Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menyatakan, sistem demokrasi liberal dengan multi partai sudah pernah gagal di Indonesia, namun pada era reformasi dipraktikkan lagi. Sistem ini dinilai tidak akan pernah melahirkan pemerintahan yang efektif.
Dalam sistem multi partai, tidak ada partai politik yang dominan, atau dalam istilah Presiden Pertama RI Soekarno disebut sebagai partai pelopor, sehingga kepala negara terpaksa bersikap mengambang diantara kepentingan banyak partai. Hal ini membahayakan untuk negara berkembang seperti Indonesia.<>
”Menurut saya, penyerderhanaan partai itu mutlak dilakukan, tetapi harus fungsional. Pada masa Pak Harto (Presiden Soeharto: red) memang ada penyederhanaan partai, akan tetapi Golkar disuruh ‘apa saja’ sementara PPP dan PDI didisfungsikan. Kesalahan Orde Baru itu bukan pada jumlah partai yang hanya tiga, tetapi salah memfungsikannya.” kata Hasyim kata Hasyim kepada NU Online di kantor PBNU Jakarta, Kamis (10/7) lalu.
Menurut Hasyim, para penyelenggara reformasi hanya berfikir untuk mengganti semua tatanan yang ada pada masa Orde Baru dan tidak mau mengakui beberapa keunggulan sistem yang diterapkan oleh Presiden Soeharto.
”Setelah reformasi semua aturan dan patokan selama Orde Baru, baik yang buruk maupun yang baik dibongkar semua, tetapi gantinya tidak jelas. Bahwa di dalam Orde Baru ada salah memang harus diakui, tapi gantinya kan harus lebih baik dari yang disalahkan, ini baru namanya pembaruan dan kemajuan,” katanya.
Dikatakannya, jumlah tiga partai yang dihasilkan oleh ‘konsensus nasional’ pada masa Orde Baru sudah sangat ideal, masing-masing wewakili keahlian (Golkar), religi (PPP), dan nasionalis (PDI). Semua elemen masyarakat telah tercakup dalam wadah besar itu.
Pada era reformasi, katanya, harus ada kesadaran bersama untuk ‘merampingkan’ kembali demokrasi. Beberapa aspek dalam demokrasi yang sedang diterapkan tidak menguntungkan Indonesiaxdan harus ‘dipotong’. Sayangnya beberapa pihak justru meniknati kesimpangsiuran yang sedang terjadi.
“Sekarang partai mana yang mau disederhanakan, bahkan kalau perlu partai-partai politik yang ada pecah menjadi kecil-kecil biar semuanya ikut menikmati kekuasaan,” kata pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Malang itu.
Perampingan demokrasi hanya bisa dilakukan oleh presiden. “Jika ada peraturan yang merugikan negara presiden harus menerbitkan Perpu (peraturan pemerintah penganti undang-undang). Berani apa tidak presidennya? Ancamannya kan diimpachment segala macem. Kalau ada calon presiden yang berani maka saya pribadi akan mendukung,” katanya. (nam)
Terpopuler
1
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
2
Sosok Nabi Daniel, Utusan Allah yang Dimakamkan di Era Umar Bin Khattab
3
Cerita Pasangan Gen Z Mantap Akhiri Lajang melalui Program Nikah Massal
4
Asap sebagai Tanda Kiamat dalam Hadits: Apakah Maksudnya Nuklir?
5
3 Pesan Penting bagi Pengamal Ratib Al-Haddad
6
Mimpi Lamaran, Menikah, dan Bercerai: Apa Artinya?
Terkini
Lihat Semua