Warta

Riyadlah dan Khalwat Jamaah Thariqat Naqsabandiyah Padang (1)

Sen, 23 Agustus 2010 | 08:43 WIB

Padang, NU Online
Dalam ajaran tasawuf, riyadlah berarti latihan kerohanian dengan menjalankan ibadah dan menundukkan keinginan nafsu syahwat. Menurut kalangan penempuh jalan tasawuf, riyadlah dalam arti tersebut pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW.

Ketika berkhalwat di Gua Hira' Nabi melatih diri, mengasah jiwa, berzikir, merenung, memperhatikan kejadian alam dan susunannya, serta memperhatikan segala keadaan masyarakat yang penuh kejahilan dan kerusakan dalam berbagai aspek kehidupan.<>

Keadaan masyarakat tersebut menimbulkan keprihatinan Nabi yang sangat mendalam. Kemudian datanglah wahyu yang dibawa oleh malaikat Jibril, setelah menjadi rasul, beliau tetap menjalankan riyadlah, melawan hawa nafsu (mujahadah) dan tekun beribadat seperti melakukan Shalat Tahajud sampai larut malam, sehingga kakinya membengkak.

Ketika ditanyakan Aisyah, istrinya, mengapa beliau beribadat sekuat itu, Nabi menjawab, bahwa ia ingin mejadi hamba Allah SWT yang bersyukur, bukan karena ingin diampuni dosa-dosanya (HR Ahmad bin Hanbal).

Riyadlah dalam tasawuf ada dua macam, yaitu riyadlah badan dan riyadlah rohani. Riyadlah badan dilakukan oleh seorang sufi atau pengamal tarekat dengan jalan mengurangi makan, mengurangi minum, mengurangi tidur dan mengurangi berkata-kata. Riyadlah rohani biasanya melalui ibadah, seperti senantiasa dalam keadaan berwudluk, rajin melakukan shalat (baik fardu maupun sunnah), dan rajin mengamalkan zikir dan aneka ragam wirid.

Adapun riyadlah yang dilakukan para penganut Tarekat Naqsabandi, berbeda-beda, sesuai dengan tarekat yang dianutnya. Riyadlah dilakukan untuk dapat dekat dan berma'rifat kepada Allah SWT. Hal ini dilakukan secara bertahap sesuai dengan kekuatan bathin masing-masing. Seseorang yang akan melakukan riyadlah diharuskan untuk terlebih dahulu mempersiapkan kesucian lahiriah melalui iman, Islam dan ihsan.

Ia harus pula memahami dengan sebaik-baiknya apa yang dimaksud dengan rukun iman, pengetahuan mengenai sifat-sifat Tuhan yang wajib dan jaiz, yang mustahil dan yang mungkin, serta pengetahuan tentang nubuat dan yang berhubungan dengan nabi-nabi, seperti sifat-sifatnya, mukjizat dan syafaatnya.

Selain itu, juga pengetahuan mengenai malaikat, kitab suci, hari kiamat, dan qada serta qadar. Ia juga harus mengamalkan ajaran Islam yang wajib, seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan, dan berupaya memahami hikmah-hikmah dari ibadah itu. Ia melakukan segala sesuatu dengan ikhlas kepada Allah SWT. (Damanhuri)