Warta

Gerakan Perempuan Tak Boleh Mereduksi Makna Kemanusiaan

Rab, 19 Desember 2007 | 09:38 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa berpendapat gerakan perjuangan hak-hak perempuan harus tetap dalam koridor norma, nilai dan syr’i bagi yang muslim serta tak boleh mereduksi mana kemanusiaan.

“Misalnya begini, atas nama women right, kemudian mereka single parent, pokoknya saya mau beli sperma, saya nga mau suami, ia bilang soal haknya dia, tapi hak anak gimana, ini sudah keluar dari norma,” katanya kepada NU Online baru-baru ini.
 <>;
Dijelaskannya, diantara para pejuang hak perempuan, ada yang dikategorikan sebagai women liberation. Mereka berusaha memperjuangkan hak-hak perempuan sebebas-bebasnya, tanpa memperdulikan nilai dan norma yang ada.

“Norma-norma itulah yang menjadikan ada peradaban dan budaya. Jadi yang tidak dimiliki dia, berarti bukan manusia,” imbuhnya.

Beberapa isu yang diperjuangkan oleh kelompok ini atas nama women right dan atas nama reproductive right adalah legal aborsion. Menurutnya, hal ini dalam ajaran Islam sudah keluar dari syariah sehingga harus dijaga. Aborsi diperbolehkan pada saat janin itu mengganggu keselamatan. Pengecualian tetap dimungkinkan sesuai dengan aturan, ada aturan agama, norma, susila.

“Saya terserah mau dibilang sok moralis, sok apa-sok apa, tetapi itulah yang membedakan manusia dan yang tidak manusia, jangan mereduksi makna kemanusiaan itu sendiri,” tandasnya.

Makna kemanusiaan, menurut Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan ini tak boleh direduksi atas nama kebebasan tanpa batas. “Menempatkan perempuan sebagai bagian dari penerus budaya, penerus peradaban itu menjadi penting. Kalau ada pola-pola yang kita tahu menerabas dan itu dibiarkan, merusak peradaban manusia itu sendiri, juga dilestarikan, ya saya berbeda dengan mereka,” tegasnya.

Mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan, Khofifah berpendapat sifatnya fungsional saja, seusia dengan peran dan fungsi yang harus diembannya. Ada saatnya, suami sakit dan istri yang harus mencari uang untuk keluarga.

“Menurut saya bagaimana dibangun kesetaraan dalam posisi mutual understanding. Ya mereka harus memahami posisi masing-masing, tidak harus memaksakan. Mbok meskipun suaminya penjudi, peminum, pemakai narkoba, pokoknya dia kepala keluarga, apa keputusan yang mau diambil, yang benar saja,” paparnya.

Dijelaskannya, saat ini berdasarkan data perceraian tahun 2005 yang merupakan data terbaru yang bisa diakses tahun 2007 dari Dirjen Bimas Islam, terdapat kecenderungan gugat cerai yang sangat tinggi.

Di Makassar gugat cerai mencapai 85 persen, Jakarta ini 75 -80 persen,  Surabaya 80 persen, Bandung justru 65 persen. Di Semarang 70 persen, Medan 75 persen, dan di Cilacap 80 persen. Ada 13 item yang menjadi penyebabnya yang diantaranya suami poligami, kedua suaminya tidak bertanggung jawab, ketiga, persoalan ekonomi dan ke 13 persoalan beda partai.

“Ini yang saya apal. Ini kalau tidak ditelaah bisa berbahaya lho, menyangkut ketahanan keluarga. Janganlah bilang ketahanan nasional kalau keluarganya rentan seperti ini,” katanya.

Menurutnya, ini adalah problem serius dan masing-masing fihak yang terkait dengan ketahanan keluarga harus memberikan respon. “Harus direspon supaya ada refleksi dari masing-masing individu dan keluarga. Ini jangan dianggap remeh. Dan di Muslimat, ini tak omongno di berbagai tempat. Bapak-bapak jagalah keluarga, jangan cuma ibu-ibu yang disuruh jaga keluarga,” tandasnya. (mkf)