Warta

Lesbumi NU Miliki Potensi Kembangkan Film

NU Online  ·  Senin, 28 Februari 2011 | 05:42 WIB

Jakarta, NU Online
Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi NU) lahir dan besar oleh orang-orang yang bergerak dalam dunia film seperti Usmar Ismail, Asrul Sani dan Djamaluddin Malik.

Aspek kebesaran sejarah dan potensi jaringan serta besarnya jumlah warga NU ini bisa menjadi menjadi modal untuk membangkitkan kembali film Indonesia yang sesuai dengan visi dan nilai ke-NU-an.<>

Hal ini disampaikan oleh Alek Komang, aktor senior Indonesia, yang juga pengurus Lesbumi NU dalam diskusi di redaksi NU Online baru-baru ini.

“NU kaya, dalam pengertian, cabang-cabang ini tersebar dimana-mana, modalnya bukan hanya di satu orang. Ini kekuatan yang ngak bisa dipungkiri. Saatnya kita memberi harga dengan benar supaya lebih bermanfaat kekuatan ini,” katanya.

Upaya produksi dan penyebaran film-film karya Lesbumi, bisa dilakukan oleh komunitas NU, bekerjasama dengan komunitas perfilman yang banyak bertebaran di Indonesia. Kantor-kantor NU di berbagai daerah bisa dimanfaatkan untuk acara nonton bareng sekaligus diskusi.

Ia sangat yakin akan potensi itu, karena dalam berbagai kunjungannya ke daerah untuk menghadiri workshop perfilman, masyarakat sangat antusias mengikutinya. Sekitar 200-an orang bisa hadir dalam setiap acara.

“Saya punya satu pemikiran, kenapa film tidak dihidupkan dengan gaya berbeda. Selagi kita punya MWC, bisa menjadi biokosp studi. Menjadi forum untuk anak muda, untuk nonton film bersama, bayar, tapi yang jelas tidak seperti Cineplex. Sekarang dengan era digital, bisa lebih efisien, lebih gampang,” tandasnya.

Ia juga tak khawatir akan para pembuat film yang siap bekerjasama dengan NU yang dari Jakarta maupun yang dari daerah. Semuanya memiliki potensi untuk berkembang. Indonesia ngak perlu dikhawatirkan tentang adanya boikot film asing. Semuanya bisa dimulai dengan potensi yang ada sekarang.

“Yang ingin saya sampaikan disini, kita mestinya punya potensi yang sangat besar untuk bisa mandiri. Saya bisa memproduksi, pasarnya disini, marketnya disini. NU nantinya harus membentuk dewan kurator, film seperti apa yang sesuai,” tandasnya.

Alek yang juga aktif di Teater Populer ini menuturkan, runtuhnya perfilman Indonesia salah satunya disebabkan oleh persaingan bisnis, yang lebih mengutamakan produksi film asing sehingga karya-karya sineas Indonesia kurang mendapat tempat. Produksi film dapat mencapai break event point atau balik modal ketika ditonton oleh 400 ribu orang, dan bagi NU, jumlah tersebut bukanlah hal yang besar. (mkf)