Jakarta, NU.Online
Keikhlasan pemerintah pusat terhadap daerah merupakan salah satu solusi dalam penyelesaian masalah Aceh, selain terus melakukan dialog disamping memberikan peningkatan kualitas pendidikan, kesejahteraan, perbaikan ekonomi terhadap rakyat Aceh, langkah itu penting untuk mengimbangi operasi pemulihan keamanan, yang selama ini dinilai lebih menonjol, kata Sekretaris PWNU Nagroe Aceh Darussalam, Nurdin Yusuf Dewantara, MM kepada NU.Online disela-sela penutupan pelatihan internet (NU.Infors), di Aceh (5/10).
Menurutnya akar masalah utama konflik di Aceh selama ini adalah ketidakadilan dan inkonsistensi kebijakan.yakni adanya perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dengan rakyat Aceh mengenai keadilan dan hak-hak daerah. realitas itu diletakkan dalam frame kultur politik masing-masing, maka apa yang dianggap adil bagi Jakarta belum tentu demikian dirasakan rakyat Aceh, ungkap Nurdin ketika ditanyakan tentang duduk persoalan Aceh yang sebenarnya.
<>Wajarlah jika kita merunut data BPS(1998) misalnya, bahwa penduduk miskin absolut di Aceh mencapi 1.353.975 atau 33,24% dari total penduduk (4.073.331). Jika angka ini ditambahkan dengan angka kemiskinan relatif, maka lebih dari 60% penduduk Aceh tergolong miskin. Ironi yang paling memiliki bisa dilihat di Aceh Utara. Sejak ditemukan lading gas dan minyak di Lhok Seumawe, ibu kota Aceh Utara, sekitar tahun 1970-an, wilayah ini segera disulap menjadi kawasan industri petro-kimia modern.
Di sini beroperasi investor asing seperti PT Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI) yang mengolah gas alam cair melalui kilang PT Arun Natural Gas Liquifaction (NGL) Co. Juga terdapat pabrik Pupuk Iskandar Muda (PT PIM), serta pabrik Pupuk Asean (PT AAF). Logisnya, penduduk setempat akan terkena efek perembesan kemakmuran (trickle down effec).Namun yang terjadi, 30% desa di Aceh Utara tergolong desa tertinggal. Tidak kurang dari 59.192 keluarga di wilayah ini tergolong prasejahtera, mencapi rekor tertinggi di antara kabupaten dan kota di Provinsi DI Aceh. Di balik kemewahan perumahan eksklusif karyawan industri-industri petro-kimia, penduduk di sekitar Arun sendiri baru beberapa tahun saja memperoleh penerangan listrik.
Lebih jauh ungkap mantan aktivis PMII ini, jika ditelusuri sejarah pergolakan di Aceh, Baik DI/TII maupun GAM berangkat dari artikulasi kekecewaaan hubungan pusat- daerah. Hanya saja jika DI/TII menjadikan agama sebagai ideologi gerakannya, Hasan Tiro bermain dalam bingkai nasionalisme.
Nurdin juga menjelaskan perspektif buntunya kesepakatan antara GAM dan Pemerintah, sehingga digelarnya operasi militer di Aceh lantaran dalam kesepakatan itu hanya ada satu format alternatif. Yakni demiliterisasi atau penyerahan senjata. “Seharusnya ada alternatif-alternatif lain, yakni pemulihan martabat rakyat Aceh, berupa pemulihan ekonomi, dan penegakan hukum. Itu saja yang rakyat Aceh minta. Ini yang tidak dilakukan pemerintah dan TNI,” tukas mantan ketua Dispora ini.
Namun dirinya memahami jika pendekatan keamanan itu dilakukan, karena jalan damai sudah gagal. “Ini terjadi juga karena pihak pemerintah dan elit berfikir politik semata. Dengan kata lain, konflik Aceh telah dimanfaatkan sebagai komoditas dan instrumen politik.
Dalam hal ini segera tampak, memburuknya keadaan politik di Jakarta, gaungnya di Aceh akan lebih keras terdengar dibanding di Ibu Kota RI. Tidak heran jika masalah Aceh muncul sebagai isu nasional bersifat kambuhan. Pada saat situasi politik di Jakarta memburuk, kebijakan pemerintah pusat yang lemah atau keras mendapat kecaman yang sama dari tokoh parpol, aktivis, atau LSM.
Sebagai orang yang lahir dan di besarkan di tanah rencong, Ia berpendapat bahwa masalah Aceh adalah masalah multidimensional yang memerlukan pendekatan yang komprehensif. Pemberlakuan syariat Islam mungkin memadai sebagai solusi pada tahun 1950-an, tetapi tidak cukup untuk saat ini. Solusi simbolik ini harus disertai pendekatan yang lebih substantif. Pertama, bagaimana melakukan penyembuhan terhadap ‘memoria passionis’ (ingatan penderitaan). Kehendak untuk melupakan tragedi dan dendam masa lalu seringkali rentan ketika mendapati warisan-warisan masa lalu yang belum diselesaikan. Untuk itu, kepercayaan sosial harus ditumbuhkan lewat komitmen pelbagai pihak untuk menegakkan HAM dan hukum.
Kedua, bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menciutkan kesenjangan sosial. Perbaikan infra-struktur dan kucuran dana pembangunan adalah satu hal. Tetapi yang lebih penting lagi adalah perbaikan manajemen pemerintahan dan pembangunan di tingkat lokal. "tanpa penyempurnaan hal ini, berapa pun dana yang dikucurkan tidak akan pernah sampai kepada sasaran. Hal ini harus diikuti oleh pendekatan ketiga, yakni perbaikan sumberdaya insani masyarakat setempat," paparnya kepada NU.Online (Cih)
Terpopuler
1
5 Poin Maklumat PCNU Pati Jelang Aksi 13 Agustus 2025 Esok
2
Khutbah Jumat HUT Ke-80 RI: 3 Pilar Islami dalam Mewujudkan Indonesia Maju
3
Jumlah Santri Menurun: Alarm Pudarnya Pesona Pesantren?
4
Kantor Bupati Pati Dipenuhi 14 Ribu Kardus Air Mineral, Demo Tak Ditunggangi Pihak Manapun
5
Nusron Wahid Klarifikasi soal Isu Kepemilikan Tanah, Petani Desak Pemerintah Laksanakan Reforma Agraria
6
Badai Perlawanan Rakyat Pati
Terkini
Lihat Semua