Soal Budaya Nikah Siri di Rembang Pasuruan
NU Online · Selasa, 9 Maret 2010 | 11:57 WIB
Budaya nikah siri di Kecamatan Rembang Kabupaten Pasuruan memang sudah berlangsung sejak lama. Terus terjadi sampai saat ini seperti tiada putusnya. Tapi pemerintah, dalam hal ini Depag Kabupaten Pasuruan, mengaku sudah melakukan langkah-langkah untuk menekan bahkan menghilangan budaya tersebut.
Langkah yang diambil berupa sosialiasi melalui KUA di setiap kecamatan. Selain itu, Depag Kabupaten Pasuruan juga sudah melaporkan masalah tersebut ke Kementerian Agama RI. Hanya, untuk menghilangkan budaya nikah siri tersebut, tidak bisa instan. Perlu proses dan strategi.<>
"Yang jelas, Depag menganggap bahwa nikah di bawah tangan itu ke belakangnya sering menimbulkan kesengsaraan. Hal itulah yang kami sering suarakan kepada masyarakat," kata Munif Armuzah, Kasi Urais Depag kabupaten Pasuruan, Senin (8/3) .
Dia menjelaskan, rumah tangga pasangan yang pernikahannya siri, tidak dicatat oleh negara, masih termasuk kategori rumah tangga pra sakinah. Mengapa begitu? Sebab, kata Munif, apabila pasangan suami istri (hasil pernikahan siri) bercerai, wanita yang sering menjadi korbannya.
Ujungnya, pasca perceraian terjadi, anak dari pernikahan siri menjadi terlantar. Dan pihak perempuan atau istri, tidak bisa menuntut harta gono-gini yang semestinya menjadi kewajiban seorang suami untuk memenuhinya.
Nah, fenomena rumah tangga hasil nikah siri seperti diberitakan Radar Bromo kemarin, kata Munif termasuk kategori rumah tangga pra sakinah. Dan fenomena itu menjadi perhatian khusus Depag Kabupaten Pasuruan.
"Apa yang terjadi dengan fenomena budaya nkah siri di Rembang sudah kami laporkan ke Kementerian Agama RI. Bentuknya, Kementerian Agama sekarang sedang menyusun konsep untuk membuat program dana bergulir," kata Munif.
Dana tersebut nantinya akan diambil melalui APBN yang akan digunakan untuk menjalankan program peningkatan keluarga sejahtera pra sakinah. Program itu bertujuan menekan atau bahkan menghilangkan sama sekali budaya nikah siri di Rembang.
"Realisasi program ini sudah mulai kami jalankan. Salah satunya adalah seringnya Depag melakukan sosialisasi ke tempat-tempat atau daerah yang masyarakatnya sering melangsungkan pernikahan siri," lanjutnya.
Sosialisasi sendiri dilakukan dalam waktu sekali dalam seminggu. Tiap kali sosialisasi, Depag juga sering melakukan simulasi tentang bahayanya nikah siri. Misalnya tentang efek bola salju apabila seseorang dalam keluarga melakukan pernikahan siri. Termasuk mencontohkan suramnya masa depan anak apabila pernikahan siri berujung perceraian.
"Selama ini yang terjadi pada masyarakat kan bahwa pernikahan siri itu mampu merubah perekonomian. Mindset itulah yang berusaha kami hilangkan dari masyarakat. Kami merubah mindset bahwa menikah siri itu menambah barokah menjadi bahwa menikah resmi justru lebih baik," papar Munif.
Karena itu dalam setiap sosialisasi, Depag juga mengajak serta modin (penghulu). "Cara lain lagi kami juga mengajak serta kiai yang disepuhkan (dituakan) di daerah yang kami jadikan sasaran sosialisasi," kata Munif.
Walau lambat, sosialisasi itu menurut Munif tetap membawa hasil. "Perlu kami tegaskan, budaya nikah siri masih ada, tapi berkurang jumlahnya. Dibandingkan sekitar tahun 1990-an dengan tahun 2000, budaya nikah siri mulai berkurang sampai 80 persen banyaknya," kata Munif.
Yakinkah Depag budaya nikah siri di Rembang bisa hilang ? "Pasti bisa, tapi memang butuh waktu. Hanya untuk menghilangkan budaya tersebut, tidak hanya tugas Depag semata. Tapi juga fungsi pemerintahan yang lain," kata Munif. Pasalnya faktor ekonomi memang menjadi salah satu faktor penting seseorang memilih nikah siri.
Sebenarnya ada satu lagi yang masih dicarikan solusinya oleh Depag. Adanya budaya nikah siri di Rembang, sebenarnya juga terjadi karena bawaan dari masyarakat luar Pasuruan. Munif mengaku mendapati modus baru nikah siri di Rembang.
"Caranya ada laki-laki yang ingin menikah dengan seorang wanita. Tapi wanita itu bukan dari Rembang. Laki-lakinya yang membawa wanita tersebut dan mereka ingin menikah," katanya seperti dilansir Radar Bromo.
Karena khawatir pernikahan itu diketahui, akhirnya pernikahan dilakukan secara siri. Hanya saja karena tidak menemukan tempat untuk menikah, ahirnya pasangan itu lari ke Rembang karena di Rembang ada banyak orang yang bisa menikahkan seseorang. "Ini menjadi modus baru. Dan itu yang masih kami atasi permasalahannya," kata Munif.
Tak jarang, menurutnya, di Rembang banyak ditemukan kendaraan berplat nomor luar daerah. Di Rembang, mereka hilir mudik mencari seseorang yang menjual jasa yakni bisa menikahkan mereka.
Untuk mengatasi hal itu, Depag juga mencari jalan keluarnya. Caranya adalah menggandeng petugas perangkat desa. "Mereka kami beritahu bahwa apabila menemukan seseorang yang ingin menikah, lebih baik ditolak. Karena itu menyalahi prosedur," papar Munif.
Tak ayal Depag pun juga sering menempelkan stiker yang isinya menentang nikah siri. "Stiker-stiker itu kami cetak ribuan lembar dan kami tempelkan di rumah-rumah warga. Pesan yang ada di dalam stiker itu menyebutkan bahwa nikah siri itu tidak memiliki hukum tetap dan menyusahkan keturunan," terang Munif.
Berhasil? "Sementara ini baru penegasan. Tapi dalam waktu dekat, Depag akan membagikan buku yang pembuatannya sedang dalam proses. Dalam buku itu akan memaparkan secara jelas tentang bahaya nikah siri. Jika selesai, buku-buku itu akan kami bagi secara gratis," kata Munif.
Siapa saja sasaran pembagian buku tersebut? Kata Munif, mulai dari siswa-siswa sekolah sampai masyarakat yang tersebar di 16 desa di Kecamatan Rembang. (ful)
Terpopuler
1
Santri Kecil di Tuban Hilang Sejak Kamis Lalu, Hingga Kini Belum Ditemukan
2
Pastikan Arah Kiblat Tepat Mengarah ke Ka'bah Sore ini
3
Sound Horeg: Pemujaan Ledakan Audio dan Krisis Estetika
4
Perbedaan Zhihar dan Talak dalam Pernikahan Islam
5
15 Ribu Pengemudi Truk Mogok Nasional Imbas Pemerintah Tak Respons Tuntutan Pengemudi Soal ODOL
6
Operasional Haji 2025 Resmi Ditutup, 3 Jamaah Dilaporkan Hilang dan 447 Meninggal
Terkini
Lihat Semua