Nasional

4 Faktor yang Membuat Industri Hijau Jadi Kebutuhan di Indonesia

NU Online  ·  Rabu, 20 Agustus 2025 | 16:00 WIB

4 Faktor yang Membuat Industri Hijau Jadi Kebutuhan di Indonesia

Ilustrasi pemanasan global. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa transformasi menuju industri hijau merupakan kebutuhan mendesak, bukan sekadar pilihan. Menurutnya, ada empat faktor utama yang mempercepat akselerasi industri hijau di Indonesia, yaitu tuntutan konsumen global, pertumbuhan pembiayaan hijau, dorongan kebijakan pemerintah, dan mekanisme perdagangan internasional.


"Transformasi menuju industri hijau tidak boleh dianggap sebagai biaya, melainkan sebagai investasi masa depan. Negara wajib hadir untuk memastikan hal ini menjadi ekosistem yang nyata," ujar Menperin pada acara The 2nd Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS) 2025 dikutip NU Online, Rabu (20/8/2025) via kanal Youtube Kemenperin.


Agus memaparkan, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada triwulan II-2025 mencapai 16,92 persen, meningkat dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 16,72 persen. Pertumbuhan industri manufaktur juga tercatat 5,60 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,12 persen.


Selain itu, nilai ekspor industri manufaktur pada semester pertama 2025 mencapai 107,6 miliar dolar AS, atau sekitar 83 persen dari total ekspor nasional. Sektor ini juga menyerap lebih dari 19 juta tenaga kerja.


"Industri manufaktur tetap menjadi tulang punggung perekonomian, namun kita menghadapi tantangan baru yaitu bagaimana menjaga daya saing di tengah tuntutan transisi energi dan ekonomi hijau," jelasnya.


Empat Faktor Pendorong Industri Hijau

Menperin menyebut empat faktor utama yang mendorong akselerasi transformasi industri hijau.


Pertama, tuntutan Konsumen Global. Pasar internasional kini semakin selektif. Generasi muda konsumen cenderung memilih produk ramah lingkungan dengan jejak karbon yang jelas dan transparan.


"Jika produk dianggap tidak hijau, mereka tidak akan membelinya. Ini realitas pasar masa depan yang harus kita hadapi," kata Agus.


Kedua, Pertumbuhan Pembiayaan Hijau, Lembaga keuangan nasional maupun internasional kini memprioritaskan proyek-proyek dengan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Hal ini membuka peluang bagi industri yang siap berinovasi.


Ketiga, dorongan Kebijakan Pemerintah. Pemerintah telah menyiapkan peta jalan dekarbonisasi, insentif fiskal, kemudahan investasi, serta regulasi efisiensi energi. Semua ini dirancang untuk mempercepat transformasi industri menuju praktik hijau.


Keempat, Mekanisme Perdagangan Global, Regulasi internasional seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa menuntut produk berjejak karbon rendah.


"Semakin tinggi jejak karbon produk, semakin besar biaya masuknya. Jika tidak bertransformasi, produk kita tidak akan kompetitif di pasar global," tegas Agus.


Agus menambahkan, Indonesia telah mempercepat target netral karbon untuk sektor manufaktur dari tahun 2060 menjadi 2050. Hal ini sejalan dengan komitmen mengurangi emisi gas rumah kaca, di mana 33 persen berasal dari industri manufaktur.


Berbagai inovasi terus diuji, seperti penerapan teknologi Carbon Capture Utilization (CCU) yang mampu menangkap 65 persen emisi CO2 di proyek percontohan PT Petrokimia Gresik, hingga pemanfaatan mikroalga sebagai sumber energi alternatif dan bahan baku ramah lingkungan.


"Melalui model ekonomi sirkular, kita bukan hanya mengurangi emisi dan limbah, tetapi juga menciptakan nilai tambah ekonomi dan lapangan kerja hijau (green jobs)," ungkap Menperin.


Agus menekankan bahwa pemerintah bersama dunia industri akan terus membangun ekosistem industri hijau yang terintegrasi. Salah satu terobosan terbaru adalah pengembangan platform Industrial Sustainability Operation (ISO) untuk mempercepat adopsi teknologi hijau di berbagai wilayah Indonesia.


"Kita harus memandang industri hijau sebagai investasi untuk masa depan generasi penerus, bukan sekadar beban biaya. Inilah jalan agar Indonesia tetap kompetitif di pasar global sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan," pungkasnya.