Jakarta, NU Online
Akibat rendahnya kontribusi kredit sektor perbankan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi, perekonomian Indonesia menghadapi risiko menggelembung (bubble) atau kegagalan.
Penilaian yang disampaikan Guru Besar Columbia University, New York, Joseph E. Stiglitz di Denpasar, Bali baru –baru ini, bukan berarti pasti akan terjadi, asalkan perbankan nasional dapat menjalankan fungsi intermediasinya.
<>Sebab – sebab jalan tidaknya fungsi intermediasi (fungsi penyaluran kredit dari uang masyarakat yang ditabung di bank untuk dikelola dalam bentuk pinjaman kredit kepada para pengusaha) menjadi faktor penentu bubble tidaknya perekonomian nasional diungkapkan Stiglitz baru-baru ini dengan lugas. “Pertumbuhan ekonomi berasal dari sumber pembiayaan bank dan pasar modal yang apabila salah alokasi dapat mengelembung. Ini yang terjadi atas salah alokasi besar-besaran pada saat booming 1990-an,” paparnya.
Secara teknis, mantan Chief Economist Bank Dunia ini menyebutkan, bahwa perbankan dipilih sebagai andalan pembiayaan karena cara mengukur kelayakan kredit dapat diperhitungkan. “Ini jelas berbeda dengan pasar modal yang seringkali memberikan informasi salah akibat penyebaran yang tidak transparan.
Meski praktik-praktik manipulasi informasi (misleading information), maupun perdagangan orang dalam (insider trading) di pasar modal akan dikenai sanksi perdata dan pidana yang berat. Prakti-praktik tersebut acapkali masih sering terjadi, sedangkan sanksi pidananya tidak mudah diterapkan, apalagi bila seluruh manajemen dipenjarakan, bahkan perusahaan dikeluarkan dari pasar modal, tetap saja pemegang saham minoritas atau publik yang akan menjadi korban. Alhasil, manipulasi informasi, maupun perdagangan orang dalam di pasar modal merusak pasar itu sendiri.
Akibatnya seperti dikatakan Stigilitz, modal berdasarkan harga saham menjadi rentan karena kemungkinan tingginya volatilitas (ketidakpastian: Red.). “Perusahaan yang dikelola dengan baik pun akan menjadi hancur dengan sistem pembiayaan yang rapuh (dari pasar modal) akibat informasi tersembunyi itu,”tukasnya.
“Jadi semestinya itu bukan dinamakan sistem yang baik, tetapi perampokan,” tandasnya.
Menanggapi pernyataan Stiglitz yang disampaikan di dalam seminar internasional bertema "Banking Disintermediation dan Its Implication to Monetary Policy: Theoritical View and Country Experiences", di Legian, Denpasar, baru-baru ini. Menurut pengamat ekonomi politik dari Universitas Indonesia Dr. Andrinof A. Chaniago, risiko kegagalan, menggelembung atau bubble itu karena alokasi kredit diberikan kepada pihak yang tidak tepat. “Kegagalan perekonomian atau bubble itu bisa terjadi karena kredit diberikan kepada sektor-sektor yang menyerap kredit perbankan yang besar, seperti properti atau industri perumahan mengalami kebangkrutan,” jawab ekonom yang akrab dipanggil dengan Andrinof ini kepada NU Online, Senin (20/12).
Andrinof pun menambahkan, bahwa penyebab kebangkrutan sektor-sektor itu terkait dengan kebutuhan masyarakat yang saat pertengahan 1990-an masih terbilang rendah. Apalagi penjualannya kepada masyarakat dilakukan dengan manipulasi informasi. “Masyarakat yang memang belum punya dana untuk membeli rumah terpaksa harus mengagunkan SK (surat keputusan: Red.) dia sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di bank, karena mereka kebanyakan mendapat informasi kalau harga rumah tidak lama lagi akan melonjak berlipat-lipat. Padahal kondisi pasarnya sebenarnya tidak seperti itu. Bagaimana kredit perbankan tidak macet? “Kata Andrinof dengan nada retoris.
Selain dialokasikan untuk sektor properti, menurut Andrinof, perbankan juga mengalokasikan kreditnya untuk sektor yang dampak ekonominya terbatas pada sekelompok orang, seperti lapangan golf, pusat-pusat perbelanjaan atau mal. “Persoalannya akan lain, bila saat itu kredit perbankan lebih dialokasikan untuk mengembangkan sektor riil yang menyerap banyak pekerja, seperti pabrik-pabrik baru. Inilah yang coba diingatkan oleh Stiglitz tentang dampak buruk akibat kegagalan ekonomi bila sektor perbankan tidak segera memperbesar alokasi kreditnya untuk pengembangan sektor riil,” kata Andrinof seraya menyinggung rendahnya pengelolaan perbankan atas kredit dibandingkan dengan uang hasil spread alias keuntungan hasil penempatan di obligasi, atau suku bunga Bank Indonesia (SBI). (dul)
Terpopuler
1
Isi Akhir dan Awal Tahun Baru Hijriah dengan Baca Doa Ini
2
Data Awal Muharram 1447 H, Hilal Masih di Bawah Ufuk
3
Trump Meradang Usai Israel-Iran Tak Gubris Seruan Gencatan Senjata
4
Pengumuman Hasil Seleksi Wawancara Beasiswa PBNU ke Maroko 2025, Cek di Sini
5
Menlu Iran ke Rusia, Putin Dukung Upaya Diplomasi
6
Rudal Iran Serang Pangkalan Militer Amerika Serikat di Qatar
Terkini
Lihat Semua