Warta

Tantangan Lembaga Pendidikan

NU Online  ·  Senin, 9 Juni 2003 | 06:49 WIB

Jakarta, NU.Online
RUU sisdiknas yang digodok di DPR dan sudah disosialisasikan ke masyarakat, berdasarkan jadwal akan diputuskan pada 10 Juni mendatang. Namun Perdebatan pro-kontra seputar RUU masih terus berlangsung  di kalangan masyarakat luas.
 
Upaya menghambat atau menunda disahkannya RUU ini kini juga cukup serius dilakukan oleh beberapa kalangan agama yang mengatasnamakan gerakan pro-pluralisme, mengingat beberapa klausul RUU Sisdiknas tersebut, terutama Pasal 12 Ayat (1) A yang dinilai bertentangan dengan prinsip pluralisme, multi-kulturalisme dan beberapa pasal seperti 18,19 dan 20 yang dianggap terlalu bernuansa agama  Kalangan ini menuntut revisi pasal-pasal tersebut agar lebih menceminkan pendidikan bervisi kebangsaan dan menolak dimasukkannya masalah agama dalam RUU tersebut. Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Majelis Pendidikan Kristen (MPK), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), serta beberapa pengamat pro-pluralisme.

menurut Edi Sudrajat, mantan menteri pertahanan keamanan mengatakan, "Pemerintah jangan tergesa-gesa mengesahkan dan menyetujui Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), dan sebaliknya dengan penuh kearifan menunda pengesahannya untuk kurun waktu yang tidak ditentukan."Menurut dia, sejarah dan fakta menunjukkan bahwa sistem pendidikan nasional yang secara legalistik diatur secara nasional pada tingkat undang-undang atau ketetapan MPR, selalu menjadi kontroversi dan belum bersifat "final". tambahnya

<>

"Fakta ini disebabkan karena hampir seluruh undang-undang dan ketetapan MPR tentang pendidikan nasional Indonesia sejak negara ini diproklamasikan, senantiasa diwujudkan atas dasar motivasi kepentingan politik semata yang sangat kental," tutur mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan itu.

Kepentingan politik itu, paparnya, yakni kepentingan politik aliran tertentu atau kepentingan mempertahankan hegemoni kekuasaan dari suatu rezim kekuasaan pada suatu kurun waktu tertentu, yang sangat memahami bahwa kepentingan politiknya akan dapat dicapai secara efektif, apabila sistem dan proses belajar-mengajar dapat diinfiltrasi oleh nilai-nilai atau dipakai sebagai sarana untuk mensosialisasikan paham aliran politiknya atau kepentingan kekuasaan.

Sementara cendekiawan muslim Nurcholish Madjid, kemarin, di Jambi, berpendapat, pendidikan gaya verbalis Indonesia selama ini lebih banyak menghasilkan sumber daya manusia (SDM) hedonis yang mementingkan kesenangan sesaat, materialis dan kurang bermoral.

"Yang lebih memprihatinkan, SDM seperti itu banyak yang menduduki jabatan penting selama ini," tukasnya.

Mencermati pro-kontra RUU Sisdiknas, dia mengemukakan, sebenarnya hal tersebut tidak perlu terjadi kalau ada kesepakatan bahwa bila sudah menjadi UU masih dapat diperbaiki.

"RUU Sisidiknas tersebut sebenarnya bisa disahkan dan dilaksanakan. Kalau ada hal-hal yang memang menimbulkan keresahan atau ketidakadilan di tengah masyarakat akibat pelaksanaan UU tersebut, bisa dilakukan perbaikan-perbaikan," katanya.

Mengenai silang pendapat atas RUU tersebut, Wakil Presiden Hamzah Haz mengingatkan, jangan seolah-olah merupakan perang agama. Perdebatan tersebut merupakan sisa-sisa provokator dari masa kolonial Belanda yang mengadu antara Islam dengan non-Islam. "Karena itu sebaiknya perdebatan dihentikan demi kelancaran pendidikan yang menciptakan sarjana-sarjana yang kemudian mampu mandiri," kata Hamzah pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Perguruan Tinggi Islam Ar-Rasyidiyya, Semper, Jakarta, Sabtu.

Tampaknya kalangan yang menolak atas beberapa pasal RUU Sisdiknas yang sekilas tampak menguntungkan kaum muslimin dan lembaga-lembaga Islam, hanya melandaskan pendapatnya pada kecurigaan dan kekhawatiran bahwa nuansa kegamaan dalam UU Sisdiknas akan mengantarkan pada konservatisme agama yang menghambat kemajuan serta hilangnya nuansa pluralitas dalam sistem pendidikan nasional kita

Pandangan demikian ini terkesan tidak kontekstual baik dalam menilai esensi agama, maupun dalam menilai sistem pendidikan nasional kita secara umum. Karena agama dinilai sebagai sumber konservatisme yang hanya akan menciptakan problem dan arogansi dalam berkehidupan masyarakat.

Di sisi lain gagalnya pendidikan etika di lembaga-lembaga pendididikan nasional selama ini yang ditengarai dengan meningkatnya tindak amoral dan asosial oleh anak didik kita, tidak pernah dikembalikan pada kurangnya perhatian terhadap pendidikan agama, sebagai pemeran utama pendidikan moral.

Tantangan

"Lembaga-lembaga pendidikan Islam, dalam menyikapi RUU Sisdiknas selayaknya memposisikannya sebagai tantangan untuk lebih serius mengembangkan secara sistematis sistem pendidikan mereka, sehingga mampu menjawab masalah-masalah pendidikan nasional selama ini ",  Demikian ungkap Muhammad Niam Mahasiswa Pascasarjana Internasional Islamic University Islamabad

Isu pluralisme yang sering dibenturkan dengan masalah agama, harus dijawab dengan komitmen mengembangkan semacam kurikulum baru dari perspektif agama yang mampu mengadopsi dan mengembangkan nuansa pluralisme keagamaan dan multikulturalisme pendidikan.

Isu pendidikan agama sebagai pemicu konservatisme yang menghambat kemajuan, juga harus dijawab dengan pengembangan metodologi sesuai standard pendidikan modern namun sarat dengan norma-norma keagamaan dan kemanusiaan. Memahami agama secara benar dan proporsional, tidak pernah menjadi penghambat bagi pengembangan ilmu peng