Warta

Kredibilitas Fatwa dan Pemberi Fatwa Perlu Diuji

NU Online  ·  Ahad, 1 Februari 2009 | 07:49 WIB

Yogyakarta, NU Online
Baru-baru ini Indonesia digetarkan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan yoga, rokok dan Golput sebagai hasil sidang MUI Nasional di Padang panjang yang berakhir 25 Januari 2009 lalu.

Tiga hal itu bagi para pemeluknya yang massif sebagai sesuatu yang diyakini kemanfaatannya. Tentu fatwa itu merupakan problematika tersendiri bagi efektifitas sebuah fatwa, belum lagi kalau dkaitkan dengan sistem pendukung dan gerbong yang populasinya lebih besar.<>

Ketua PWNU Yogyakarta M Maksum menyatakan keandalan fatwa yoga, rokok dan golput harus diuji  sekaligus bersama-sama dengan pengujian lembaga fatwanya.

“Keandalan produk fatwa adalah kredibilitas lembaga fatwa itu sendiri dan sebaliknya ketika fatwa-fatwanya memiliki keandalan terbatas, maka lembaga itupun menjadi tidak kredibel dan mubadzir  keberadaannya, wujuduhu kaadamihi (adanya menjadi nihil) ini payah naudlubillah,” katanya kepada NU Online, Ahad (1/2).

Dijelaskannya, untuk  melihat fatwa MUI ini, harus dipilah dalam beberapa tingkatan. pertama dari tingkat substansi isu, apakah itu menyangkut persoalan-persoalan yang amat jelas atau kontroversial, terutama menyangkut implikasi dari butir-butir fatwa itu. “Kelebaran fikih sangat memerlukan kebijakan sendiri untuk berfatwa, karena potensi munculnya dissenting opinion (opini yang berbeda),” terangnya.

Kedua, berkenaan dengan akseptabilitas publik. Tentu ini terkait dengan preferensi sistem sosial pada masyarakat mana fatwa itu harus diberlakukan. Ini menyangkut beragam perspektif, termasuk didalamnya adalah kepentingan, kehidupan dan pilihan yang marjinnya teramat lebar.

Tinjauan ketiga berkenaan dengan efektivitas dan potensi efektivitas sebuah fatwa. Ini penting diproyeksikan karena  aspek ini terkait sangat erat dengan keidibilitas sebuah lembaga fatwa itu sendiri.

Saat fatwa itu sendiri dapat diterima oleh masyarakat, persoalan lain pun masih muncul pada tataran implementasinya di lapangan. Masalah ini muncul pada sistem kendali lembaga yang bertugas melaksanakan fatwa dan sistem pengaman kebijakan, bukan fatwa itu sendiri.

Kalau acceptable dan itupun tidak perlu menunggu kredibilitas lembaga mufti, pembuat fatwa, atau bahkan dokumen fatwanya,

“Ketika irigasi kacau, pupuk menguap, raskin menjadi rasnguk, kambing berubah menjadi cempe dan sebagainya yang dipersoalkan hanya sistem kendali lembaga sebagai pelaksana dan sistem pengaman kebijakan, sama sekali bukan fatwanya,” tandasnya.

Negeri Fatwa


Profesor Ahli Pertanian di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini berpendapat republik ini memang diwarnai oleh terlalau banyak fatwa. Fatwa tersebut tentu tidak terbatas pada fatwa yang bersifat religius. Dalam kenyataannya tidak sedikit dari fatwa tersebut  yang nihil besar tidak memiliki efektivitas memadai, berkisar dari fatwa ekonomi, sosial bahkan sampai pada fatwa ketahanan dan kesatuan.

Ia mencontohkan fatwa pembangunan irigasi yang nyaris tersentralisasi ulang ke pemerintah pusat berdasarkan Fatwa UU No 7 tahun 2004 juga tidak pernah efektif karena kinerja sistem irigasi yang mayoritasnya terlanjur tersentralisasi ternyata makin mangkrak, merosot tajam fungsinya. (mkf)