Teheran, NU Online
Presiden Iran Mohammad Khatami mengecam rencana perluasan demokrasi yang akan dilakukan oleh Amerika Serikat ke seluruh penjuru dunia dengan mengatakan bahwa demokrasi bukan komoditi yang bisa diekspor atau diimpor. "Konsep mengekspor demokrasi dari satu negara ke negara lain adalah dungu dan tidak tepat," katanya sebagaimana dikutip ANTARA dari Teheran, Senin (7/2).
Menurut Khatami yang berbicara pada Festival Sains Internasional, demokrasi harus didasarkan pada sejarah sebuah bangsa dan identitas budayanya. Hanya dengan cara itu, demokrasi akan merupakan sikap budaya masyarakat sehari-hari. "Kami, sebagai Muslim, memiliki sejarah kebudayaan yang panjang. Bangsa ini bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman," katanya.
<>Dirjen Pers dan Media Kementerian Bimbingan Islam, Mohammad Hosein Khosvaght, mengatakan Islam sejalan dengan demokrasi. "Tapi bukan demokrasi seperti yang berlaku di Amerika dimana orang bebas melakukan apa saja," katanya.
Iran, katanya, memiliki demokrasi yang unik yang sesuai akar budaya setempat, yaitu "Islamic democracy" atau demokrasi yang bernafaskan Islam. "Demokrasi bernafaskan Islam bukan kebebasan memakai bikini atau meminum minuman keras," katanya.
Sementara itu Jurubicara Kementerian Luar Negeri Iran Hamid Reza Asefi mengatakan retorika keras dan ancaman AS terhadap Iran bermula dari ketidaksenangan terhadap Revolusi Islam yang kini sedang diperingati rakyat Iran secara besar-besaran.
Sekitar dua juta orang akan berkumpul di Tehran pada 10 Februari 2005 untuk memperingati tonggak sejarah jatuhnya rejim boneka AS di Iran. Revolusi Islam Iran yang bangkit tahun 1979 telah menyebabkan badai politik yang merubah keseimbangan kekuatan AS di Timur Tengah, khususnya di Iran.
"Bagi rakyat Iran, hari-hari ini merupakan saat-saat yang penuh kenangan manis. Tapi buat Amerika, hari-hari ini sangat menyakitkan karena masa-masa mendominasi dan menguasai Iran berakhir," kata Asefi.
Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Iran, Hassan Rowhani, juga mengatakan masa-masa dimana Washington menguasai Iran telah berlalu. Saat-saat dimana Dubes AS di Tehran memberikan perintah-perintah terhadap pejabat Iran dan bahkan memanggil mereka untuk diberi petunjuk, sudah lebih 20 tahun berlalu. "Kini, bangsa Iran sendirilah yang memutuskan untuk dirinya sendiri. Kami tidak memerlukan lagi penjajah dan sebuah negara adidaya. Kami adalah bangsa yang berdaulat, " tegas Rohwani. (atr/cih)
Terpopuler
1
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
2
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
3
Nota Diplomatik Arab Saudi Catat Sejumlah Kesalahan Penyelenggaraan Haji Indonesia, Ini Respons Dirjen PHU Kemenag
4
Houthi Yaman Ancam Serang Kapal AS Jika Terlibat dalam Agresi Iran
5
PBNU Desak Penghentian Perang Iran-Israel, Dukung Diplomasi dan Gencatan Senjata
6
Menlu Iran Peringatkan AS untuk Tanggung Jawab atas Konsekuensi dari Serangannya
Terkini
Lihat Semua