Solo, NU Online
Nilai dan tradisi pendidikan pesantren sebagai ciri khas NU sekarang ini semakin dtinggalkan oleh warganya, warga NU malah memilih jalur pendidikan formal, akibatnya NU kehilangan arah dalam menentukan posisinya sehingga terkesan bersikap materialisme pragmatis. Pernyataan ini di sampaikan oleh pengamat NU dari Universitas Hamburgh, Marjani Gustiana Isya kepada NU Online, minggu (28/12) di arena muktamar.
Kondisi ini dapat di lihat dari perilaku para politisi NU yang semakin jauh integritas moralitasnya di dalam berpolitik. "Warga NU saat ini sedang mengalami pergeseran moral, saat ini dapat disaksikan bagaimana banyak oknum pengurus struktural NU, baik yang di NU-nya maupun di badan otonomnya (Banom) mencari kehidupan dengan berwasilah di NU. Bagi oknum itu, NU bukan lagi sebagai instrumen untuk mengabdi, beramal, dan beribadah sosial, tetapi sarana untuk mencari penghidupan yang lebih layak, " ujarnya memberi contoh.
<>Lantas mengapa kondisi ini terjadi?. Menurut mahasiswa S-3 Jurusan Islamic Studies, hal ini terjadi karena sejak reformasi 1998 lalu, NU menjadi komoditas yang sangat menjual. NU bisa dijual kepada politisi yang sedang butuh dukungan massa. NU juga bisa dimanfaatkan sebagai kendaraan politik untuk mengantarkan dirinya ke posisi jabatan-jabatan politik, baik di eksekutif maupun legislatif.
Selain itu, kata mahasiswa kelahiran Bandung Jawa Barat ini banyak aspek yang layak dijadikan pijakan. Salah satunya jelas faktor materialisme yang saat ini mewabah di benak manusia modern. Seperti halnya manusia modern pada umumnya, sejumlah oknum di NU juga telah menjadikan materi sebagai hal yang sangat penting dalam kehidupannya. "Banyak fakta di lapangan yang menunjukan sejumlah oknum di NU hidup dalam kemewahan harta. Memang, masih banyak pula yang hidup dalam kesederhanaan dan ketradisionalan seperti yang menjadi cap NU selama ini. Namun, rasanya, kian hari, jumlah mereka semakin terkikis," papar adik kelas Prof. Maskuri Abdillah ini.
Terkikisnya jumlah santri yang hidup dalam kesederhanaan dan ketradisionalan, katanya, salah satunya dipicu oleh perubahan orientasi pendidikan warga NU saat ini. Sebagian besar warga NU tidak lagi hanya puas dengan pendidikan di pesantren. Mereka sudah menjadikan perguruan tinggi sebagai bagian dari tahapan pendidikan yang harus dijalani. Dalam banyak hal, pergeseran itu jelas membawa manfaat. Tetapi, bersamaan itu, muncul pula beberapa efek yang di kemudian hari berdampak pada merosotnya moral sejumlah oknum di NU. Yakni, hilangnya kesederhanaan dan keikhlasan yang kemudian tergantikan oleh kemewahan dan sikap pragmatisme.
"Selama mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, para santri mulai bergaul dan mencicipi kemewahan dunia. Namun, dalam banyak kasus, perubahan pola hidup itu tidak diimbangi dengan skill yang memungkinkan untuk dijadikan mesin uang guna menopang perubahan tersebut. Itu terjadi karena untuk saat ini, kebanyakan santri masih terbatas menekuni ilmu-ilmu sosial yang notabene belum bisa mengantarkan mereka ke lahan-lahan basah," ujar Marjani.
Para sarjana seperti itulah, tambah Marjani yang saat ini mendominasi kepengurusan NU. Fenomena itu jelas berbeda dengan fenomena sekian puluh tahun lalu yang para elite NU rata-rata kiai jebolan pesantren. Sebagian kiai itu memang memiliki skill yang rendah. Namun, mereka bisa dan sudah terbiasa dengan kehidupan yang serba sederhana dan penuh keikhlasan. Sedangkan sekarang, skill rendah, tetapi gaya hidup tinggi. "Kesederhanaan dan moralitas itulah yang sekarang mulai terkikis," papar pengamat yang disertasinya membahas toleransi dan pluralisme NU dalam berbangsa dan bernegara .
Inilah, lanjutnya, salah satu perubahan penting yang harus dipikirkan para elite NU yang masih menghendaki NU menjadi jam’iyah diniyah seperti ketika didirikan. Muktamar kali ini harus bisa mencari formula, bagaimana pergeseran pendidikan di kalangan santri tersebut bisa membawa manfaat sebesar-besarnya bagi NU. Bukan malah malapetaka yang bisa menghancurkan NU ke depan.
"Harus disadari, eksistensi NU selama ini ditopang oleh adanya semangat pengabdian dan keikhlasan para pendiri dan pengurusnya. Jadi, tidak mustahil bila kedua unsur itu hilang, eksistensi di tengah-tengah masyarakat juga akan menghilang. Tentu, warga NU tidak menghendaki itu terjadi. Karena itu, upaya menegakkan kembali moralitas santri perlu dilakukan," demikian saran Marjani Gustiana Isya.(cih)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Larangan Pamer dan Bangga dengan Dosa-dosa
2
Khutbah Jumat: Membumikan Akhlak Nabi di Tengah Krisis Keteladanan
3
Pastikan Arah Kiblat Tepat Mengarah ke Ka'bah Sore ini
4
Khutbah Jumat: Sesuatu yang Berlebihan itu Tidak Baik, Termasuk Polusi Suara
5
Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 19 Persen, Ini Syarat yang Harus Indonesia Penuhi
6
Sejumlah SD Negeri Sepi Pendaftar, Ini Respons Mendikdasmen
Terkini
Lihat Semua