Warta

Pesan NU-Muhamadiyah Kepada Barat

NU Online  ·  Rabu, 15 Oktober 2003 | 09:40 WIB

Jakarta, NU.Online
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi massa berbasis umat Islam terbesar di Indonesia menyampaikan bahwa radikalisme dan teroris bukan bentuk seteru Timur dan Barat, khususnya bukan tubrukan Islam dengan Barat, demikian salah satu butir Keputusan Jakarta International Conference (JIC) dua organisasi berbasis pendukung sekitar 80 juta orang yang disampaikan di Hotel Sari pan Pacific Jakarta, Rabu (15/10).

Karena sejatinya penyebab terjadinya radikalisme bukan berasal dari aspek agama atau tubrukan antara Islam dengan Barat tetapi kombinasi dari persoalan politik ekonomi dan sosial. Ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan juga memicu radikalisme. "Untuk itu kedepan mari hidupkan dan tumbuh kembangkan "mutual respect" antar umat dan budaya dalam era globalisasi dan kompetisi," ungkap wakil kedua lembaga yang membidangi dakwah, yang di wakili PP LDNU ( Lembaga Dakwah Nahdlatul'Ulama), KH. Nuril Huda dan Ketua MTDK (Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus) PP Muhammadiyah, Dr. KH. Tarmizi Taher.

<>

Selain itu juga diperlukan pemahaman kepada faktor-faktor dasar radikalisme dan harus terus dikaji secara mendalam serta tidak berstandar ganda. Kemudian NU-Muhamadiyah juga menyeru kepada pemerintah negara-negara maju, khususnya Amerika untuk menerapkan kebijakan politik dan sosialnya secara adil berkeadaban, khususnya rnenyangkut umat Islam internasional. Selain itu, meminta Amerika agar bertindak adil terhadap konflik Israel-Palestina.

Memang diakui sejak tragedi WTC 11 September 2001, disusul serangan ke Afghanistan dan terakhir tragedi Bali 12 Oktober 2002, hubungan antara Islam-Barat digambarkan memburuk. Tetapi, apakah dari hubungan Islam-Barat yang demikian buruk itu lalu bisa disimpulkan hubungan Islam-Kristen juga memburuk?,  tentu perlu kearifan dalam menilai karena harus dibedakan ruang agama dan politik, sebab esensi keduanya berbeda dalam realitas. Artinya harus bisa menarik garis tegas antara Barat dan Kristen.Timur dan Islam. Memang, yang menyusun budaya Barat serta mayoritas umat yang ada di Barat adalah Kristen, tetapi kekristenan tidak identik dengan Barat. Apalagi diketahui bahwa dalam kekristenan ada pemisahan yang tegas antara urusan agama dan politik, begitu juga Islam tidak berwajah tunggal. seperti cara pandang Barat yang stereo type.

Hal itu memang bukan omong kosong, sebagai ilustrasi, ketika mata kita terfokus pada tragedi WTC, lalu disusul serangan Amerika ke Afghanistan, Paus Yohannes Paulus II justru mengunjungi negeri muslim Kazakstan. Paus memimpin misa di Astana yang dihadiri 50 ribu orang.Yang mengherankan, 75% dari hadirin adalah umat Islam. Paus memuji kerukunan dan toleransi yang jujur di antara kedua umat di negeri itu (Fides 22/9/2001). Ketika Bush dan Osama sibuk bermanuver dan banyak orang terseret dalam skenario mereka, di Roma justru berlangsung Konferensi Islam-Kristen untuk mencari akar radikalisme dan terorisme. Yang hadir di antaranya cendekiawan muslim Yusuf Qaradawi dari Qatar, Ahmed Kamal Aboulmagd dari Universitas Kairo, Uskup Agung Syria Orthodoks Gregorios Iohanna Ibrahim, Kardinal Carlo Martini dari Milan dsb (CWNews.com 3/10/2001). Vatikan juga menggalang kerja sama serius dan terus-menerus sejak 1960 dengan Universitas Al-Azhar Mesir untuk memecahkan berbagai persoalan secara bersama seperti kependudukan, rasisme,dan sebagainya. Ini bukti di tingkat elite

Bukti lain yang tak kalah adalah meningkatnya populasi penduduk muslim di Eropa dan Amerika. Di Inggris ada 1,3 juta, Jerman 3,2 juta, Prancis 4,2 juta, dan Amerika 7juta. Kalau orang-orang Kristen di negara-negara itu tidak memberi toleransi, rasanya susah bagi muslim untuk bisa hidup wajar dan berkembang di sana. Bahkan di Inggris sudah ada muslim yang jadi wali kota, pemilik klub bola Fulham, stasiun tv muslim pertama justru memancar dari London. Beberapa pemerintah seperti Inggris dan Prancis bahkan sudah membuat badan untuk melindungi kepentingan muslim, seperti perlindungan dari tindak kebencian (The Economist, August 10-16 2002). Minat orang terhadap Islam, khususnya Quran juga meningkat tajam seiring dengan tragedi WTC. Jadi, dalam tragedi itu justru ada semacam blessing in disguise bagi Islam di Barat.

Hal-hal demikian ini penting untuk disampaikan, agar umat memiliki pemahaman yang berimbang bahwa radikalisme terjadi bukan faktor clash antar agama dan image buruk antara barat dan islam tidaklah sedemikian buruk citranya. Disamping itu memang diperlukan sikap yang adil dalam mengelola tatanan dunia kedepan baik bagi Barat maupun Islam untuk membangun peradaban baru. "Cara ini dilakukan karena Islam sebagai agama dakwah wajib disampaikan ajarannya kepada siapapun hanya saja, wajah Islam harus berwujud keadilan, damai, toleran, dan mernberi solusi pada problem kemanusiaan. Nilai-nilai itu harus dikedepankan dalam rangka membumikan misi islam yang rahrnatan lilalamin," Demikian KH. Nuril Huda (Cih)