Warta

PMII Perlu Membangun Sikap Kesetaraan

NU Online  ·  Senin, 22 Maret 2004 | 09:49 WIB

Jakarta, NU.Online
Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan era Gus Dur, Dra Khofifah Indar Parawansa mengingatkan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) agar membangun sikap kesetaraan dalam berkomunikasi sehingga mereka memiliki jaringan yang luas.

"Kita ini tidak bisa mempertahankan sikap patronase, karena kalau hal itu dibiarkan, maka akan berimplikasi pada adanya jarak, terutama antara alumni dengan kadernya atau antara elit dengan masanya," katanya saat berbicara pada acara temu alumni PMII di Surabaya, Senin (22/3).

<>

Pada acara yang juga dihadiri pengamat sosial keagamaan, Dr H Ali Haidar itu, Khofifah yang juga mantan aktivis PMII mengemukakan, dirinya menilai bagus atas sikap yang ditunjukkan para aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan alumninya yang selalu membangun komunikasi dalam kesetaraan.

"Saya ini dulu sering bertemu dengan Ketua Umum PB HMI dan pengurus  Kohati daripada dengan pengurus PB PMII. Saya bisa ketemu dengan Ketua Kohati sampai lima kali. Jadi betapa mereka membangun komunikasi yang tinggi. Kita ini mungkin karena sungkan atau memang menjaga jarak," katanya.

Selain masalah sikap kesetaraan, Khofifah yang kini menjadi Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu juga menyoroti masalah kurangnya keperceyaan diri para aktivis PMII.

"Saya pernah datang ke suatu daerah bertemu dengan pengurus PMII dan HMI dalam hari yang sama. Ternyata beda sekali. Anak-anak PMII diam semua, tapi HMI sangat bagus," katanya.

Kemudian, Ketua Umum PP Muslimat NU itu juga menceritakan saat diselenggarakan pertemuan para aktivis mahasiswa di Singapura  dan aktivis PMII tidak pernah mengambil peran penting. "Cuma perlu diingat bahwa membangun percaya diri itu tidak asal percaya diri, tapi dengan meningkatkan kualitas dan kapabilitas kader," katanya.

Pada pertemuan yang digagas PMII Cabang Surabaya itu juga mengemuka kritikan terhadap budaya di lingkungan pesantren yang dinilai kurang kondusif untuk pengembangan NU ke depan, misalnya budaya patronase.(par/cih)