Warta

Rakyat Iran Anggap Ancaman AS Sebagai Lelucon

NU Online  ·  Senin, 7 Februari 2005 | 11:26 WIB

Teheran, NU Online
Di balik kerasnya perang kata-kata antara Washington dan Teheran, rakyat Iran terlihat tidak menganggap serius kemungkinan Amerika Serikat menyerang negeri para mullah itu. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai lelucon belaka.

"Mari kita makan sebelum Amerika menyerang," kata Saeed Kousha, penerjemah bahasa, kepada rombongan wartawan Indonesia saat masuk ke sebuah restoran Cina di pusat kota Tehran. Tentu saja, Kousha tidak sedang serius. Ia sedang bercanda dan mentertawakan rencana AS untuk menyerang Iran.

<>

Presiden AS, George W Bush dalam pidato kenegaraan pada 2 Februari 2005 telah menyalakan sinyal pre-emptive strikes terhadap Iran. Pernyataan itu dibaca sebagai isyarat negara tersebut untuk mencari sasaran baru, setelah memprorak-porandakan Irak.

Untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah, Bush menegaskan AS harus melakukan konfrontasi dengan rejim yang dianggap di luar aturan (outlaw regimes) karena mendukung terorisme dan memiliki senjata pemusnah massal seperti Iran. Namun menurut Kousha, AS mustahil menyerang Iran.

"Kami sudah sering mendengar ancaman itu selama 26 tahun. Kami bangsa Iran, bukan Irak. Amerika akan sebodoh keledai jika menyerang kami," kata lelaki berkumis tebal itu dengan penuh percaya diri.

"Sudahlah, jangan terlalu banyak bicara hal-hal yang 'nonsense'," katanya lalu menganjurkan agar omongan dan retorika pejabat-pejabat AS tidak perlu selalu dipercayai. "Mereka itu pembohong yang sedang mabuk," ujarnya mengibaratkan.

Kata-kata keras dan serapah terhadap pemimpin AS adalah hal yang lumrah terdengar di Iran. Apalagi pada saat-saat genting seperti sekarang dimana para pejabat AS dan Iran tengah terlibat perang kata-kata dan perang jiwa yang panas.

Berlangsung Normal

Namun, dibalik ancaman tindakan militer AS dan retorika keras Presiden Bush, kehidupan berlangsung normal di Ibukota Iran yang berpenduduk 14 juta jiwa.

Restoran-restoran tetap dipenuhi pengunjung, toko-toko dan mal tampak luar biasa ramai, jalanan macet melebihi Jakarta, dan warga pergi bekerja seolah tidak ada sesuatu yang luar biasa yang bakal terjadi terhadap Iran.

Minggu malam, festival musik internasional berlangsung dan warga Teheran yang terkenal memiliki cita rasa budaya tinggi berbondong-bondong menyaksikan pagelaran kesenian itu.

Meskipun acara tersebut dihadiri Presiden Iran Mohammad Khatami, tidak kelihatan penjagaan yang ketat. Sangat ironi, pada saat Bush gembar-gembor untuk menyerang Iran, Khatami masih sempat menikmati pertunjukan kesenian.

"Kehidupan harus tetap berlangsung. Ancaman Amerika tidak harus membuat kita terkurung di rumah dan bersembunyi di bawah meja. Rakyat kami tidak takut dengan rencana serangan Amerika," kata Mohammad Hosein Khosvaght, Dirjen Pres dan Media pada Kementerian Budaya dan Bimbingan Islam.

Komandan Korps Penjaga Revolusi Islam Iran, Rahim Safavi, mengatakan ancaman serangan AS hanya gertak sambal. Ia sangat yakin AS tidak akan berani melancarkan serangan terhadap Iran.

"Para pemuda pendukung revolusi Iran, kaum wanita dan lelaki, dan rakyat kami akan mempertunjukan respon keras terhadap ancaman AS. Mereka akan melakukan demonstrasi massal pada peringatan ke-26 kemenangan Revolusi Islam Iran (terhadap rezin Shah Iran yang didukung AS)," katanya.

Sekitar dua juta orang akan berkumpul di Tehran pada 10 Februari 2005 untuk memperingati tonggak sejarah jatuhnya rejim boneka AS di Iran. Revolusi Islam Iran yang bangkit tahun 1979 telah menyebabkan badai politik yang merubah keseimbangan kekuatan AS di Timur Tengah, khususnya di Iran.

Menurut Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Iran, Hassan Rowhani, masa-masa dimana Washington menguasai Iran telah berlalu. Saat-saat dimana Dubes AS di Tehran memberikan perintah-perintah terhadap pejabat Iran dan bahkan memanggil mereka untuk memberi petunjuk, sudah lebih 20 tahun berlalu.

"Kini, bangsa Iran sendirilah yang memutuskan untuk dirinya sendiri. Kami tidak memerlukan lagi penjajah dan sebuah negara adidaya. Kami adalah bangsa yang berdaulat," tegas Rohwani.

Selalu Tegang

Hubungan Iran dengan AS selalu tegang. AS mendudukan rejim Shah Iran selama puluhan tahun setelah menggulingkan pemerintahan terpilih secara demokratis di bawah Perdana Menteri Mozadegh. AS dituding Iran sebagai "Setan Besar" dan sebaliknya AS menganggap Iran sebagai "Poros Kejahatan".

Sebagai bukti ketidaksukaan terhadap AS, pe