Warta

Perilaku Korup Semakin Menggila

NU Online  ·  Jumat, 26 November 2010 | 23:30 WIB

Semarang, NU Online
Banyak pelaku korupsi telah dipenjara, ratusan wajah perampok uang rakyat telah dipajang di halaman media massa dan ditayangkan di televisi. Namun penyakit korupsi masih bercokol dan merajalela. Terus menggerogoti kekayaan dan wibawa negara.

Lebih dari itu, pelaku korup, keluarganya atau kerabatnya, bisa terpilih (kembali) menjadi anggota parlemen atau kepala daerah. Hal ini menunjukkan rakyat sudah tidak peduli dengan nasibnya sendiri. Per<>ilaku korup di negeri ini semakin menggila.

Demikian dinyatakan Budi Setyono, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, Semarang, dalam diskusi bertajuk "Evolusi Perjuangan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Memberantas Korupsi Di Indonesia”.

Diskusi diadakan oleh Pengurus Wilayah Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (PW LAKPESDAM) Jawa Tengah, di Kantor PWNU Jawa Tengah, jalan Dr Cipto 180 Semarang, baru-baru ini.

Ketua Umum Tanfidziyah PWNU Jateng, KH Muhammad Adnan dan Ketua PW Lakpesdam NU Jateng, Khoirul Anwar juga datang sebagai pembicara. Diskusi diikuti oleh pengurus NU, aktivis LSM, dana sejumlah wartawan.

”Selama ini kita baru menebang pohon beringin. Hanya pelaku korupsi yang kita hukum. Sementara pola pikir, dan sistem yang korup belum kita ganti. Akibarnya, sepeti sekarang ini. Kita tak beranjak dari predikat negara terkorup,” Kata Budi yang juga ketua Komisi Kebijakan Publik PWNU Jawa Tengah.

Budi Setiyono menguraikan, gerakan anti korupsi yang dilakukan oleh LSM seperti Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN), Jateng terkesan sendirian. Kurang terlihat dukungan dari elemen lain sehingga menjadi gerakan massif. Sementara dukungan moral dari NU dan Muhammadiyah yang sebenarnya cukup tegas dengan fatwa haram menyolati jenazah koruptor, kata Budi, belum tampak berhasil mengurangi korupsi.

"Yang membuat korupsi tidak beranjak sirna dari Indonesia, karena yang dilakukan selama ini baru sebatas menghukum pelakunya. Belum sampai mencabut akarnya," tegasnya.

Dijelaskannya, pelengseran Soeharto sebagai simbol kejahatan dan korupsi, ibarat hanya menebang pohon beringin. Sementara akarnya masih menghunjam dan menyebar di dalam bumi. Maka begitu ada hujan sedikit, meski gerimis, tumbuh lagi dahan dan daunnya. Para antek Soeharto dan penyokong Golkar bermetamorfosa menjadi seolah pendukung reformasi, lalu memasuki setiap lini partai maupun lembaga baru, sehingga tetap saja pola pikir, cara dan budaya yang ada di birokrasi masih korup sekali.

Ketua PW Lakpesdam NU Jateng, Khoirul Anwar, mengemukakan, selain faktor korupsi, rakyat Indonesia menderita karena sistem penganggaran yang tak pernah adil. Belanja negara selalu lebih banyak untuk aparatur. Distribusi kekayaan negara juga tidak pernah sampai pada rakyat. Semua warga negara masih harus membayar mahal untuk setiap layanan publik, dan tak ada kepastian hukum dalam memperoleh layanan itu.

Sedangkan Ketua Tanfidziyah PWNU Jateng Muhammad Adnan mengemukakan, NU tetap akan terus mendorong pemberantasan korupsi melalui jalur keagamaan, bersama semua elemen gerakan anti korupsi lain.

Saat ini, kata Adnan, NU telah mengeluarkan kitab fiqih anti korupsi dan diajarkan di seluruh sekolah dan madrasah yang ada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Maarif NU. Soal larangan menyolati jenazah koruptor yang telah dipidana juga tidak dicabut hingga kini.

”NU tetap konsisten tidak menyolati jenazah koruptor. Yaitu yang telah terbukti dan dipidana. Kami juga telah membuat kitab fiqih anti korupsi dan diajarkan di sekolah NU,” terangnya. (ikh)