Warta

Khofifah: NKRI Utuh Jika Kesejahteraan Merata

NU Online  ·  Kamis, 16 Agustus 2007 | 14:47 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pucuk Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama Khofifah Indar Parawansa menegaskan, mustahil mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa pemerataan kesejahteraan.

"Sejatinya, akar berbagai gangguan dan ancaman keutuhan NKRI berasal dari ketidakmerataan kesejahteraan," kata Khofifah saat menyampaikan refleksi 62 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Jakarta, Kamis.

<>

Ironisnya, kata Khofifah, komitmen penyelenggara negara untuk mewujudkan negara kesejahteraan cukup lemah. Padahal, Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa tujuan negara ini antara lain adalah mewujudkan kesejahteraan umum. 

Dikatakannya, dalam Bab XIV, Pasal 33 dan 34 UUD 1945 disebutkan tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Kemudian dalam Bab IV Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional disebutkan upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Itu semua, kata Khofifah, menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara kesejahteraan. Hanya saja, tambah dia, di tataran kebijakan yang terjadi justru bertentangan dengan tujuan negara tersebut.

"Kita prihatin bahwa peruntukan APBN, APBD I, maupun APBD II, kecuali Provinsi Gorontalo, sebagian besar yakni antara 60-70 persen justru untuk belanja rutin. Sementara yang bisa dinikmati rakyat sebenarnya hanya belanja pembangunan," katanya.

Oleh karena itu, lanjut mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan itu, berbagai paradoksal pembangunan tersebut harus segera diluruskan.

Inkonsistensi

Pada bagian lain, Khofifah menilai adanya inkosistensi para penyelenggara negara. "Antara kebijakan dengan implementasi bertentangan," tandasnya.

Ia mencontohkan, ketika kedaulatan NKRI dipersoalkan pada saat yang sama pemerintah menandatangani kesepakatan kerjasama pertahanan (Defense Cooperation Agreement-DCA) dengan Singapura yang memberi keleluasaan negara tetangga itu melakukan latihan perang di wilayah RI.

Contoh lain, katanya, dalam Pembukaan UUD 1945 jelas disebutkan politik luar negeri Indonesia bebas aktif, namun pemerintah dalam sidang Dewan Keamanan PBB justru ikut mendukung resolusi yang melarang Iran mengembangkan nuklir untuk tujuan damai.

"Jika pemerintah memiliki ’political will’ dan komitmen pemberantasan korupsi, di depan mata kita melihat kasus BLBI tidak semua diperlakukan sama sebagai kasus korupsi, padahal totalnya di atas Rp200 triliun," katanya.

Khofifah juga menyoroti lemahnya kepemimpinan nasional. Dikatakannya, persoalan kepemimpinan bukan persoalan sederhana karena bangsa ini membutuhkan komitmen pemimpinnya bahwa Indonesia setara dengan bangsa lain. "Pemimpin kita sebagian besar masih bermental inlander," katanya.

Lemahnya posisi tawar pemerintah pada Blok Cepu dan Blok D Natuna, Freeport, dan sebagainya, katanya, adalah sebagian contoh kongkrit lemahnya kepemimpinan Indonesia. (ant/mad)