Warta

Radikalisme Lahir Dari Ketidakadilan

NU Online  ·  Rabu, 8 Oktober 2003 | 04:18 WIB

Jakarta, NU.Online
Radikalisme timbul dari dua sumber permasalan. Pertama, masalah politik. Politik dalam arti ketidakadilan. Disini kepentingan politik bermain untuk memanfaatkan orang-orang yang terpinggirkan direkrut untuk melakukan radikalisme, para pemain politik itu lalu mencari keuntungan dari radikalisme. Kedua, masalah ekonomi. Tidak adanya pemerataan ekonomi membuat orang miskin frustasi. Lalu mereka bisa melakukan apapun demi uang, demikian ungkap mantan Menteri Agama Dr. Tarmizi Taher kepada NU.Online

Radikalisme agama bisa terlahir dari hasrat politik segelintir elite kelompok masyarakat agama, dan kelompok-kelompok yang mudah frustasi, bukan hanya dari masyarakat agama itu sendiri."segelintir orang yang apriori melihat persoalan dan menganggap dirinya benar inilah problem yang sering memicu," jelasnya.

<>

Lebih jauh ia mengungkapkan pemahaman agama yang keliru juga menjadi salah satu sebab. Tapi orang yang salah memahami ajaran agama tersebut dimanfaatkan oleh kelompok tertentu demi kepentingan dan tujuan tertentu pula. Makanya mereka merekrut orang-orang yang bisa dibodohi. "Jadi tindakan seperti Imam Samudra dan kawan-kawan itu suatu tindakan kegoblokan," paparnya.

Namun muatannya tetap kepentingan politik. "Saya tegaskan bahwa tidak ada kaitannya teroris dengan agama,  Surat Al Maida ayat 30  mengatakan, siapa yang membunuh tanpa nasab atau qisas sama dengan membunuh manusia seluruhnya jadi betapa kerasnya Allah memperingatkan soal membunuh tersebut," ungkap Tarmizi.

Karena itu dalam agama manapun, masyarakat baru bisa melakukan peran politiknya apabila telah tumbuh kedewasaan beragama, salahsatunya kedewasaan untuk menerima perbedaan. Sehingga, kultur dan mental politik betul-betul mencerminkan ruh agamanya, bukan radikalisme buta.
 
Tujuan itulah yang hendak dicapai, yakni sebuah proses pendewasaan. Bagi NU dan Muhamadiyah yang sudah berusia hampir 100 tahun dan telah mengalami pahit getirnya dalam berdakwah. "Jadi NU dan Muhamadiyah harus juga bertanggungjawab secara moral atas fenomena radikalisme yang semakin tampak. Memang mereka jumlahnya kecil dan tidak dikenal masayarakat dan sering melakukan tindakan yang aneh-aneh, tapi melalui gerakan dakwah yang sinergi keduanya bisa mencegah radikalisme yang lebih parah. Mereka kan sering mengaku sebagai kelompok yang paling benar dalam membela Islam. Inilah yang menjadi PR besar bagi NU dan Muhammadiyah," tegasnya

Untuk ini dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah pada 13-15 Oktober 2003 akan menyelenggarakan Jakarta International Conference (JIC) di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta. Lebih dari 100 ulama dan tokoh agama se-ASEAN akan hadir dalam pertemuan tersebut.

Penyelenggaraan atas kerjasama Lembaga Dakwah NU dengan Majelis Tabligh Dawah Khusus Muhamadiyah itu, diantaranya akan membahas strategi dakwah dalam menghadapi fenomena maraknya radikalisasi agama.  Rencananya, acara tersebut akan dibuka oleh Presiden Megawati  (Cih)