Warta

Madrasah Masih Dianggap Lembaga Pendidikan Kelas Dua

NU Online  ·  Senin, 30 Agustus 2004 | 14:08 WIB

Jakarta, NU Online
Madrasah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan kelas dua, tradisional, dan dianggap hanya sebagai lembaga pengajaran keagamaan saja. 

"Kondisi obyektif madrasah saat ini masih jauh dari yang diharapkan, citranya tidak terlalu bagus dan dianggap sebagai lembaga pendidikan kelas dua, tradisional, dan hanya mengajarkan keagamaan saja," kata Direktur  Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum Depag, Abdul Aziz di Jakarta, Senin.

<>

Menurut dia, hal itu wajar karena madrasah kebanyakan dibangun oleh individu atau masyarakat muslim yang didasarkan pada kesadaran keberagamaan serta melihat pentingnya ajaran agama kepada anak-anak generasi penerus, bukan oleh pemerintah.

Latar belakang peserta didik di madrasah, tambahnya, pada umumnya dari keluarga yang kelas ekonominya menengah ke bawah, bahkan banyak madrasah yang didirikan memang untuk menampung  fakir miskin dan  yatim piatu, sebagai lembaga sosial kependidikan.

Dikatakannya, status guru madrasah juga masih timpang, guru tidak tetap jauh lebih banyak dari guru tetap (PNS), selain itu, kualitas guru madrasah sendiri sebagian besar tidak berkualitas, "mismatch" dan kurang memenuhi standar kompetensi dan performa yang dibutuhkan, ditambah lagi gaji guru masih sangat kecil di bawah upah minimum regional (UMR). 

Karena itu, madrasah pun menghadapi persoalan yang cukup dilematis di bidang manajemen, misalnya dalam bidang kelembagaan,  kurikulum, perencanaan dan kepemimpinan, ujarnya.

Di bidang kelembagaan misalnya, karena madrasah 90 persen dikelola yayasan swasta, konsekuensinya, pengelola madrasah memiliki kemandirian atau otonomi yang amat besar dalam pengelolaan atau manajemen beberapa komponen pendidikan.

"Kepala madrasah seringkali berada pada posisi subordinasi dari pemilik madrasah, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya kemandegan dalam mengembangkan alternatif pemecahan persoalan di madrasah dan visi kepala madrasah itu sendiri terhadap pengembangan madrasah," ujarnya.

Dalam bidang keuangan, kepentingan pengelola menyulitkan manajemen keuangan madrasah. Ini terjadi karena biasanya kondisi keuangan madrasah  didukung penuh oleh pengelola madrasah, sehingga bantuan atau  dana untuk madrasah juga dikelola secara "proporsional" oleh pengelola madrasah.

Penyusunan rencana belanja biasanya dialokasikan untuk hal-hal yang bersifat rutin dan kurang dapat mengembangkan pembiayaan untuk hal-hal yang bersifat pengembangan madrasah. Dari segi kurikulum, menurutnya, para pendidiknya belum dapat menterjemahkan secara terpadu substansi materi yang terkandung dalam kurikulum. 

"Pembelajaran di madrasah terkesan ’yang penting materi pelajaran sampai kepada peserta didik’, padahal sudah saatnya pembelajaran berorientasi pada pengembangan potensi siswa. Selain itu pembelajaran belum terorganisir dengan baik, dari segi perencanaan, metodologi pembelajaran, dan evaluasi," ujarnya.

Perencanaan penyelenggaraan pendidikan di madrasah ujarnya, juga belum diorganisir dengan baik, terkesan tradisional, konvensional dan insidental dan belum mampu menetapkan perencanaan sesuai dengan prinsip manajemen. 

Masalah juga  menonjol di segi kepemimpinan karena kebanyakan pengelola madrasah kurang kuat dalam visinya dan menjadikan mereka sulit mengembangkan diri dengan mencari inovasi baru untuk meningkatkan performa akademik dan karakter siswa.(mkf/an)


Â