Warta

Korban SUTET Tingkatkan Perlawanan

NU Online  ·  Selasa, 24 Juni 2003 | 15:27 WIB

Jakarta, NU.Online
Aksi perlawanan atas dilintasinya pemukiman warga di delapan desa korban SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) PT PLN (Persero) di tiga kecamatan yakni Rumpin, Kemang dan Ciseeng, Kabupaten Bogor, hingga Selasa masih terus berlangsung.

Dalam aksi lanjutan pada hari Senin (23/6) lalu, ratusan warga Desa Jampang Pintu Air membakar lima buah ban bekas yang menandakan dimulainya ’perlawanan’ secara fisik terhadap PT PLN (Persero).
    
"Kita sudah berjuang selama tujuh tahun, namun selama ini tuntutan kita tidak pernah digubris PLN. Dengan dibakarnya ban bekas ini secara simbolik, mulai saat ini kita tegaskan menyatakan ’perang’ dengan PLN," kata Sanusi Anwar, koordinator aksi di depan peserta aksi.

<>

Namun, pada saat yang sama, PT PLN mengakui bahwa dalam soal kompensasi hak warga di delapan desa Kabupaten Bogor yang dilintasi proyek SUTET, sampai saat ini belum tuntas.
   
Belum tuntasnya soal uang kompensasi tersebut disampaikan oleh Ir Agung Nugroho, Kepala Proyek Jaringan Jawa Barat PT PLN (Persero) yang mengakui masalah uang kompensasi hak warga di delapan desa di Kabupaten Bogor yang dilintasi proyek SUTET,
hingga saat ini belum tuntas.
   
Menurut dia, warga di sana menolak uang kompensasi tersebut, dan mereka menginginkan uang ganti rugi penuh atas tanah dan bangunan rumah, sehingga uang kompensasi belum tuntas.

Sedangkan pada aksi hari Selasa, warga melakukannya dengan menghalangi jalan dengan drum-drum bekas.
Agung Nugroho menjelaskan, uang kompensasi itu sebesar Rp5.000 per meter, dan nilai kompensasi itu berdasarkan Kepmentaben No 975 K/47/MPE/1999 tanggal 11 Mei 1999 tentang perubahan peraturan Mentaben No 01.P/47/MPR/1992 tanggal 7 Februari 1992.
    
Uang kompensasi tersebut diberikan sebesar 10 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP). "Keputusan itu lah yang menjadi landasan hukumnya. Jika kami memberikan kompensasi lebih dari itu, berarti akan menyalahi aturan," kata dia.
    
Sementara itu, koordinator warga desa korban SUTET, Abdul Madjid dalam satu kesempatan kepada pers, di Ciseeng menjelaskan pertemuan mereka dengan Komnas-HAM dan WALHI tentang usulan ganti rugi yang diusulkan warga, yakni untuk tanah dekat jalan
sebesar Rp150 ribu/meter, sedangkan yang berada di dalam perkampungan Rp75 ribu/meter.
    
Menurut Agung Nugroho, proyek jaringan Jawa Barat didirikan dengan fungsi untuk menampung kelebihan beban jaringan SUTET di jalur Utara, karena di jalur tersebut -- yang juga bertegangan 500 kV-- hanya memiliki ’single circuit’, sehingga kapasitas atau beban arus di sana sudah penuh. Maka, solusinya harus dibuat lagi jaringan baru.
    
Ia menjelaskan, jaringan baru tersebut didirikan di jalur selatan di Jawa Barat, yakni Tasikmalaya hingga ke kota Depok. Selain pekerjaan utamanya membangun SUTET, PT PLN (Persero) juga membangun Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) 500/150 kV di Tasikmalaya. Seluruhnya akan dioperasikan pada tahun 2004, dan hal itu untuk menunjang penyediaan tenaga listrik di Jawa dan Bali.

"Selama ini ada kesalahan persepsi, warga yang dilintasi jaringan SUTET 500 kV menuntut ganti rugi penuh. Padahal ganti rugi itu sudah lama kami selesaikan. Kami hanya membayar ganti rugi kepada warga yang tanahnya berikut tumbuhan dipakai untuk mendirikan tower," kata dia, usai melakukan sosialisasi SUTET di gedung serba guna Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor.
    
Dalam sosialisasi PT PLN itu dihadiri oleh camat di enam kantor kecamatan, yakni Leuwiliang, Ciseeng, Bojonggede, Rumpin, Pamijahan, dan Kemang.   Delapan desa yang rumah warganya dilintasi SUTET itu yakni  Ciseeng, Cihoe, Sukasari, Perigi Mekar, Cibentang, Jampang Kalisuren, Jampang Pintu Air, dan Kahuripan. 

Pada kesempatan itu,  PLN juga mengungkapkan data yang dimilikinya yang berasal dari hasil kajian Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Teknologi Bandung ( LPPM ITB) pada tahun 1996 di Bekasi, Jawa Barat.

Hasil penelitian
    
Dari data hasil penelitian itu terungkap bahwa medan listrik dan medan magnet di permukiman yang berada di bawah dan sekitar SUTET ’di dalam maupun di luar rumah’, tidak didapati pengukuran yang melampaui nilai ambang batas sesuai rekomendasi International
Radiation Protection Association (IRPA)/International Non Lonizing Radiation Commite (INIRC) dan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) pada tahun 1990.
   
Laporan itu menyebut nilai ambang batas ’pemajanan’ elektromagnetik disebutkan pada frekwensi 50-60 Hz.
Terungkap pula data yan