Warta

PBNU Beda Pendapat dengan Fatwa Syeikh Qaradhawi Soal Alkohol

NU Online  ·  Jumat, 11 April 2008 | 09:21 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tak sependapat dengan fatwa yang dikeluarkan ulama Qatar, Syeikh Yusuf Qardhawi, yang menyatakan bahwa minuman berenergi yang mengeluarkan fermentasi 0,5 persen, halal diminum. PBNU menilai, halal atau haram ditentukan pada proses pembuatannya.

"Kalau cairan bebas alkohol dicampur dengan alkohol, sedikit pun itu tidak boleh," kata Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi di Jakarta, Jumat (11/4). Menurutnya, jika secara alamiah makanan atau minuman itu mengeluarkan alkohol akibat fermentasi, hal itu tidak masalah. Banyak makanan dan minuman yang secara alami berfermentasi seperti tapai.<>

"Kalau alamiah, itu boleh, seperti air tape. Alamiah itu tidak masalah. Tapi, kalau air mineral dicampur alkohol, itu yang tidak boleh," jelas Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur, itu.

Ia menyarankan dalam konteks minuman berenergi seperti difatwakan Qaradhawi, masyarakat harus betul-betul memperhatikan proses pembuatannya. "Cukup dilihat di prosesnya. Apakah ada semacam ramuan yang dicampurkan mengandung alkohol," pungkasnya.

Di tempat berbeda, Ketua PBNU KH Said Aqil Siroj berpendapat, fatwa tersebut tidak perlu diambil pusing. Masalah fatwa ini merupakan hal yang boleh diperdebatkan (khilafiyah). "Itu masalah khilafiyah. Kalau masalah khilafiyah banyak jalan keluarnya tergantung illat (akibatnya)," katanya.

Menurut Kang Said—begitu panggilan akrabnya, fatwa minuman beralkohol ini harus dipahami secara komprehensif, termasuk pemahaman yang utuh terhadap figur Syeikh Qardhawi sebagai penganut mazab Imam Hanafi, yang mengedepankan kelonggaran dalam urusan pribadi.

"Beliau, kan, penganut mazhab Hanafi yang selalu menekankan pada analogi. Bahkan menurut mazhab Hanafi, bir dan arak itu bisa untuk bersuci (wudhu atau mandi junub), meskipun diminum haram. Tapi, untuk masalah sosial mazhab Hanafi dikenal sangat ketat," urai dia.

Said mencontohkan dalam mazhab Hanafi untuk masalah zakat, semua hasil bumi termasuk bayam harus dizakati. "Berbeda dengan Syafii yang hanya makanan pokok yang harus dizakati," kata Kang Said.

Selain itu dalam zakat maal, Hanafi sangat ketat. Setiap pendapatan harus dizakati langsung. "Kalau saya mendapatkan amplop Rp 10 juta, saat itu, harus keluar zakatnya. Berbeda dengan Syafii yang harus menunggu satu tahun (haulan)," imbuh dia.

Said menjelaskan, pada 1960-an NU pernah memutuskan bir yang biasa itu halal. Namun, dia lupa ketentuan bir yang halal itu berapa kadar alkoholnya.

"NU saja dulu pernah memutuskan bahwa bir itu halal tapi bukan bir hitam. Kalau itu, sih, haram karena banyak alkoholnya. Intinya, kalau tidak memabukkan, ya, tidak apa-apa, karena illat haramnya khamar itu memabukkan," pungkas dia. (dtc/rif)