Kurangi Beban APBN Dengan Membatalkan UU Migas Tahun 2001
NU Online · Sabtu, 21 Agustus 2004 | 09:06 WIB
Jakarta, NU Online
Untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi, dan mencegah berlanjutnya peningkatan volume impor minyak bumi, maka sudah semestinya Undang Undang Migas No. 22 th. 2002 dibatalkan, sedangkan Undang Undang Pertamina No. 8 th. 1971 dihidupkan kembali, tentu dengan amandemen di beberapa pasalnya.
Demikian kesimpulan hasil wawancara NU Online dengan Pengamat Perminyakan Universitas Trisakti Bachrawi Sanusi mengenai asumsi produksi minyak RAPBN 2005 dan perbandingan volume ekspor dan impor minyak dan gas bumi Indonesia, Sabtu (21/8)
<>Menurut Sanusi, bukan hanya asumsi harga minyak dalam RAPBN 2005 yang tidak masuk di akal, melainkan juga volume produksi minyak nasional dalam satu hari yang direncanakan targetnya 1,125 juta barrel.
Apa yang diungkapkan pengamat perminyakan yang juga mantan salah satu pendiri lembaga perekonomian PBNU tersebut memang bukan isapan jempol belaka. Sebab menurut Direktur Eksplorasi dan Produksi, Ditjen Migas, Novian M. Thaib, pada APBN 2004, produksi minyak Indonesia mengalami penurunan jauh di bawah volume yang ditargetkan dalam APBN periode itu. Berdasarkan data pemerintah, produksi minyak mentah per Januari 2004 ini hanya 981 ribu barel per hari. Padahal target APBN sebesar 1,2 juta barel per hari.
Dia mengatakan, rata-rata produksi minyak tahun 2004 adalah 1,124 juta barel per hari. Volume itu sudah termasuk produksi kondensat sebesar 143 ribu barel per hari. Itu artinya produksi minyak mentah hanya sebesar 981 ribu barel per hari.
Menurut Sanusi, volume produksi sebesar 1,124 juta barrel per hari tersebut harus dikurangi juga dengan 35 persen bagian dari kontraktor asing.
Jika target volume produksi minyak pada tahun anggaran 2004 sudah meleset, maka pada tahun anggaran 2005 diperkirakan akan mengalami hal yang sama. Sebab menurut Sanusi, total konsumsi minyak di dalam negeri sudah mencapai lebih dari 1 juta barrel per hari.
“Meskipun target produksi minyak dalam RAPBN 2005 mencapai 4 juta barrel per hari lebih besar dibanding tahun sebelumnya, tetapi produksi BBM dalam sehari masih jauh dari yang ditargetkan,”ungkap Sanusi.
“Rumus untuk menghitung total produksi minyak nasional dalam sehari kan sederhana, berapa jumlah produksi minyak mentah ditambah kondensat dan dikurangi 35 persen bagian dari kontraktor asing,”papar Sanusi.
“Jika target produksi sebesar 1,125 juta barrel bisa tercapai maka harus dikurangi 35 persen bagian dari kontraktor asing, sehingga produksi minyak nasional menjadi 731.250 barrel per hari, sedangkan bagian kontraktor asing 393.750 barrel per hari,”hitung Sanusi.
Dengan demikian, kata Sanusi, jika total produksi minyak dan kondensat sebelum dikurangi 35 persen bagian kontraktor asing harus mencapai 1.518.750 barrel per hari. Karena kalau tidak bisa, maka target produksi minyak dalam RAPBN 2005 hanya akan mencapai 731.250 barrel, dan itu berarti penerimaan negara yang diharapkan dalam RAPBN 2005 dari sektor bukan pajak, termasuk di dalamnya dari minyak dan gas bumi tidak akan bisa mencapai 79,6 triliun. Sementara, negara juga harus menyediakan biaya impor BBM, sebab konsumsi BBM dalam negeri sudah mencapai lebih dari 1 juta barrel per hari.
Agar produksi minyak nasional bisa mencapai target, tanpa harus mengimpor, kata Sanusi, disamping harus membatasi volume peredaran kendaraan bermotor, pemerintah juga harus membatalkan permberlakuan Undang Undang Migas No. 22 th. 2002. Karena Undang Undang Migas tersebut telah memindahkan kuasa tambang dari Pertamina ke Badan Pelaksana, yang meskipun netral tetapi justru memangkas kemampuan produksi Pertamina sebagai perusahaan nasional, sehingga menurunkan pula kemampuan negara dalam memproduksi BBM dalam negeri.
“Kalau Pertamina yang diberi kuasa sebagaimana diberikan dalam UU No. 8 th. 1971 yang sistemnya dicontoh Malaysia dan mampu membesarkan Petronas, maka tidak perlu kontraktor asing berlama-lama mengontrak eksplorasi pertambangan, karena Pertamina memiliki kemampuan yang sama untuk kinerja pertambangan minyak,”kata Sanusi.
Sanusi juga menambahkan, bahwa keberadaan Badan Pelaksana sebagai kuasa pertambangan pengganti Pertamina, meskipun netral, justru menumpulkan kemampuan negara dalam mengontrol peningkatan produksi minyak dan pendapatan di sektor minyak dan gas bumi. Lebih dari itu, netralnya Badan Pelaksana sebagai pemegang kuasa pertambangan di tanah air pasti memicu KKN, dan itu justru menguntungkan perusahaan perminyakan asing.
Karena itu, Sanusi mengusulkan, agar UU Migas diganti saja dengan UU Pertamina No. 8 th. 1971. “Tentu menghid
Terpopuler
1
Menyelesaikan Polemik Nasab Ba'alawi di Indonesia
2
Mahasiswa Gelar Aksi Indonesia Cemas, Menyoal Politisasi Sejarah hingga RUU Perampasan Aset
3
Rekening Bank Tak Aktif 3 Bulan Terancam Diblokir, PPATK Klaim untuk Lindungi Masyarakat
4
Hadapi Tantangan Global, KH Said Aqil Siroj Tegaskan Khazanah Pesantren Perlu Diaktualisasikan dengan Baik
5
Israel Tarik Kapal Bantuan Handala Menuju Gaza ke Pelabuhan Ashdod
6
Advokat: PT Garuda dan Pertamina adalah Contoh Buruk Jika Wamen Boleh Rangkap Jabatan
Terkini
Lihat Semua