Awal Ramadhan NU Mungkin Berbeda dengan Pemerintah
NU Online · Jumat, 14 Agustus 2009 | 05:01 WIB
Awal bulan Ramadhan 1430 H antara NU dan pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama, masih mungkin berbeda. Hal ini lantaran NU mengawali bulan Sya’ban pada 24 Juli 2009, sementara pemerintah mengawali bulan Sya’ban pada 23 Juli 2009.
Menurut Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Ghazalie Masroeri, dalam rukyatul hilal penentuan awal bulan Sya’ban pada 22 Juli 2009, hilal (bulan sabit) tidak terlihat sehingga berdasarkan kaidah istikmal NU mengawali bulan Sya’ban pada 24 Juli 2009.<>
Dengan demikian pada saat pemerintah mengadakan rukyatul hilal penentuan awal Ramadhan, pada 29 Sya’ban atau 20 Agustus 2009, penanggalan NU berdasarkan hasil rukyatul hilal akhir Rajab itu masih menunjukkan tanggal 28 Sya’ban. NU baru akan mengadakan rukyatul hilal pada 21 Agustus 2009.
”Bagi NU, rukyat harus didasarkan pada rukyat juga. Jadi pada tanggal 20 Agustus kita tetap akan mengamati hilal tapi sebagai observasi biasa saja. Rukyatul hilal baru akan diadakan pada hari berikutnya,” kata Kiai Ghazali kepada NU Online di Jakarta, Kamis (13/8).
Sementara itu, menurut Hendro Setyanto dari Litbang Lajnah Falakiyah PBNU, posisi hilal ketika matahari tenggelam pada tanggal 20 Agustus menunjukkan bahwa pelaksanaan rukyat mustahil dapat melihat hilal. Hal ini lantaran hilal belum wujud atau masih di bawah ufuk.
Peristiwa ijtimak atau konjungsi terjadi pada tanggal 20 Agustus 2009 pukul 18:39 WIB, padahal matahari tenggelam pada jam 17:54:44 WIB.
”Dalam bahasa penanggalan hijriyyah, ijtimak terjadi pada tanggal 30 Sya’ban 1430 H. Hal ini dikarenakan pergantian tanggal dalam penanggalan hijriyyah terjadi pada saat matahari tenggelam,” kata Hendro yang juga peneliti dari Observatorium Bosscha.
Dengan demikian berdasarkan kaidah istikmal, atau kaidah penggenapan tanggal ketika tidak berhasil rukyat, pemerintah tidak mungkin akan mengawali Ramadhan pada 21 Agustus 2009, pada saat NU baru mengadakan rukyatul hilal.
Menurut Hendro, peluang untuk dapat menyaksikan hilal pada 21 Agustus sangat besar, karena ketinggian hilal sudah di atas 10 derajat. Bahkan hilal dapat terlihat dengan sangat mudah sekalipun tanpa menggunakan data hisab posisi hilal sekalipun.
Namun jika rukyatul hilal NU yang diadakan di semua titik rukyat di Indonesia tidak berhasil melihat hilal, misalnya jika hilal tertutup awan, maka awal Ramadhan NU dan pemerintah akan berbeda.
”Sebagaimana pengamatan dalam astronomi optik, mendung merupakan kendala utama dalam pelaksanaan rukyat hilal yang juga berada dalam rentang gelombang optik. Sehingga meskipun posisi hilal sudah mencukupi untuk dikenali dengan mata telanjang sekalipun, keberadaan hilal tetap mempunyai peluang tidak terlihat,” kata Hendro. (nam)
Terpopuler
1
Fadli Zon Didesak Minta Maaf Karena Sebut Peristiwa Pemerkosaan Massal Mei 1998 Hanya Rumor
2
Mendesak! Orientasi Akhlak Jalan Raya di Pesantren
3
40 Hari Wafat Gus Alam, KH Said Aqil Siroj: Pesantren Harus Tetap Hidup!
4
Mendaki Puncak Jabal Nur, Napak Tilas Kanjeng Nabi di Gua Hira
5
LD PBNU Ungkap Fungsi Masjid dalam Membina Umat yang Ramah Lingkungan
6
Orang-Orang yang Terhormat, Novel Sastrawan NU yang Dianggap Berbahaya Rezim Soeharto
Terkini
Lihat Semua