Warta

Bank Persyarikatan Masuk Pengawasan Khusus BI

NU Online  ·  Selasa, 21 Desember 2004 | 05:50 WIB

Jakarta, NU Online
Akibat tidak juga mampu memperbaiki kesehatannya dalam jangka waktu yang sudah ditetapkan, Bank Persyarikatan Indonesia akhirnya dimasukkan Bank Indonesia ke dalam pengawasan khusus (Special Surveillance).

Bank ini diberi waktu tiga bulan untuk menambah modal. Jika gagal, tahapan berikutnya adalah pemberian status Beku Kegiatan Operasi. Masuknya Bank Persyarikatan Indonesia ke dalam pengawasan khusus Bank Indonesia ini menambah catatan suram kondisi perbankan Indonesia yang rapuh, setahun terakhir ini. Kasus ini, juga juga makin membuka borok perbankan nasional, menyusul kasus Bank Dagang Bali, Bank Asiatic dan Bank Global.

<>

"Bank itu (BPI) sudah masuk SSU (Special Surveillance)," kata Direktur Pengawasan Bank I Bank Indonesia Sabar Anton Tarihoran di sela-sela acara penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Jaksa Agung Republik Indonesia (RI) Abdul Rahman Saleh, Kepala Kepolisian RI Dai Bachtiar, dan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah tentang kerja sama penanganan tindak pidana di bidang perbankan di Jakarta, Senin (20/12).

Di tempat yang sama, Deputi Senior Gubernur BI Miranda S Goeltom menjelaskan, BI memang sudah mengambil sikap dan terus memberikan pembinaan kepada BPI. Menurut dia, saat ini BI masih memberi kesempatan kepada pengurus bank tersebut untuk menambah modal. "Untuk berita selanjutnya tunggu saja. Nanti diumumkan secara resmi," katanya seperti dikutip KOMPAS..

Saat didesak mengenai detail permasalahan yang menimpa BPI, Anton enggan menjawab. Dia hanya mengatakan, sebuah bank bisa dimasukkan ke pengawasan khusus karena berbagai masalah, seperti rasio kredit bermasalah (NPL), rasio kecukupan modal (CAR), atau likuiditas. Gubernur BI Burhanuddin Abdullah ketika dimintai konfirmasi juga enggan memberi penjelasan.

Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dradjad H Wibowo mengatakan, BPI masuk dalam pengawasan khusus karena CAR-nya anjlok hingga bernilai minus. Padahal, BI mensyaratkan CAR minimum delapan persen.

Menurut Dradjad, anjloknya CAR BPI terjadi karena menurunnya secara drastis kualitas aktiva produktif, yaitu kredit dan surat-surat berharga. Kondisi itu membuat BPI harus menyisihkan penghapusan aktiva produktif dalam jumlah besar sehingga akhirnya menggerus CAR.

Berdasarkan laporan keuangan BPI per September 2004 yang dilaporkan ke BI, CAR BPI masih tercatat 8,82 persen, atau di atas ketentuan BI. Namun, terdapat sejumlah hal yang mengindikasikan buruknya keuangan BPI, seperti NPL yang mencapai 23,29 persen. Porsi aktiva produktif bermasalah mencapai 24,02 persen dari total jumlah aktiva produktif sebesar Rp 534,05 miliar.

Anton mengatakan, BPI diberikan waktu tiga bulan selama masa dalam pengawasan khusus. Sesuai aturan, jika tidak mampu menambah modal, maka tahapan berikutnya adalah pemberian status Beku Kegiatan Operasi.

Lama

Sebelum dimasukkan ke dalam pengawasan khusus bulan Desember ini, sebenarnya BPI telah lama bermasalah sejak awal 2004. Menurut laporan keuangan bulanan per Februari 2004 (belum diaudit), total modal BPI mencapai Rp 29,891 miliar dengan CAR hanya 5,04 persen.

Pertama kali, BI memberi waktu hingga akhir bulan April 2004 pada BPI untuk menambah modalnya. BI memberi kesempatan pada bank itu karena dikabarkan ada investor yang mau masuk, dari Indonesia dan Malaysia. Waktu itu, BPI membutuhkan modal Rp 30 miliar.

Manajemen BPI sendiri seperti Direktur BPI Irwan Moedahar, Komisaris BPI Hajrianto Y Thohari, dan Direktur BPI Achsanul Qosasi mengatakan, BPI telah berhasil menggandeng investor lokal pada tanggal 26 April 2004.

Mereka juga mengatakan telah menggandeng investor asal Malaysia Azli Arif (AA) Corporation yang akan menyetor modal Rp 20 miliar sehingga membuat CAR BPI naik menjadi 8,61 persen. Manajemen juga mengatakan, AA Corporation akan kembali menambah setoran modal sebesar Rp 80 miliar sehingga total setoran mencapai Rp 100 miliar.

Namun, menurut Dradjad, selama uji tuntas keuangan, AA Corporation dan juga investor baru yang akan masuk, yaitu Bank Bukopin, menemukan aktiva produktif yang diragukan kualitasnya, yang diduga mencapai Rp 400 miliar.

Itu membuat mereka mau memberi modal jika ditetapkan persyaratan bahwa unit-unit usaha Muhammadiyah akan menempatkan dananya di bank tersebut. "Jika ini dilakukan, dana milik organisasi Muhammadiyah lainnya, terutama unit usaha seperti rumah sakit akan ditempatkan pada bank berisiko tinggi. Itu membuat mereka menolak sebab tidak seyogianya Muhammadiyah sebagai organisasi dan unit usahanya harus menanggung beban dari kesalahan pengurus bank tersebut," ujarnya.

Akibat kondisi t