlomba mewujudkan nilai-nilai luhur dari agama itu tentang keadilan, kejujuran, antimonipolitik, keberpihakan kepada orang banyak di atas kelompok, keadilan ekonomi. Itu yang perlu diwujudkan dari keislaman sebuah partai, bukan simbolisme. Kehadiran agama itu pada nilai-nilai. Agama memakai politik untuk tujuan hakiki dari agama, bukan politik memakai agama untuk tujuan kekuasaan. Jadi titik singgung agama dan politik itu pada nilai-nilai luhurnya. Parameter adalah sejauh mana memperjuangkan keadilan, memperjuangkan alokasi pembangunan, melindungi kelompok minoritas, bukan malah ikut-ikutan korupsi. Bukan malah mengorbankan kepentingan bangsa, kepentingan bersama untuk kepentingan diri dan kelompoknya. 

Apa itu watak bawaan orang per orang atau doktrin dari partai mereka? 

Itu watak bawaan karena yang dilatih pada bab pertama mereka adalah identifikasi siapa kawan dan siapa musuh, itu di awal pada proses pendidikan. Dengan begitu bahwa klaim kebenaran mereka pada bab awal pendidikan. Konsekuensinya harus ada yang disalahkan. Kelompok lainlah yang harus dicitrakan salah. Maka ada kawan ada lawan. Ada teman ada musuh. 

Pada perkembangannya (menyebut nama partai) pernah sadar cara pandang seperti ini kontraproduktif kalau dilempar ke publik. Pada 2009 kampanye mereka cenderung ini inklusif, menerima siapa saja, bahkan menerima non-Muslim untuk menjadi caleg. Pada saat itu pencitraan cukup berhasil. Dan hasilnya suara raihan mereka di pemilu meningkat drastis, 6,7 persen. Berkat dari proses itu, mengadaptasi dengan kondisi Indonesia, paling tidak di permukaan. Tapi kemudian pencitraan itu semakin memudar. Tapi kemudian tampil seperti sedia kala. Bahkan mengekslusi menuduh tidak kaffah. itu merugikan citra mereka sendiri dan kepentingan mebangun ukhwah islamiyah. Merugikan ukhwah islamiyah, ukhwah wathoniyah dan insaniyah. Karena tiga ukhwah ini satu kesatuan. Kalau salah satu unsurnya dilanggar, mustahil membangun wathaniyah kalau islamiyahnya tidak selesai. 

Ketiga ukhwah terbangun kalau ada kesiapan mental menerima perbedaan. Dengan sesama Islam saja sudah menuduh, bagaimana dengan kalangan yang berbeda banyak suku, bangsa, bentuk fisik. Berbeda sedikit tidak bisa, mana mungkin menerima dengan perbedaan yang banyak. 

Bagaimana nasib mereka masa depan? 

Untuk itu, melihat perkembangan mau organisasi maupun partai, semakin ekslusif sebuah organisasi atau partai, maka semakin mudah mati. Apa sebabnya? Karena kelompok atau partai dengan ideologi ekslusif artinya menarik garis sempit. Itu membuat pendukungnya semakin sedikit. Kalau seseorang tidak sama persis dengan garis partai akan ketendang keluar, disebut bidah, inhirof bahkan kafir itu menyebabkan orang banyak susah masuk. Yang sudah di dalam berpotensi keluar. Karena berbeda sedikit dikeluarkan, ini akan menimbulkan sempalan. Bahkan terbelah menjadi dua. Dan sering kali kelompok radikal di Indonesia mati dan melemah karena konflik di internalnya sendiri. Berbeda dikit pecah. 

Parpol atau organisasi tidak bisa memakai model ideologi radikal seperti ini. Betul memang atraktif, menarik, khususnya anak muda yang galau dan mudah sekali membentuk militansi. Partai kader biasanya terbangun dari model pengorganisasian seperti ini, ideologi sempit, ketat, berbeda sedikit out, itu salah satu watak dari partai kader. Memang ada proses pendidikan kaderisasi intensif, akan muncul tokoh dan kader militan. Kelebihannya di situ. Namun, partai kader tidak akan mampu menjaring suara konstituen yang besar karena daya tolaknya tinggi. 

Sehingga partai seperti ini tidak punya masa depan untuk massa. Partai massa tumbuh dengan prinsip longgar. Tingkat disiplin rendah, dan inklusif dan memberikan jarak yang luas. Dan tidak senang mengeluarkan orang. Sejauh mendukung partai dia akan diakomodasi. Partai massa ini yang dimana-mana menjadi besar dan memenangkan pemilu, dan menduduki jabatan strategis di negara. 

Ada contohnya? 

Misalnya di Eropa, di situ itu ada partai kanan, baik itu kanan agama maupun nasionalis. Itu selalu jadi partai oposisi dan gurem. Di sampaing ada kiri sosialis. Tidak membesar juga. Nah, yang selalu memenangkan parlemen dan pemilu adalah partai-partai tengah karena naturenya mengakomodasi keragaman kontituen. Biasanya partai-partai tengah ini bersaing merebut ceruk swing vooter. Tidak militan. 

Kembali lagi ke pertanyaan awal, tuduhan mereka tidak Islam kaffah dan liberal jika partainya kalah. Sikap warga NU terhadap cara pandang seperti itu bagaimana? 

Sikap yang paling bijak adalah tidak membalas dengan hujatan. Tapi menjelaskan bahwa menghujat itu tidak baik. Apa bedanya Islam rahmatan lil alamin yang menjadi slogan warga NU dengan islam yang suka menghujat kalau dibalas dengan menghujat. Kita membuat pagar betis saja, isolasi cara pandang mereka agar virus suka membenci warga lain tidak menulari warga NU. Memang akan selalu kalah di awal karena pagar betis dan mengisolirnya harus penuh kesabaran. Dalam pertarungan itu, memang pertahanan yang baik adalah menyerang, tapi ini kita ingin menciptakan dunia yang tidak ada kekerasan. Kita harus isolasi dan pagar betis.

Caranya bagaimana? 

Harus ada upaya ekstra kalau kasusnya ekstra ordinary, darurat; maka pagar betis dan isolasinya harus ekstra juga. Modal sosial dan struktural, kultural NU sudah cukup. Di Jawa, struktur NU sudah sampai ke desa-desa. Di luar Jawa, sudah sampai ke cabang, ada yang kecamatan, ada juga yang sampai di desa seperti di Lampung. 

Secara kultural NU punya pesantren, punya tradisi yasinan, slametan, dibaan, itu adalah media yang sangat efektif memagari umat kita dari kelompok penyerang ini. Tinggal meyebarkan tanbih (peringatan) agar kaum Nahdliyin sadar ancaman ini. Secara otomatis mereka akan melakukan pembelaan diri. Dan itu sudah dibuktikan berkali-kali oleh Nahdliyin.