Warta

Soal UU Migas, Putusan MK Berpihak Modal Asing

NU Online  ·  Selasa, 21 Desember 2004 | 10:29 WIB

Jakarta, NU Online
Pupus sudah upaya sebagian masyarakat untuk memperjuangkan pencabutan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang sudah diajukan ke Mahkamah Agung (MA) sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) terbentuk. Pada hari ini, Selasa (21/12), MK menolak tuntutan pencabutan UU Migas, dan hanya menerima sebagian permohonan uji materil atas UU Nomor 22 Tahun 2001 itu. 

Putusan MK ini mendapat sambutan keras dari karyawan PT Dirgantara Indonesia yang berunjuk rasa di depan kantor MK di Jalan Medan Merdeka Barat. Selain itu, sejumlah orang yang mengaku dari Masyarakat Peduli Migas (MPM) berteriak-teriak di ruang sidang mengecam Ketua MK Jimly Ashiddiqie. “Keputusan ini hasil kompromi dengan pemerintah,” teriak Koordinator Eksekutif MPM Eddy Syamsuri.

<>

Kekecewaan massa demonstran tersebut bisa dimaklumi, sebab, menurut  Pengamat Perminyakan Dr. Kurtubi, sumber masalah antara UU Nomor 20/2002  tentang kelistrikan dengan UU Nomor 22/2001 tentang Migas adalah sama yaitu keterlibatan swasta dalam perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Sehingga sangat aneh bila MK bisa membatalkan UU Kelistrikan pada 15 Desember, sementara UU Migas tidak. Seharusnya untuk subtansi persoalan yang sama, UU Kelistrikan bisa menjadi yurisprudensi.

“Substansi yang dipermasalahkan dari UU Migas ini adalah sama dengan UU Kelistrikan, yakni adanya benang merah yang sama-sama menerapkan Konsensus Washington, yakni liberalisasi dengan menerapkan prinsip  unbundling dan berusaha menghilangkan peran negara,”kata Kurtubi kepada wartawan di Jakarta, Selasa (21/22).

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK-UGM) Dr. Ir. Mochammad Maksum, tidak heran dengan keputusan MK mengenai UU  Migas. “Tidak usah heran, kasusnya hampir sama dengan pernyataan pemerintah tentang ketiadaan wewenang mereka terhadap kenaikan bahan bakar Elpiji yang disebutnya sebagai   bahan bakar orang elit, bukan hajat hidup orang banyak. Padahal, saat ini bahan bakar elpiji telah menjadi kebutuhan bukan hanya kalangan perhotelan dan penghuni apartemen mewah, melainkan juga kalangan pedagang kaki lima, bukankah itu hajat hidup orang banyak? ” kata Mochammad Maksum kepada NU Online, Selasa (21/12).

Apa boleh buat, MK hanya menyoal tiga pasal dalam UU No. 22/2002 tentang Migas yang dinilai bertentangan dengan Konstitusi. Dari ketiga pasal itu,  satu pasal dibatalkan, sementara dua pasal lainnya diminta untuk direvisi. Selanjutnya, MK menganjurkan kepada pembentuk undang-undang untuk mengamandemen undang-undang tersebut.

Pada bagian lain MK menolak permohonan uji formil. MK berpendapat, proses pembentukan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas telah memenuhi mekanisme yang berlaku di parlemen.

Tiga pasal yang dinilai bertentangan dengan Konstitusi adalah pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1, dan pasal 28 ayat 2 dan 3. Ketiga pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Pasal 12 ayat 3 yang memberi wewenang kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dinilai menghilangkan penguasaan negara. MK berpendapat, pasal ini sejauh kata-kata “diberi wewenang” bertentangan dengan UUD 1945

Pasal 22 ayat 1, dinilai MK, tidak menganut prinsip sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat seperti yang digariskan pasal 33 UUD 1945. Pasal 22 ayat 1 berbunyi, “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.”

MK menilai, prinsip sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam cabang produksi migas mengandung pengertian bukan hanya harga murah maupun mutu yang baik, tapi juga adanya jaminan ketersediaan bahan bakar minyak dan pasokan bagi seluruh lapisan masyarakat; MK menganggap kata-kata “paling banyak” dalam ayat tersebut harus dihapuskan.

Sementara, pasal 28 ayat 2 dan 3 seluruhnya dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut menyerahkan harga minyak pada mekanisme pasar. Dalam ayat 3 disebutkan, pelaksanaan kebijakan ini tidak mengurangi tanggung jawab pemerintah terhadap golongan masyaakat tertentu.

Menurut MK, seharusnya harga BBM dan Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang wajar.
.
Pemerintah berharap UU ini tidak dibatalkan. Sebab, UU Migas dibuat  sebagai upaya untuk memberikan kepastian hukum kepada calon investor hulu dan hilir migas yang akan masuk ke sektor tersebut di Indonesia. Apalagi beberapa kontrak investasi dengan pihak asing sudah ditandatangani yang mungkin dapat dibatalkan bila keberadaan UU ini dicabut. (dul)