Warta

Hasyim Tolak Dianggap Politisasi NU

NU Online  ·  Senin, 29 November 2004 | 06:24 WIB

Boyolali, NU Online
Ketua umum Tanfidziyah PBNU H.A.Hasyim Muzadi menolak dikatakan mempolitisasi NU dan melanggar khittah 1926, langkah yang dilakukannya terutama menjelang masa akhir pimpinannya di NU dengan menjadi capres PDI-P, selain diatur dalam ad/art tentang non aktifnya pengurus juga semata-mata untuk membangun NU lebih bermartabat ditengah realitas politik Indonesia yang terjadi saat itu.

“NU selalu dalam posisi dilematis dan berada dalam ruang abu-abu ketika harus berhadapan vis a vis dengan politik dan kekuasaan karena sejatinya NU sebagai organisasi keagamaan, dan itu sulit dihindari,” katanya dalam laporan pertanggungjawaban yang dibacakan di hadapan ribuan nahdliyin di halaman muka gedung Asrama Haji Donohudan, Senin (29/11).

<>

Menurutnya ditengah situasi sulit itu, PBNU secara institusi telah bersikap secara hati-hati dan menjaga jarak dengan kekuasaan ditengah upaya-upaya penyelamatan dan pemberdayaan umat, bangsa dan negara. Caranya dengan mengambil peran dan tema politik substansial. Dirinya memberi contoh ketika PBNU mengambil sikap proporsional mempertahankan kepemimpinan nasional di bawah Gus Dur , karena Gus Dur  yang jelas-jelas warga NU dipilih oleh rakyat secara konstitusional dan juga merupakan mayoritas pilihan warga NU. “Namun juga PBNU harus berhati-hati menjaga posisi agar tidak menjadi  common enemy karena membabi buta membela Gus Dur tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai ormas perekat bangsa,” katanya.

Karena itu langkah yang dilakukannya ditengah dilematisasi NU itu dengan melakukan dinamisasi politik dengan tetap memberikan pembelaan di dalam kerangka konsitusi dan tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”Meskipun langkah itu di kalangan internal NU dianggap terlalu lunak, tapi ini untuk menyelamatkan NU dari trauma politis,” ujar salah satu kandidat calon ketua PBNU ini.

Lebih jauh terkait dengan masalah NU dan upaya politisasi yang disudutkan kepadanya, Hasyim Muzadi dalam LPJ-nya mengatakan perlu dibedakan antara politik kepartaian dan politik kebangsaan. Politik kepartaian dalam NU mengacu pada muktamar tahun 1984 di Situbondo, sementara politik kebangsaan mengacu pada muktamar tahun 1989 di Yogyakarta. “Karena NU bukan partai politik, tidak menjadi bagian dari organisasi politik dan tidak boleh menjadi organisasi politik,” tandasnya.

Selain itu, NU mengambil jarak yang sama dengan semua organisasi politik dan penyalurannya terkait dengan konteks hak kewarganegaraan warga NU.Hasyim juga menjelaskankan tentang pimpinan NU tidak boleh merangkap dengan jabatan pimpinan partai politik. Apabila ada tokoh NU yang dicalonkan menjadi eksekutif atau legislatif, harus nonaktif pada saat proses sedang berlangsung dan bisa aktif kembali setelah proses itu selesai. “Ini semua diatur dan diperbolehkan,” katanya merujuk langkah yang dilakukannya ketika harus non aktif sewaktu menjadi capres PDIP.

Dalam kesemnpatan itu Ia juga mengemukakan langkah-langkah NU yang sudah go national dan international. Langkah yang dilakukannya dengan melakukan  penguatan institusi (institutional building) mengingat NU bermula dari kultur yang kemudian distrukturkan untuk dibingkai dalam sistem dan mekanisme yang mapan. Kedua hal itu tidak boleh dipisah karena kultur memiliki daya banting yang kuat, daya hidup yang sangat panjang, dan daya reaksi yang besar, tapi tidak mempunyai daya konsepsi yang cukup. Daya konsepsi ini, menurut Hasyim, berada pada sistem, mekanisme, struktur, manajemenn dan leadership. “Posisi NU masih belum seimbang penguatan kultural dan penguatan strukturalnya. Oleh karena itu penguatan struktural konstitusional mesti harus dilanjutakan pada kepengurusan yang akan datang. Goal-nya adalah organisasi yang sistemik dan mekanik,” jelas Hasyim.

Menyangkut penguatan bidang keagamaan dalam LPJ-nya, Hasyim mengatakan NU mengambil sikap yang moderat dan konsisten dengan membedakan diri dari garis ekstrem dan fundamental, apalagi kekerasan dan teror, serta membedakan diri dari liberalitas pemikiran. “Garis moderasi ini perlu dikukuhkan untuk kepentingan nasional dan internasional. Dalam hubungan nasional, moderasi ini akan merakit hubungan lintas agama tanpa harus mengorbankan agama kita sendiri. Bagaimana mempunyai eksistensi yang seimbang dengan penerimaan pluralisme,” katanya.

Kehidupan bergama harus dijamin dengan tidak merusak sendi-sendi kehidupan bersama dalam negara berdasarkan Pancasila. Hal ini juga bisa menjembatani konflik-konflik bernuansa agama antara Islam dan bukan Islam. Ini yang terus dikembangkan dan dipromosikan sehingga garis moderasi tidak hanya menjadi milik NU tapi juga menjadi perekat bangsa secara keseluruhan, tegasnya.

Di bagian lain Hasyim juga memaparkan kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya ketika memimpin NU, seperti  NU mem