Mochammad Maksum: Cegah Kesewenang-Wenangan Kekuasaan Dengan Kontrol Publik
NU Online · Rabu, 2 Februari 2005 | 08:51 WIB
Jakarta, NU Online
Pernyataan Presiden Venezuela Hugo Chaves tentang Amerika Serikat dan negara imperialis lainnya yang sedang berusaha keras mendominasi ekonomi dunia, khususnya di Amerika Latin menunjukkan tingginya tingkat kesadaran Hugo akan bahaya imperialisme yang mengancam kehidupan rakyat Venezuela. Imperialisme yang masuk melalui isu Pemerintahan Demokratis dan instrumen Perdagangan Bebas itu pun ditentangnya habis-habisan. Berbeda dengan Indonesia, baik presiden maupun para menteri saat ini justeru tidak menyadari ancaman imperialisme melalui berbagai instrumennya terhadap masa depan rakyat.
Peringatan Hugo Chaves akan ancaman imperialisme, terutama dari Amerika Serikat yang disampaikan di tengah-tengah ribuan aktivis dalam Forum Sosial Dunia (World Social Forum/WSF) kelima di Porto Alegre, Brasil, 30 Januari 2005 baru – baru ini ditanggapi oleh Dr. Mochammad Maksum, Direktur Pusat Kajian Pedesaan dan Pembangunan Regional Universitas Gadjah Mada kepada NU Online, Rabu (2/02), sebagai pernyataan yang sama persis dengan kenyataan sesungguhnya.
<>“Kita bisa mengambil contoh sejak tatanan ekonomi dan politik diubah dari tatanan persaingan model kapitalisme negara menjadi kapitalisme persaingan bebas yang dilembagakan dalam organisasi GATT ( persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan) pada 1948 hingga berkembang menjadi WTO (organasisasi perdagangan dunia) pada pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1995 itu memang hakikatnya sangat dzolim, karena jelas-jelas menjajah, “ungkap Maksum.
Celakanya, lanjut Maksum, di manapun penjajahan ekonomi itu menancap, para pemimpin negara yang menjadi korban bukannya melawan seperti sudah ditunjukkan Hugo Chaves, melainkan semakin bergantung.
Jadi, kejadian apapun, kata Maksum, akan dimanfaatkan untuk menghisap kekayaan dan potensi negara berkembang, seperti ketika terjadi Perang Irak dan Bencana Tsunami di Aceh. “Ketika Amerika menyerang Irak dengan alasan demokrasi dan senjata pemusnah masal, ia dan negara-negara sekutunya ternyata bagi-bagi proyek rekonstruksi untuk kantor berita, kilang minyak, kota dan banyak sektor pendukung kehidupan lainnya,” ungkapnya.
Indonesia, ujar Maksum, ketika didera Bencana Tsunami pada 26 Desember lalu, ditawari bantuan macam-macam, termasuk keringanan hutang, anehnya keringanan dalam bentuk penundaan utang itu diterima dengan dibarengi hutang baru. “Ini kan berarti mereka yang telah menjadi cecunguk (agen-agen) Amerika Serikat telah menjual kesengsaraan rakyat untuk mencari dana-dana pinjaman yang jelas-jelas semakin membebani rakyat, apalagi dalam pemberian keringanan dalam CGI itu, hal-hal memberatkan yang diberlakukan negara-negara pemberi pinjaman itu tidak dijelaskan terhadap rakyat,” tandas Maksum.
Lebih dari itu, tambah Maksum, bantuan PBB siap dikucurkan bila para pejabat di dalamnya diberikan komisi sekian persen untuk nilai bantuan tertentu. Bukankah jelas, pada saat bencana pun, mereka tetap ingin memeras negara berkembang.
Fenomena sosial dan politik di Indonesia itu membuat Maksum enggan mengambil kegigihan kepemimpinan Hugo Chaves dalam melawan imperialisme AS dan konco-konconya hanya untuk melindungi rakyat sebagai contoh. “Ambil saja Malaysia sebagai contoh yang paling dekat, dan sangat keras menentang dominasi ekonomi AS dan negara-negara maju lainnya. Saat kepemimpinan Perdana Menteri Mahathir Muhammad, ia menolak meratifikasi APEC, kecuali dilakukan revisi pada beberapa klausul yang merugikan negara-negara berkembang,” kata Maksum.
Salah satu alasan yang membuat Mahathir enggan meratifikasi APEC saat itu, kata Maksum, adalah kenyataan adanya kesenjangan yang terlalu lebar antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Di mana negara-negara maju sudah bisa membuat teknologi jet, sementara negara-negara berkembang baru bisa membuat kereta api. Dengan kesenjangan atas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terlampau lebar itu, lanjutnya, Mahathir ragu bila pelaksanaan pasar bebas bisa berlangsung secara adil,” ujar Maksum.
Dan ketika Malaysia dibawa kepemimpinan Mahathir menolak meratifikasi APEC, kata Maksum, Indonesia dibawa kepemimpinan Soeharto justeru berada dalam barisan terdepan dari negara-negara berkembang untuk meratifikasi perjanjian APEC. Akibatnya, rakyat Indonesia saat ini paling merasakan penderitaan, khususnya kalangan petani dan industri yang selalu kebanjiran barang-barang murah. "Itulah hasil dari WTO, Indonesia enggan memproteksi sektor pertanian, sedangkan negara-negara maju maupun industri baru tengah gigih memproteksi sektor pertanian dan industri mereka," tegas Maksum.
Untuk mencegah kebobrokan dan penderitaan akibat kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – M. Jusuf Kalla yang bisa didikte oleh AS, maka, kata Maksum, diperlukan penguatan atas kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan kekuasaan. “Kontrol publik itu penting, agar kekuasaan saat ini tidak berbuat sewenang-wenang,” ujarnya. (Dul)
Terpopuler
1
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
2
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
3
Nota Diplomatik Arab Saudi Catat Sejumlah Kesalahan Penyelenggaraan Haji Indonesia, Ini Respons Dirjen PHU Kemenag
4
Houthi Yaman Ancam Serang Kapal AS Jika Terlibat dalam Agresi Iran
5
Menlu Iran Peringatkan AS untuk Tanggung Jawab atas Konsekuensi dari Serangannya
6
PBNU Desak Penghentian Perang Iran-Israel, Dukung Diplomasi dan Gencatan Senjata
Terkini
Lihat Semua