Warta

Kelompok Islam Radikal Ikut Pemilu di Timteng, Tolak Demokrasi di Indonesia

NU Online  ·  Senin, 14 April 2008 | 10:38 WIB

Cirebon, NU Online
Beberapa kelompok Islam radikal ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum di sejumlah negara di Timur Tengah (Timteng). Namun, di Indonesia, kehadirannya justru menolak demokrasi. "Aneh, di sini (Indonesia) HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) menolak demokrasi."

Demikian dikatakan Khamami Zada, Manajer Program Kajian Agama dan Kebudayaan, Pengurus Pusat Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama (NU).<>

Ia mengatakan hal itu pada halaqah bertajuk Pesantren dan Radikalisme Agama, hasil kerja sama The Wahid Institute dan Pondok Buntet Pesantren, di Buntet, Cirebon Jawa Barat, belum lama ini.

Menurut Khamami, gerakan Islam radikal ini terus berkembang di masyarakat. Bahkan kini telah ‘menyusup’ ke sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam di Indonesia, misal, Muhammadiyah, NU, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), dan sebagainya.
 
Ia menjelaskan perbedaan ormas Islam di negeri ini yang berkembang melalui lembaga pendidikan pesantren dan tradisi lokal dengan kelompok Islam radikal yang datang dari luar. Menurutnya, kelompok radikal tidak mengalami proses integrasi dengan tradisi lokal.

“Karenanya, mereka ingin menggantinya dengan tradisi Arab. Ini berbeda dengan pesantren yang tidak memutus tradisi masyarakat. Pesantren juga melakukan filter (penyaringan) tradisi Arab untuk diterapkan di masyarakat,” terangnya.

"Tradisi Arab itu ditransfer ke Indonesia bukan mentah-mentah. Tapi, disarikan dulu menjadi tradisi baru Islam yang sesuai konteks masyarakat," imbuh Khamami.

Hal senada dikatakan KH Syarif Usman Yahya, sesepuh warga Buntet. Menurutnya, radikalisme itu muncul bukan karena faktor agama, melainkan sebab lain, semisal, kolonialisme. Hanya, ujar dia, radikalisme acapkali diiringi doktrin-doktrin agama sebagai penguatnya.

Dicontohkannya, konflik Palestina dan Israel. Hal itu sesungguhnya lebih pada persoalan kolonialisme politik ketimbang agama. Ketika Palestina tidak berdaya melawan Israel yang didukung beberapa negara Barat, mereka lantas mencari slogan yang menarik simpati orang lain.

"Dari situ, lalu agama menjadi alasan mengadakan kegiatan radikal. Padahal, sesungguhnya itu persoalan nasionalisme, bukan agama," terangnya. (rif)